Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial sampai Kemerdekaan

Judul: Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan
Pengarang: Purnawan Basundoro
Kata Pengantar: Abidin Kusno
Penyunting: Manneke Budiman
Seri Kota, Kata dan Kuasa Penerbit Ombak, 2009.
No. Panggil: 959.82 BAS Dua

Buku, Sejarah · 1 October 2012 · Keywords: , ·
DuaKotaTigaZaman

Menggunakan pendekatan interdisplin, Purnawan Basundoro mencatat pelbagai sisi dan dimensi kota Surabaya dan Malang dari masa ke masa.  Buku ini menawarkan berbagai cara pandang menarik tentang bagaimana kota dan ruang publik turut membentuk sekaligus dibentuk: bukan oleh tokoh atau sekelompok orang, tapi oleh proses-proses ekonomi, sosial, politik dan budaya sekaligus.  Kota menjadi “arena konflik” di mana semua orang (baik penguasa maupun masyarakat) menggunakan berbagai strategi dan taktik untuk saling menunjukkan diri melalui hak atas kota.

Secara geografis, Surabaya dikategorikan sebagai kota pesisir (coastal city), dengan karakteristik derajat pertumbuhan yang lebih cepat karena sifatnya yang lebih terlibat dalam jaringan ekonomi dan transportasi yang lebih luas.  Selain jaringan laut, Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1808-1811 juga menempatkan Surabaya sebagai salah satu simpul dalam jaringan jalan utama yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan.  Surabaya berkembang menjadi pusat jasa, pusat perdagangan, atau dengan kata lain, pusat ekonomi dan bisnis.

Sebaliknya, Malang sebagai kota pedalaman (inland city) yang dikembangkan menjadi kota hunian  dan peristirahatan, mempunyai derajat pertumbuhan yang lebih lambat namun terencana dan karena lokasi geografisnya yang nyaman dan teduh.  Apalagi, sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swastas asing ke Hindia, menjadikan Malang kota pusat perkebunan, yang cocok untuk kopi, kakao (dan teh?).  Dengan Rencana Pembangunan Kota (Bouwplan) I-VIII secara bertahap, Malang dikembangkan sebagai kota hunian yang lebih nyaman, tertata dengan perhitungan teknik yang memadai.  Campur tangan Ir. Thomas Karsten, arsitek kenamaan yang banyak membantu mendesain kota-kota di Indonesia sebelum masa pendudukan Jepang, juga menjadikan kota Malang terasa lebih teratur dan serasi.

Surabaya, indah di luar, kumuh di baliknya?

Setelah memberi kita pengantar umum di atas, di bagian Surabaya, kita ditawarkan berbagai sisi menarik sejarah Surabaya.  Pertama, adalah permasalahan akses tanah, pemukiman dan kesehatan.  “Surabaya van buiten blink, van binen sting,” adalah ungkapan sindiran yang diucapkan oleh orang-orang Belanda untuk menggambarkan kondisi Kota Surabaya: terlihat indah dari luar pada jalan utamanya, tapi intiplah baliknya, dan Anda akan menemukan lingkungan kampung kumuh. Pola ini masih kental membekas di Surabaya, bahkan di Surabaya bagian timur yang dibangun sekitar tahun 80-an ke atas.

Tentunya, ini tidak terlepas dari dampak kebijakan Exhorbitante Rechten, hak bagi Gubernur Jenderal untuk menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk Hindia Belanda atau pribadi tertentu. Sebenarnya hak ini adalah hak exhorbitante, luar biasa dan tidak lazim menurut konsep hukum barat.  Tapi dengan alasan heterogenitas penduduk dan untuk menghindari konflik, sistem pemukiman berdasarkan golongan etnis (dan lapisan sosial) diterapkan.

Pemukiman Belanda dan Eropa terletak di sekitar Jembatan Merah dan Simpang, yang kemudian berkembang ke arah Selatan, Keputran dan sekitarnya.  Sementara pemukiman orang-orang Cina dan Timur Asing di sebelah timur kawasan Jembatan Merah, dengan orang-orang Cina di kawasan Kembang Jepun, Kapasan dan Pasar Atom, sementara orang-orang Arab di kawasan permukiman sekitar Masjid Ampel.  Penduduk pribumi tinggal di antara tanah-tanah yang tersisa atau di balik gedung-gedung milik Eropa dengan kondisi yang sangat kontras dan rawan penyakit.

Persoalan tanah dan permukiman, tak dapat disangkal merupakan salah satu problema utama Kota Surabaya.  Setelah memberi gambaran besar dan berbagai usaha individu seperti Tillema, Karsten dan Dr. Soetomo, di bab berikutnya, kita melihat gerakan perlawanannya dalam persengketaan tanah, dengan puncaknya gerakan protes penghuni kampung partikelir kota Surabaya di awal abad ke-20 oleh Prawirodiharjo dan Pak Siti alias Sadikin.

Kampung Sidodadi di Surabaya (1931). Sumber: www.kitlv.nl

Purnawan Basundoro juga memaparkan satu sisi warisan kolonial yang kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat kota: listrik.  Di sini terutama diuraikan mengenai ANIEM, yang sebelumnya begitu efisien, terpuruk setelah diambil alih oleh Jepang tanpa kesempatan regenerasi, dan karena berbagai kesulitan setelah kemerdekaan seperti kerusakan masa perang, sentimen nasionalisme yang tinggi, dan kesulitan keuangan, tidak dapat memulihkan kondisinya ke taraf sebelumnya.

Bab-bab berikutnya melanjutkan pembahasan mengenai persoalan pertanahan, disertai dengan catatan-catatan pasca-Orde Baru dan berbagai alternatif menghadapi arus urbanisasi kota Surabaya.

Malang, kota dengan dua alun-alun

Di Malang, kita melihat pembahasan yang berbeda.  Bukan masalah pemukiman, sengketa tanah, atau derasnya arus urbanisasi dan industrialisasi yang diuraikan di sini, tapi, terkait dengan keunikan kota Malang yang memiliki dua alun-alun, Purnawan memberi kita 3 pembahasan dalam tiap bab: 1) interpretasi simbolik alun-alun kota malang; 2) membaca alun-alun Bunder kota Malang; dan 3) Perekonomian Kota Malang awal kemerdekaan.

Alun-alun Bunder, karena bentuknya bunder. Aslinya diberi nama J.P. Coen Plein. Terlihat juga sekolah elit HBS & AMS di sekitarnya. Foto tahun 1935. Sumber: www.kitlv.nl

Sehubungan dengan Alun-Alun Kota Malang yang dalam konstruksinya memang berbeda dengan konsep keruangan kota Jawa di mana alun-alun dianggap sebagai kawasan resmi, kita melihat bagaimana baik secara fisik maupun simbolik tempat ini menjadi kawasan terbuka, satu ruang publik yang diperebutkan oleh elemen-elemen perkotaan: mulai dari jualan jamu, kotbah misionaris, kampanye parpol, demonstrasi, pasar, bahkan orasi Ikatan Waria Malang di hari Sumpah Pemuda.  Berbeda dengan Alun-Alun Kota Malang yang lekat dengan rakyat, Alun-Alun Bunder mempunyai kesan jauh, tertutup, dengan eksklusivitas yang memang dibangun sejak awal di kawasan hunian masyarakat Eropa.

Sebagai penutup, Purnawan menguraikan bagaimana Surabaya sebagai kota industri terbesar di Indonesia pada awal abad ke-20, kemudian mengalami arus urbanisasi yang sangat besar dengan peningkatan jumlah penduduk yang amat tinggi.  Salah satu dampaknya, tentunya, adalah perebutan ruang yang amat intensif.  Sementara kota Malang, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Singasari, diposisikan sebagai kota pedalaman dengan segala fungsi tradisionalnya.  Letak geografisnya yang nyaman dan dikelilingi pegunungan membuatnya cocok sebagai kota hunian dan peristirahatan yang mengedepankan kenyamanan.  Jaringan jalan dibuat terpadu dan terintegrasi dengan rencana pengembangan kota.  Ruang terbuka yang luas memperkuat citranya sebagai kota taman.  Jika Surabaya dapat disamakan dengan Bombay dan—menurut Bung Karno—New York, orang-orang Eropa menjuluki Malang sebagai Switzerland van Java.

Tidak hanya menghadirkan riwayat kota, buku ini memperkenalkan kita kepada berbagai pemahaman sejarah mengenai kota Surabaya dan Malang secara lebih luas sekaligus kritis.  Satu buku yang menarik dari Seri Kota, Kata dan Kuasa yang diedit oleh Manneke Budiman dan diterbitkan oleh Penerbit Ombak.  Semoga dapat berlanjut dalam menyajikan keragaman ekspresi dan dimensi studi kota, sekaligus menjembatani teori dan praktik pembangunan kota.