Jam 9 malam dan di luar hujan turun rintik-rintik. Kondisi yang sangat mendukung untuk mbangkong tidur nyenyak di rumah. Tetapi kami bertiga malah duduk manis di mobil sambil menanti kedatangan Adhiel. Teman kami Adhiel adalah warkamsi (alias warga kampung sini/situ) di Kampung Arab. Perantara kami malam ini untuk menyusup ke acara hajatan spesial ala warga keturunan Arab: Kompetisi Domino semalam suntuk!
Ini adalah babak pertama dari lomba permainan domino yang diselenggarakan dalam rangka 7 bulanan menantu Pak Salim Bahmid, salah satu tokoh yang cukup dikenal luas. Lomba dua babak ini akan berlangsung selama dua malam, dan cukup dinanti-nanti karena lomba seperti ini biasanya harus menunggu acara khusus untuk diadakan.
Kegiatan crashing kali ini cukup repot, karena selain kami tidak kenal si empunya hajat, kami juga bukan warga keturunan Arab, dan satu lagi, kami bertiga perempuan. Rupanya, tradisi etnis Arab yang berlaku di sini memisahkan perayaannya antara pihak perempuan dan pihak laki-laki. Kami dengar, acara perayaan untuk pihak perempuan berupa permainan musik sudah dilakukan siang hari tadi di Grand City Ballroom, dan acara perayaan pihak laki-laki adalah tanding Domino yang hendak kami kunjungi ini. Jadi teringat acara Bachelor dan Bachelorette parties di Amerika yang juga memisahkan perempuan dan laki-laki, hanya saja acara perayaan etnis Arab ini diadakan sesudah prosesi pernikahan dan bukan sebelumnya.
Domino from Chimp Chomp on Vimeo.
Maka yah, maklumlah kalau Adhiel ingin meminta izin dulu kepada Pak Salim, pemilik rumah dan si empunya hajat, untuk memastikan kedatangan kami tidak mengganggu. Lima belas menit kemudian, Adhiel dan teman-temannya mengetuk pintu jendela sambil memberikan tanda jempol. Okeh, kami bisa masuk!
Memasuki area rumah Pak Salim yang terletak di sekitar Jalan Johor, terlihat deretan sepeda motor memenuhi bagian depan rumah. Bagian teras, kebun, dan garasi rumah sudah dialasi dengan karpet merah dan disulap menjadi tempat perlombaan Domino. Puluhan laki-laki dewasa, kebanyakan keturunan Arab, tampak seru memainkan domino, bersila di atas karpet membentuk lingkaran-lingkaran kelompok kecil. Sebagian peserta tidak hanya berasal dari Surabaya, tapi juga dari kota-kota tetangga. Ada selembar karton coklat di tengah-tengah masing kelompok, bertuliskan abjad A, B, C, dan seterusnya. Suasana dan suaranya sungguh asik dan ramai, kombinasi bunyi benturan-benturan balok domino dicampur dengan senda gurau dan gojlok-menggojlok puluhan orang yang asik bermain Domino. Dimana-mana terlihat asbak yang penuh dengan puntung rokok dan gelas-gelas kecil berisi kopi Arab yang kuat dan bikin mata melek!
Ceret-ceret kuningan, teko dan cangkir-cangkir keramik kecil dengan sisa-sisa ampas kopi dan teh memenuhi meja di dekat dapur, membuat kami sedikit kepengen. Ada sisa-sisa makanan yang sudah ludes. Rupanya, sebelum kompetisi domino dimulai, ada acara makan makan, tapi karena kami datang telat akhirnya ketinggalan momen itu.
Di dindingnya, terpajang beberapa kertas plano. Di dinding yang satu ditempelkan peraturan pertandingan domino bertuliskan “Game 110”, dan di dinding satunya ditempelkan klasemen pertandingan domino. Lainnya adalah catatan-catatan nilai pertandingan. Saya langsung teringat World Cup dengan babak penyisihan dan sistem gugurnya. Nampaknya perlombaan Domino ini cukup serius.
Di sebelahnya, ada pula kerumunan tetua yang hanya berbincang-bincang. Selain permainan domino, di bagian kecil di dalam perkarangan, dekat teras, tampak beberapa laki-laki berkonsentrasi penuh pada permainan catur di atas meja. Dua dari antaranya rupa-rupanya berasal dari Mekkah. Kami sempat semangat sendiri, mengira mereka adalah saudara jauh yang menyempatkan datang ke acara ini. Tapi hehehe, begitulah, ternyata bukan. Mereka kebetulan sedang berada di Surabaya saja, dan singgah ke acara ini. Si Tinta langsung mengadakan impromptu interview dengan mereka, dengan dibantu Pak Mohammad sebagai penerjemah. Ternyata orang-orang di Arab juga senang bermain domino di sana. Kami sebenarnya jadi penasaran dari mana asal usulnya permainan domino ini. Dari hasil meng-google, ada yang bilang permainan ini berasal dari Arab, tapi ada juga yang bilang kalau domino asalnya dari Tiongkok.
Entah dari mana asalnya atau sejak kapan, tetapi tradisi bermain domino di kalangan etnis Arab ini sudah dikatakan sudah ada sejak lama dan juga dapat ditemukan di Surabaya. Meskipun kita mungkin sudah jarang melihat permainan domino, terkadang kita masih menemukan orang memainkannya di warung-warung kopi. Tidak hanya di acara hajatan saja, tetapi di hari biasapun, permainan domino juga digelar dengan skala yang lebih kecil. Ini tidak dilakukan terbatas di satu tempat saja. Warga keturunan Arab senang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain domino bersama teman-temannya. Tak jarang ditemani dengan tantangan ringan (berupa jepit jemuran di telinga) untuk meningkatkan keseruan permainan. Permainan domino harian ini tidak menggunakan sistem klasemen, hanya sistem gugur ganti (atau apalah istilahnya).
Bentuk domino yang kami lihat di sini berbeda dengan domino kartu dari kertas karton kuning yang kami mainkan sewaktu kecil. “Wah, aku malah tidak tahu kalau ada domino berbentuk kartu,” timpal Adhiel. Kami cengengesan menyadari ketidaktahuan kami—begitulah, satu permainan yang sama, di kota yang sama, bisa memiliki bentuk yang berbeda (dan anak muda yang sama tidak tahunya hahaha). Balok domino yang dimainkan di sini berukuran tebal, dan terbuat dari mika putih yang keras. Katanya, dulu malah dibuat dari gading gajah asli. Seperti juga banyak mainan papan lain yang juga digunakan untuk menyelesaikan konflik perang. Balok-balok ini disimpan dalam kotak kayu bertuliskan dominoes.
Rata-rata orang yang mengikuti acara ini sudah berumur 40 tahun ke atas. Ketika kami bertanya kenapa tidak banyak anak muda yang ikut acara ini, dengan entengnya salah satu pemain domino, Pak Mohammad (yang berbeda dari yang menerjemahkan sebelumnya—ada banyak yang bernama Pak Mohammad di sini!) berkata, “Yah gimana, memang maunya yang tua-tua, yang muda-muda juga ga mau kadang-kadang main.”
Salah satu dari kami teringat kotak domino masa kecil yang ia temukan di gudang, kini terpajang di atas rak buku perpustakaan, bersebelahan dengan mainan-mainan masa kecil. Lebih sebagai hiasan. Balok kartonnya sudah tidak lengkap. Standar, dulu mainan dan barang lama, sekarang jadi aksesoris vintage karena warna-warnanya yang pudar (untuk diinstagram, haha!). Yah, tapi toh tidak menutup kemungkinan minat bisa timbul kembali.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi pertandingan tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pertualangan yang sebetulnya masih sayang untuk dilewatkan, mengingat momen ini termasuk jarang-jarang diadakan, bahkan di kalangan warga kampung Arab Surabaya sendiri.
Segera, Adhiel menyampaikan pamit, terima kasih dan salam dari kami semua kepada Pak Salim dan teman-teman di sana. Perjalanan pulang diisi dengan keributan kami di mobil membicarakan pengalaman malam itu, dan Kampung Arab yang selalu menyimpan berbagai kejutan.
Koreksi 26 November 2013: Pada versi pertama artikel ini ditulis bahwa ada taruhan-taruhan ringan untuk menambah seru permainan. Yang benar adalah tantangan, berupa “hukuman” mengenakan jepit jemuran di telinga, untuk menambah seru permainan.
This post is also available in: English