![Salah satu bagian Kampung Pisang, Kelurahan Maccini Sombala. [foto: Anwar Jimpe Rachman]](https://i2.wp.com/ayorek.org/wp-content/uploads/2013/07/ALIM4028.jpg?fit=640%2C480&ssl=1)
Kampung Pisang merupakan wilayah berawa yang terletak di Kelurahan Maccini Sombala. Bila saja teman saya, Cora, tidak mengantar, saya pasti akan kewalahan mencari kawasan ini. Kita harus melewati gang berliku nan sempit untuk masuk ke sana. Luas jalan berlapis blok semen hanya seukuran motor bergerobak bakso. Bila Anda masuk memakai motor dan berpapasan pengendara lain, salah satunya harus mengalah dan menepi untuk memberi jalan buat yang lain.
Kampung itu dihuni sepuluhan tahun lalu. Tempat itu, menurut Daeng Sampara, dihuni pada awal 2000, ketika tanah urukan pembuatan danau (tempat latihan dayung) di kawasan GMTDC ditempatkan di kawasan ini.
![Bocah Kampung Pisang bermain di sekitar sumur mereka. [foto: Anwar Jimpe Rachman]](https://i2.wp.com/ayorek.org/wp-content/uploads/2013/07/ALIM4025-Copy.jpg?resize=448%2C336)
Bocah Kampung Pisang bermain di sekitar sumur mereka. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
“Saya panjar Rp 5 juta, sisanya saya cicil. Saya hanya berbekal kuitansi pembelian,” ungkap lelaki kelahiran Binamu, Jeneponto, 1963 silam ini.
Sampara bertukang kayu. Pekerjaan sehari-hari inilah yang membuatnya bisa membangun rumah. Ia menunjukkan bagian-bagian rumahnya yang merupakan beberapa bagian berbeda dan berasal dari tempat yang tidak sama.
“Saya satu-satunya orang yang pakai pagar besi di sini. Itu juga yang sampai sekarang bikin saya tidak lagi dapat bantuan,” ujar Sampara, tertawa. Bantuan yang Sampara maksudkan adalah bantuan pemerintah seperti BLT dan lainnya.
Pagar besi itu, kata Sampara, ia dapatkan dari hasil memperbaiki masjid di wilayah tetangga. Pagar itu, kata lelaki berambut ikal ini, ia beli dengan memotong gajinya sebagai tukang yang mengerjakan rumah ibadah tersebut.

Warna air sumur di Kampung Pisang. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
![Air sumur di rumah Daeng Sampara. [foto: Anwar Jimpe Rachman]](https://i1.wp.com/ayorek.org/wp-content/uploads/2013/07/ALIM4017-Copy.jpg?resize=448%2C336)
Air sumur di rumah Daeng Sampara. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
Warga mendapat air dari rumah yang berada sekisar 100 meter di bagian utara Kampung Pisang. Mereka tidak gratis. Warga harus membayar—bergantung seberapa sering mereka mengambil air. Rerata, seperti rumah Sampara, ia membayar Rp 50.000 setiap bulan.

Alat penyaring air yang dipakai warga Kampung Pisang saat mencuci pakaian. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
Daeng Sampara mengajak saya berkeliling kampung dan melihat langsung sumur-sumur yang dimaksud. Ia ingin membuktikan apa yang barusan dikatakannya. Ia menunjukkan sumur-sumur berwarna kopi susu. Warga menggunakan kain dan batu untuk menyaring air timbahan mereka.
Menurut lelaki beranak empat ini, resep membuat sumurnya memang berbeda. Kala membuat sumur yang berada di bagian belakang rumahnya itu, ia menggali lebih lebar. Dan ketika cincin sumur dimasukkan, ia tidak menimbun cincin itu menggunakan tanah galian, melainkan menimbunnya dengan pasir dan kerikil. “Saya tidak pakai ijuk karena biasanya berbau airnya,” kata Sampara.

Anak-anak Kampung Pisang membantu orangtua mereka mengangkat air untuk kebutuhan sehari-hari. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
This post is also available in: English