Memuat kisah-kisah zaman Revolusi, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dibagi secara kronologis menjadi tiga bagian: Jaman Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Dari buku yang tipis ini, kita dapat melihat semacam evolusi Idrus dari gaya romantik ke gaya khas satir tragikomiknya yang belum banyak dianut saat itu. Ringkas, lincah, dan lugas, Idrus mengolok-olok Jepang, dan menjungkirbalikkan “kesakralan” heroisme revolusi.
Di sini kita dapati satu novelet Idrus yang sangat terkenal, mengusung peristiwa besar “Hari Pahlawan” di kota kita, bahkan menggunakannya sebagai judulnya, Surabaya. Seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi, Idrus membabat habis gambaran heroisme 10 November. Para pemuda, diibaratkannya sebagai cowboy dan bandit. Mereka berjalan dengan dada membusung, revolver dan belati di pinggang: “Revolver-revolver guna menembak pencuri-pencuri sapi dan pisau-pisau belati… guna perhiasan.” Tapi pencurian sapi tidak pernah terjadi, dan bunyi letupan-letupan revolver, ternyata ditembakkan ke atas, “ke tempat Tuhan lama.”
Kekacauan kondisi kaum pelarian dengan segala kesengsaraan dan kekonyolannya, digambarkan dengan sinis dan tajam, terkadang kasar dan jenaka. Seorang pemuda menyamar menjadi orang tua, tertembak dan dihajar habis-habisan. Kedatangan wartawan mesum dari Jakarta dengan dada dan pantat tipis, teriakan trauma seorang ibu yang menjadi pemandangan sehari-hari dan ditinggal orang tidur, pemeriksaan badan yang semena-mena di stasiun-stasiun, hingga pelarian-pelarian perempuan yang “banyak dapat makanan dan cinta pengawal-pengawal”, dengan segala tukang catut dan “penyakit raja singa” (sipilis).
Seorang perempuan dihajar setengah mati atas tudingan mata-mata, karena ia mengenakan selendang merah, baju putih dan selop biru (yang ternyata, setelah ditilik lebih jeli, berwarna hitam!). Citra bambu runcing sebagai satu-satunya senjata perjuangan jaman itu pun, dipertanyakan, seiring dengan tindakan-tindakan semena-mena anggota tentara yang “banyak bertentangan dengan adat kesopanan”.
Novelet Surabaya pertama kali diterbitkan oleh Merdeka Press di tahun 1947, dan menimbulkan banyak kontroversi. Idrus dicap kontrarevolusi karena penggambaran karikatur (skeptis)nya mengenai pertempuran Surabaya (dan revolusi pada umumnya). Tapi memang, kisah-kisah bandit yang menjelma menjadi pejuang (dadakan) dan beraksi bak koboi di berbagai kota di Jawa, tercatat dalam sejarah hingga beberapa tahun setelah Surabaya terbit. Sesuai dengan sinisme massa yang meragukan janji-janji revolusi dan heroisme di tengah-tengah kemelaratan dan kesengsaraan jaman, bisa jadi Idrus hanya menggambarkan kisah dan keluhan yang kerap bersliweran saat itu.
“Di kala mana sedang revolusi berkobar dengan hebatnya dengan semboyan-semboyan yang berapi-api, pengarang telah melihat dan mengeritik berbagai kekurangan yang dilihatnya,” tulis Jassin dalam pendahuluan buku ini. Tak jarang ia didamprat karena tulisan-tulisannya dianggap menghina revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi kita banyak kritik dan laporan sejarah, untuk tidak tenggelam dalam sekedar simbol dan semboyan mendayu-dayu. Wajib dibaca.
This post is also available in: English