“Pesona kampung pinggir kali akan dapat menyihir anda yang berkunjung ke Bratang Tangkis”, ujar pak Gatot Subroto ketika berdiskusi tentang tulisan ini. Apa yang mempesona bagi pengunjung kampung yang mulai muncul sejak tahun 1950an ini?
Sejarah Kampung Bratang Tangkis dan Paguyuban Warga Stren kali
Bratang Tangkis terletak sekitar 1,5 kilometer di sebelah timur Pintu Air Jagir di sisi utara kali Wonokromo. Awalnya berupa deretan gubug di sela-sela ilalang, pohon pisang, kelapa, bambu dan pohon-pohon peneduh lainnya. Gubug-gubug itu kemudian berkembang menjadi rumah semi permanen, dan akhirnya menjadi rumah-rumah permanen.
Warga kampung berorganisasi dalam wadah PWSS (Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya) untuk memperjuangkan kepastian hukum tanah kampung, juga untuk menata kampung secara partisipatif dan mandiri. Mereka mengembangkan konsep jogo kali (menjaga kali) sebagai pemicu kesadaran lingkungan sekaligus untuk mengembangkan ekonomi dan budaya.
Swadaya dan Gotong-royong menghadapi Penggusuran
Melalui PWSS yang berdiri sejak 31 Mei 2002, warga kampung secara swadaya dan bergotong-royong berusaha untuk mempertahankan kampung Bratang Tangkis dari upaya penggusuran yang beberapa kali akan dilakukan, baik oleh Pemerintah Kota Surabaya maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Akhirnya, pada 5 Oktober 2007, aspirasi warga Bratang Tangkis yang tergabung dalam PWSS ditanggapi oleh DPRD Jawa Timur dengan penyusunan Perda no. 9 tahun 2007 yang mewadahi berbagai ide dari para pemangku kepentingan yang berbeda. Pada pasal 13 Perda ini disebutkan bahwa di stren kali diijinkan kawasan permukiman terbatas dengan syarat harus dilakukan penataan kampung pinggir kali. Ini merupakan “kemenangan” warga kampung Bratang Tangkis dan PWSS.
Rumah di Tepi Sungai
Program pembuatan 70 Rumah Contoh di Bratang Tangkis telah dirintis sejak tahun 2005, dan dimulai konstruksinya pada tahun 2008. Rumah-rumah kampung yang tadinya membelakangi sungai diubah menjadi menghadap sungai. Perubahan ini diikuti dengan pembuatan jalan inspeksi selebar 3-5 meter yang mengorbankan sebagian besar rumah yang ada. Perombakan ini menunjukkan kerelaan hati dan kegotong-royongan warga dalam memperbaiki wajah kampungnya. Ini yang mempesona, karena jarang sekali warga kota mau berkorban dan bekerja sama untuk kecantikan wajah kotanya. Selain itu, masyarakat kampung Bratang Tangkis ini juga berupaya menabung dana secara swadaya untuk perbaikan rumah mereka sendiri, yang dirintis oleh Uplink dan PWSS mulai pada tahun 2002. Dengan program ini, warga menjadi merasa lebih dekat satu sama lain.
Berbagai institusi pendidikan tinggi ikut membantu penataan kampung dan membangun kesadaran warga. Penataan kampung ini diinspirasi juga dari lomba desain kampung stren kali yang diadakan Rujak Center for Urban Studies dan PWSS pada tahun 2011, melibatkan tujuh arsitek ternama seperti: Han Awal, Ridwan Kamil, Adi Purnomo, Eko Prawoto, Yu Sing, Avianti Armand, dan Wiyoga Nurdiansyah. Pemenang lomba ini, Wiyoga, mengusulkan konsep beragam tetapi seragam. Walaupun konsep ini tidak terwujud sepenuhnya, tetapi terus dikembangkan oleh warga dengan pembangunan 70 buah rumah contoh dengan menggunakan material beton dan bata ekspos. Ini akan mewarnai pinggiran Kali Surabaya dari daerah Sepanjang sampai Medokan Semampir.
Pengelolaan Sampah Organik
Selain itu kesadaran warga juga tumbuh untuk mengelola sampah organik dengan metode pengomposan dengan keranjang Takakura, mengelola air limbah dengan tangki septik bersama dan menanam penghijauan pertanian kota di depan rumah. “Dengan cara ini, kita benar-benar dapat menunjukkan kepada pemerintah bahwa kita dapat membuat daerah ini lebih baik, bukan hanya bagaimana tampilannya. Kita perlu mengubah cara seluruh kota melihat kita,” komentar Bapak Andreas Suhadi, mantan Sekretaris Jenderal PWSS.
Inisiatif pengelolaan sampah organik, air limbah dan penanaman penghijauan yang dibantu oleh Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota) Universitas Surabaya juga telah mengangkat Kampung Bratang Tangkis ke tingkat penghargaan Kota, seperti Penghargaan 10 Besar Kampung Lomba Green and Clean 2005 di Surabaya dan penghargaan Kader Lingkungan Kota yang mendapatkan Surat Keputusan Walikota. Kolaborasi dengan Pusdakota ini dapat mengurangi sampah kota dan membuat potensi usaha baru seperti “Bank Sampah” dan usaha kecil pembuatan “Cetok” atau sendok untuk keranjang kompos Takakura. Kelompok “Cetok” ini sudah dikenal luas secara Nasional berhasil memanfaatkan sampah pipa plastik menjadi “cetok” yang berkualitas dan tahan lama. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keberhasilan upaya Jogo Kali.
Dari Cetok ke Dinamo Kendaraan
Berbagai usaha kecil juga muncul, selain usaha Cetok, yang berbasis pada usaha padat karya. Di antaranya usaha pembuatan dinamo kendaraan, usaha makanan kecil, usaha pencucian baju, usaha penyewaan alat permainan digital (Play Station) dan lain-lain. Usaha ini dirintis oleh warga sendiri. Setelah cukup berkembang, Kementerian Sosial Republik Indonesia memberikan bantuan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang untuk meningkatkan kesejahteraan sosial para kelompok miskin.
Bantuan ini bertujuan untuk mengembangkan dinamika kehidupan kelompok sosial untuk pengembangan hubungan kelompok dan kemandirian kelompok secara sosial dan ekonomi. Ada dua jenis bentuk bantuan yaitu dana untuk permodalan usaha kecil dan perbaikan fisik rumah yang tidak layak huni.
Larung dan Jogo Kali
Kesadaran warga untuk menjaga kali atau jogo kali secara aktif juga terlihat pada kegiatan warga larung sungai yang dilakukan setiap tahun oleh warga Bratang yang terpadu dengan warga stren kali lainnya. Larung ini menjadi simbol kesatuan warga dan sungai yang dijaganya dan rasa syukur warga kepada Tuhan dengan mempersembahkan hasil keringatnya sebagai imbal-balik rejeki yang diberikan melalui Kali Wonokromo.
Larung juga menunjukkan pelestarian budaya lokal seperti Ngremo, Nembang, Iring-iringan Sajen dan lain-lain yang seringkali sudah ditinggalkan oleh warga kota secara umum. Inilah pesona kampung yang unik dari Bratang. Dan seharusnya Larung Sungai dapat menjadi agenda kota, agar dapat dilihat dan dipahami oleh lapisan masyarakat secara luas untuk melestarikan budaya dan lingkungan kali di Surabaya.
Keroncong dan Kuda Lumping
Salah satu kesenian kebanggaan warga adalah musik keroncong. Seniman keroncong, Pak Prayit, tinggal di kampung ini, dan pernah mewakili Surabaya di festival Keroncong Sedunia tahun 2009 di Solo. Keroncong merupakan alunan musik yang mempesona yang mengiringi suasana sore di kampung ini, menjadi ciri khas kampung Bratang Tangkis.
Kesenian lainnya lagi yaitu Jaranan (Kuda Lumping) menunjukkan keberanian warga Jember yang juga pindah ke kampung Bratang dalam menegakkan kebenaran dan keindahan seni Jawa Timur. Jaranan ini juga meraih Juara Kedua pada lomba tingkat Kota Surabaya. Kedua seni budaya ini merupakan contoh bagaimana penghargaan Warga Kampung Bratang Tangkis dalam pelestarian seni budaya lokal.
Potensi Nelayan Kali Wonokromo
Potensi keindahan lainnya dari Bratang Tangkis ialah Nelayan Sungai. Salah satunya seorang anak bernama Supriyadi. Ia begitu terampil dalam menggunakan jaring dan pancing untuk menangkap ikan-ikan di sungai yang mengalami pasang naik dan pasang surut. Keterampilan ini diajarkan oleh keluarganya secara turun temurun. Dan ternyata ikan-ikan ini seringkali hanya dimakan / konsumsi secara lokal di kampung Bratang. Walaupun hidup Supriyadi cukup berat, tetapi ia tetap bertahan untuk menangkap ikan dengan caranya yang unik dan berkelanjutan.
Generasi Muda Kampung Bratang Tangkis
Mungkin jarang yang menyangka jika anak-anak muda Bratang Tangkis juga mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Di kampung ini banyak dijumpai sarjana lulusan ITS, IAIN Ubaya atau Unesa. Berbagai profesi “formal” juga banyak ditemui, seperti: Pegawai Negeri, Polisi atau Marinir. Ini sebuah bukti bahwa kampung ini juga memiliki “harga diri” dalam percaturan kota Surabaya.
This post is also available in: English