Ketika ayahku berkesempatan datang ke Surabaya untuk urusan kerjaan, kami menyempatkan diri untuk bertemu dan ngobrol ngalor-ngidul bersama. Asik juga obrolan ayah dan anak. Hari itu Jumat 30 Agustus 2013. Hari Seninnya aku kebetulan libur kantor. Terceploslah dari mulutku, “Piye nek besok Senin ta’ temeni keliling cari order?”
Ayahku seorang sales tas promosi. Markasnya di Ambarawa, kota kecil di Kabupaten Semarang. Dan Surabaya adalah salah satu wilayah jajahannya. Biasanya yang dikunjungi adalah Toko toko Mas, meski juga menerima order dari yang bukan Toko Mas.
Senin itu dia berencana mengunjungi Toko Mas di dalam Pasar Atom. Dia merasa oke aku menemaninya, dan aku ada waktu. Baiklah, kami janjian.
Senin pagi 08:00 am, aku bangun. Semangat. Baru pertama ini aku menawarkan diri membantu ayah bekerja. Biasanya dipaksa. Jadi merasa agak keren.
Kutelepon Ayah, “Pa, nanti jadi nggak?”
“Jadi. Jam 10 papa sampai di kos-kosanmu.”
“Oke.”
10:00 am kami bertemu. Langsung meluncur ke Pasar Atom menggunakan mobil ayahku. Lucu juga, biasanya yang ditemani ke Pasar atom adalah ibu-ibu, kali ini adalah seorang ayah. Haha.
Ini adalah kali keempat ayahku mencari orderan—begitu kami menyebutnya—di Pasar Atom.
Pasar atom itu sangat ramai, penuh dan njlimet menurutku. Terjebak di dalam dan lupa jalan keluar itu sudah biasa. Biasanya yang mampu menghafal adalah ibu-ibu tangguh penyuka shopping yang suka menawar. Hihi. Kutanya ke ayah, “Pa, emang pas pertama kali ke Pasar Atom ndak bingung? Ndak nyasar?”
Jawabnya, “Ya bingung. Tapi waktu pertama ke sini Papa nggak langsung cari orderan, tapi jalan-jalan dulu muter-muter semua bagian. Waktu itu papa belum tahu kalau ada Pasar Atom Mall juga. Besoknya baru datang lagi cari order.” Hmm.. yayaya, mungkin bisa juga bikin GPS biar nggak nyasar.
Sampai di parkiran Pasar Atom, kami bagi tugas. Ayah membawa koper berisi contoh-contoh dompet, sedangkan aku membawa beberapa contoh tas.
Masuk ke Pasar Atom dari lift lantai 6, kami langsung menuju target Toko Mas pertama.
Hampir Beli
“’Misi Koh, saya dari Ellysa Ambarawa, ada tambahan nggak tas-dompetnya?”
Itu kalimat pertama yang dilontarkan ayahku di Toko Mas pertama yang kami kunjungi. Deg-degan rasanya. Antara mau sok manis atau sok biasa saja.
“Wah, dompetku masik banyak e. Barusan ae nyampe seng kemarin ta’ pesen,” jawab seorang engkoh ganteng yang umurnya sekitar 32an. Pakaiannya casual. Kaos oblong warna putih dan celana jeans. Rantai kalung emas yang sedikit terlihat di lehernya membuatnya lebih berkelas.
“Liat dulu ae, Koh, tak’bawa’no model baru.”
“Coba seh, liati.”
Ayah mulai beraksi membuka kopernya yang berisi puluhan dompet kecil, sedang, dan besar. Berwarna-warni. Berbagai model.
Sang engkoh yang tadinya bilang dompetnya masih banyak pun maju mendekat, melihat, memegang dan bertanya, “Seng ini berapa?”
“Itu jing go.”
“Ini?” Sambil menunjuk model dompet lain.
“Seng itu no jing no pek nggo.”
“Wah aku suka seng ini e… tapi dompetku masik banyak. Wes, tak’ catete ae, ntik minggu depan tak’ telpon ya Koh. Ada kartu nama?” Entah ini kalimat yang sudah umum untuk menolak atau memang masih banyak stok dompetnya kami tidak tahu. Baiklah, cukup sekian kami ‘memaksa’ engkoh ini. Tidak boleh terlalu agresif.
Ayahku menyodorkan kartu nama. Basa-basi sedikit. Membereskan dompet-dompetnya, menutup koper, pamitan, dan kami beranjak.
Penjaga Toko Mas yang Suka Geleng
Banyak memang Toko Mas di Pasar Atom. Sampai berderet-deret. Tapi tidak semua kami tawari karena kedatangan sebelumnya ayahku sudah mencobanya. Kali ini kami datang ke Toko Mas yang waktu itu belum buka atau tidak ada pemiliknya.
Lewatlah kami di depan sebuah Toko Mas yang tampak sepi. Tidak ada karyawannya juga. Hanya seorang tacik-tacik Tionghoa yang duduk-duduk menjaga tokonya. Pakaiannya warna putih gading. Ekspresi mukanya agak ngantuk.
Seperti agak dadakan, ayahku menghentikan langkahnya dan mendekat ke etalase Toko Mas itu.
“Misi Cik, saya dari Ellysa Ambarawa. Tas-dompete ada tambahan nggak?”
Si tacik hanya tersenyum dan menggeleng.
“Mungkin yang kecil, tanggung, besar, ada yang mau tambah?”
Tetap tersenyum dan menggeleng.
Ayahku mengeluarkan kartu namanya dan pamitan.
CCTV Di Mana-Mana
Berbeda dengan kedatangan di Toko Mas lain, di Toko Mas ketiga ini, ayahku tidak lagi memulai dengan kalimat andalannya. Sang engkoh pemilik toko sudah memesan beberapa hari lalu dengan desain dompet khusus, hanya belum diberi kepastian harga saja. Ayahku datang untuk memberi tahu harganya dan meminta tanda tangan kalau jadi order.
“Engkoh’e lagi nggak di toko e, bentar ya tak’ telpon’no,” jawab isteri pemilik Toko Mas tersebut.
Sambil menunggu telepon diangkat, dia menjelaskan, “Sek ya koh, nggak tahu kalo engkoh mau dateng soale. Ini lagi di Toko Mas satu’e.”
Lalu telepon diangkat. Tacik itu masuk ke ruangan khususnya.
Lama.
Sebagai sales, aku dan ayahku menunggu saja di depan sambil berdiri dan melihat-lihat.
Depan. Belakang. Kanan. Kiri. Bawah. Atas.
Aku berhitung. Satu, dua, tiga, empat. Ckckck… Eh ada lagi, lima, enam, tujuh. Dalam satu ruangan Toko Mas yang kurang lebih 5×5 meter itu ada 7 CCTV. Waw..
Tidak semua Toko Mas memasang CCTV. Bahkan menurutku Toko Mas ini yang paling lebay. Tapi tidak bisa menghakimi juga, karena ada toko mas yang menjual emas muda (tidak terlalu mahal), emas tua (mahal), dan emas yang dipadu dengan berlian. Semakin mahal barang dagangannya, bisa saja Toko Mas itu semakin memperketat penjagaannya.
Tacik itu kembali ke depan. Teleponnya diserahkan ayahku. Mereka berbincang mengenai harga dan akhirnya deal. Lalu ayahku meminta tanda tangan tacik tadi sebagai bukti pemesanan.
Setelah beres, kami berpamitan dan pergi meninggalkan Toko Mas heboh ini.
Toko Mas Aquarium
Aku berjalan sambil tengak-tengok di belakang ayahku. Ada satu toko perhiasan unik. Semua bagian temboknya ditutup dengan kayu dan kaca. Pintu masuknya berupa daun pintu selebar sekitar 80cm yang selalu tertutup. Dilihat dari luar seperti aquarium.
Aku kira dia menjual perak. Tapi perak kan lebih murah, tak mungkin desain tokonya malah lebih mewah dari Toko Mas. Tidak ramai juga tampaknya.
Belum selesai aku melamun, ayahku sudah membuka pintu aquarium itu. Kami masuk. Di dalam ruangan kecil itu jadi agak canggung rasanya. Pencahayaan yang terang tapi tanggung, perhiasan yang tak banyak, dan agak sepi.
“Misi Koh, kita dari Ellysa Ambarawa, mau nawari tas-dompet.”
“Tas-dompet untuk apa ya?” jawab engkoh yang menjaga Toko Mas ditemani beberapa karyawan.
“Ini, dompet buat tempat perhiasan. Mungkin mau lihat dulu?”
Lalu mata engkoh itu melihat ke segerombol tas yang kupegang.
“Oo, tas dompet buat tempat’e kalung itu ta? Enggak e, Koh, kita nggak pake dompet soale. Kita punya produk itu berlian, jadi tempate kita biasa pake box kaya gini Koh,” jawabnya sambil menunjukkan contoh kotak mewah.
“Lek engkohe ada box kaya gini kita bisa pesen, Koh.”
“Wah nggak ada e, kita maine di tas sama dompet aja.”
“Ooo, ya mungkin ada kartu nama ta apa gitu, ntik lek ada kenalan bisa tak kasih ke Engkoh.”
Ayahku memberikan kartu namanya. Kami berpamitan dan keluar dari kotak aquarium itu. Kembali ke Pasar Atom yang ramai.
Menerka Bahasa
Kemudian kami melanjutkan ke Toko Mas berikutnya. Setelah beberapa detik berdiri di depan etalase, seorang ibu sekitar 60an tahun, rambut agak disasak menjulang, dan keriput wajah yang ditutupinya dengan make up, mendatangi kami. Pandangannya datar menyelidik.
Langsung ayah melantunkan kalimat andalannya, “Misi cik, saya dari Ellysa Ambarawa. Tas-dompete ada tambahan nggak?”
Ibu itu diam.
“Gimana cik, saya bawa conto-contonya.”
Dia menjawab, “Nggak dulu, masih banyak ini.”
‘Gotcha!!’, batinku, ‘Maaf tante, itu kalimat template. Nggak mempan ke papaku.’
Sesuai dugaanku, ayahku tetap melanjutkan, “Ini ada barang baru lho Cik, mungkin mau lihat dulu.”
“Ya wes ta’ liat sek.”
Ayah membuka kopernya. Mulailah ibu itu melihat dan memegang-megang contoh dompet yang dibawa ayahku.
“Ini berapa?”
“Ini liang jien u, cik.”
Ibu itu diam.
“No jing go.”
Ibu itu masih diam.
“Dua ribu lima ratus.”
Tetap diam, tapi kali ini dengan manggut-manggut.
Dia menanyakan harga beberapa contoh dompet lainnya, dan diakhiri dengan “Nggak pesen dulu ya, nanti aja dateng sini lagi.”
Ayahku pun meninggalkan kartu namanya dan kami beranjak.
“Emang harus nebak-nebak gitu ya pa bahasae kalo ngomong?”
“Ya di sini kan ada yang Khek, ada yang Hokkian. Ya nebak-nebak aja. Kadang ada yang nggak ngerti juga, jadi pakai bahasa Indonesia aja.”
Bukan bermaksud membeda-bedakan, tapi setahuku kalau kita bisa menawar atau menawarkan barang ke pengusaha keturunan Tionghoa, akan terasa lebih akrab ketika kita menggunakan bahasa yang sama.
Laku. Asik.
Di bagian belakang Pasar Atom. Suasananya agak sepi. Beberapa toko tutup. Tapi masih ada Toko Mas di sana. Kata ayahku, kalau jadi sales itu kudu telaten. Jadi kami kunjungilah Toko Mas itu meski tempatnya terpencil di belakang.
Seorang ibu-ibu Tionghoa berumur 50 tahun’an. Rambutnya dikeriting, dicat pirang, dan dijambul agak tinggi. Bajunya biru menyala, celana dan ikat pinggang merah ngejreng. Tak sempat aku melihat alas kakinya. Bersama 2 wanita yang tampaknya adalah karyawan, dan anak laki-lakinya yang mungkin sudah kuliah, mereka menunggui Toko Mas itu.
Waduh, kok kayanya serem, batinku.
Kata ibuku, tidak jarang seorang sales dianggap remeh, dimarahi, ditunjuk-tunjuk sambil melotot, disinisi, dan kadang tidak dianggap pun bisa (biasanya kalau sedang ramai). Tapi bisa saja klien yang pertamanya seperti ini justru yang pesannya paling banyak, jadi paling akrab.
“Misi Cik, Saya dari Ellysa Ambarawa. Tas-dompete ada tambahan nggak?” Seperti biasa, ayahku memulai pembicaraan.
“Wah aku barusan pesen e, Koh,” jawab ibu itu.
“Aku bawa model baru lho, Cik, siapa tahu mau lihat-lihat dulu.”
Berbalik ke meja kerjanya, mengambil kacamata, lalu mendekati ayahku. Ayahku beraksi. Koper dibuka, dompet-dompet dikeluarkan. Mata ibu itu mengikuti gerakan tangan ayahku. Em, tepatnya mengikuti gerak dompet-dompet yang satu persatu dikeluarkan ayahku. Tangan kanannya menyangga kacamata, tangan kirinya membolak-balik dompet.
Salah satu karyawannya mendekat. Tampaknya seperti masih ada hubungan saudara.
“Seng ini apik ya?” tanya ibu itu pada karyawannya.
“Aku suka seng ini, A’i. Manis warna’e,” sautnya.
Karyawan lain yang tampaknya masih saudara juga ikut menimpali, “Seng penting ini lho, pas lek dimasuki kotak gelang.”
“Iya Cik, maka’e ini milih seng agak gedean. Apik ini warnae kuning-oren. Ayu.”
Mereka memilih-milih bentuk, warna, dan ukuran yang pas. Jatuhlan pada satu model dompet. Dirubah sedikit sesuai kebutuhan mereka.
Deal.
Ayahku mengeluarkan nota. Menuliskan pesanan. Aku melihatnya. Ikut senang. Biasanya aku tak peduli dengan pekerjaan, dengan mendapatkan uang, dengan usaha. Aku hanya sekolah dan menerima uang saku.
Lalu salah satu dari karyawan itu mendekati ayahku dan berbicara agak pelan, “Koh, kalo aku pesen lagi bisa? 100 aja. Tapi nggak usah pakai sablon.”
Dia memesan untuk memperingati 1000 hari meninggalnya sang kakek. Kalau aku tidak salah ingat.
Ayahku mengiyakan. Aku tersenyum.
Setelah buku nota kembali masuk ke tas, kami berpamitan.
Senyum puas menemani langkah kakiku kembali ke mobil. Aku tidak tahu berapa tepatnya yang kami hasilkan hari ini. Aku tidak peduli. Seru rasanya. Enam Toko Mas yang kuceritakan tadi pun juga hanya sebagian sangat kecil dari perjalanan ayahku menjelajahi Toko Mas di Pasar Atom, apalagi di Surabaya. Di Pasar Atom sendiri ada 70an, dan mereka punya asosiasi sendiri.
Ada banyak Toko Mas. Dan setiap Toko Mas punya warnanya sendiri-sendiri.
This post is also available in: English