Sekelumit kisah tunanetra di Surabaya

Bagaimana tunanetra hidup di kota Surabaya? Sama seperti banyak orang, siswa dan guru di SMPLB A YPAB menunjukkan kepiawaian mereka dalam bermain musik, ping pong, memijat, mengajar teknik informatika & komputer, dan sebagainya. Tapi tak dapat disangkal pula, desan lingkungan yang kurang ramah dan aksesibel dapat membingungkan, bahkan membahayakan tunanetra.

Kehidupan, Kota · 14 July 2013 · Keywords: ·
IMG_0188-Kegiatan-Musik

Kehilangan daya penglihatan merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Apalagi bagi para tunanetra, hal itu tentunya sangat tidak mereka inginkan. Namun di sisi lain, ketidakmampuan melihat tersebut menjadi suatu kelebihan bagi mereka karena berkembangnya kepekaan pada indera-indera lainnya. Mereka juga memiliki potensi, kelebihan dan harapan yang tak kalah dari orang-orang lain pada umumnya.

Keterbatasan penglihatan bagi tunanetra secara umum terbagi dua: tidak mampu melihat sama sekali (total blind) dan masih mampu melihat sebagian atau samar-samar (low vision). Hal ini seringkali tidak diketaahui oleh masyarakat umum. Tunanetra yang buta menyeluruh (total blind) sepenuhnya mengandalkan indera penciuman, pendengaran, perabaan dan lain-lain untuk bergerak dan beraktifitas sehari-hari, sehingga mereka membutuhkan rangsangan-rangsangan tertentu untuk melakukan aktivitas mereka dengan mudah. Sedangkan tunanetra dengan penglihatan rendah (low vision) masih dapat menggunakan sedikit daya penglihatan mereka. Mereka membutuhkannya pembedaan warna pada lingkungan mereka agar dapat bergerak dan berkegiatan dengan mudah. Kebutuhan para tunenetra itu seringkali tidak terwadahi di dalam lingkungan kota, termasuk kota Surabaya.

Di sini, tiga orang guru tunanetra dan tiga orang siswa tunanetra di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tipe A Yayasan Pendidikan Anak Buta (SMPLB A YPAB) menjadi narasumber untuk menjelaskan kondisi kemudahan bergerak dan  beraktifitas mereka di kota Surabaya. SMPLB A YPAB yang berada di jalan Gebang Putih no. 5 merupakan sekolah yang disediakan untuk pendidikan para tunanetra. Di sekolah ini terdapat 27 siswa, terdiri dari 11 perempuan dan 16 laki-laki.

Siswa

Alfian

Alfian (kanan) bersama temannya, Rizky (kiri)

Alfian (kanan) bersama Rizky (kiri). Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012.

Siswa SMPLB ini berusia 15 tahun dan merupakan tunanetra total blind. Alfian mengalami kebutaan pada usia 3 bulan karena virus hydrocephalus. Dia sangat suka menyanyi dan bermain alat musik drum. Saat ini Alfian duduk di kelas IX. Awalnya, Alfian bersekolah di Taman Kanak-kanak Luar Biasa Tipe A dan Sekolah Dasar Luar Biasa Tipe A, Yayasan Pendidikan Anak Buta (TKLB A YPAB dan SDLB A YPAB) di jalan Tegalsari 56 Surabaya, sehingga Alfian sudah terbiasa dengan lingkungan Sekolah Luar Biasa.

Kegiatan Alfian sehari-hari di SMPLB A YPAB pada hari Senin hingga Jumat seperti siswa yang tinggal di asrama pada umumnya. Setiap jam 7 pagi, Alfian dan kawan-kawannya menikmati sarapan di ruang makan. Kemudian mereka mempersiapkan diri di untuk masuk sekolah.

Antara jam 8.00 – 12.30, Alfian dan rekan-rekannya masuk kelas dan belajar berbagai mata pelajaran seperti Fisika, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), Agama, Teknologi Informatika dan Komputer (TIK), Kesehatan Reproduksi (Kespro), Olahraga dan Keterampilan serta Seni dan Budaya.

Lalu, sekitar jam 12.30, Alfian dan kawan -kawan menikmati makan siang yang sederhana di ruang makan dengan gembira. Biasanya dilanjutkan dengan istirahat siang, membersihkan diri dan sholat. Setelah makan malam pada jam 18.00, Alfian menyalurkan kegemarannya bermain musik. Ia sering memainkan lagu-lagu beraliran pop dan sangat menyukai band Wali karena lagu-lagunya menarik.

Alfian juga memanfaatkan jam ekstrakurikuler untuk bermain angklung di ruang musik. Seringkali tim SMPLB A YPAB juga diundang untuk bermain angklung di berbagai tempat dengan menampilkan berbagai jenis musik seperti pop, tradisional Jawa, Mandarin dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini juga memupuk kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kesempatan untuk para Tuna netra bersosialisasi.

Selain beraktivitas di Kelas, Alfian dan kawan-kawan sering membaca buku di perpustakaan, ruang komputer dan bermain pingpong di ruang olahraga. Kegiatan- kegiatan ini mengembangkan kecerdasan dan kemampuan mereka dalam berolahraga.

Sedangkan pada akhir minggu Alfian pulang ke rumahnya menggunakan Bemo atau lyn  menuju rumahnya di Jalan Demak Margodadi. Ia mengakui bahwa perjalaann ini merupakan tantangan yang sulit karena trotoar yang tidak rata, banyak lubang di trotoar yang tidak tertutup penutup beton dan kesulitan menghentikan kendaraan umum. Namun dia tak pernah menyerah dengan kesulitan-kesulitan itu.

Sofiatil Ilmi

Sofiatil Ilmi. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012

Sofiatil Ilmi. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012

Sofi berusia 15 tahun dan berasal dari Surabaya. Ia bercita-cita menjadi guru Bahasa Indonesia karena terinspirasi oleh guru-gurunya di YPAB. Ia mengalami kekurangan pengelihatan secara berkala sejak TK yang disebabkan karena gangguan pada syaraf matanya. Pada usia 5 tahun sampai 11 tahun ia masih dapat melihat secara samar-samar (low vision), tapi kemudian mengalami kebutaan menyeluruh (total blind). Ia pernah mengenyam pendidikan sejak kelas 3 SD di SDLB A YPAB dan kemudian melanjutkan ke SMPLB A YPAB. Karena rumahnya dekat di jalan Tenggilis, ia diantar-jemput oleh orangtuanya dengan motor setiap hari.

Sofi yang duduk di kelas VIII mengaku pernahmengalami kesulitan beraktifitas di SMPLB A YPAB walaupun telah mendapatkan pelatihan Orientasi dan Mobilitas (OM) pada saat masuk SMPLB A YPAB. Pelatihan ini untuk membantu para tunanetra bergerak dan beraktivitas di lingkungan baru,  bisa berlangsung secara intensif selama seminggu hingga sebulan tergantung luas lingkungan dan seringnya penggunaan. Siswa dilatih oleh guru untuk mengamati tanda – tanda dari lingkungan yang menjadi patokan dalam bergerak dan beraktifitas. Hal ini akan mempermudah aktifitas para tunanetra serta menghindarkan mereka dari “bahaya-bahaya” di lingkungan.

Sofi mengakui sering terperosok di beberapa bagian sekolah yang merupakan bekas sawah dan ada beberapa kelas yang tidak pernah ia kunjungi. Ini menunjukkan pentingnya lingkungan sekolah yang lebih aksesibel. Kawasan SMPLB AYPAB sebelumnya merupakan SMA Pertanian, sehingga tidak dirancang khusus agar aksesibel bagi siswa.

Kawasan SMPLB AYPAB sebelumnya merupakan SMA Pertanian, sehingga tidak dirancang khusus agar aksesibel bagi siswa.

Kawasan SMPLB AYPAB sebelumnya merupakan SMA Pertanian, sehingga tidak dirancang khusus agar aksesibel bagi siswa. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012.

Di sisi lain, Sofi menjadi lebih peka terhadap berbagai hal yang terjadi di lingkungannya. Ia dapat membedakan orang yang mendekat dari bunyi langkahnya. Ia juga dapat membedakan rekan-rekan yang bertemu dari wangi tubuhnya. Indera-indera lain para tunanetra juga menjadi sangat peka dan itu menjadi kelebihan mereka. Ini salah satu potensi dari tunanetra yang seringkali belum kita hargai.

Rizky

Rizky Rahmadani seusia dengan Sofi, dan mengenyam pendidikan di SMP yang sama. Ia berasal dari Jombang dan memiliki daya penglihatan rendah (low vision), dan baru mengalami kebutaan kurang dari 1 tahun. Maka ia masih beradaptasi terhadap kondisinya. Rizky juga tinggal di asrama YPAB dan diantar-jemput orang tuanya sekali seminggu.

Rizky punya hobi bermain bola. Sayangnya, ia kesulitan untuk melihat dengan jelas. Para siswa sering bermain bola di lapangan belakang SMP YPAB. Mereka sangat antusias bermain. Bola yang mereka pakai ditambahkan isi kerincing yang bisa membantu mereka menemukan bola. Jika bola ini berhenti bergulir maka mereka harus mengepel lantai lapangan. Inilah kegiatan yang menantang bagi mereka, sebagai salah satu hobi dan untuk mengasah kelebihan mereka.

Harapan Alfian, Sofi dan Rizky adalah ingin dihargai oleh warga kota Surabaya. Misalnya, ketika mereka berjalan dan menabrak orang lain, seringkali dimarahi. Kita kadang belum memahami keterbatasan tunanetra dan masih menganggap rendah mereka. Trotoar sebagai tempat berjalan kaki seringkali didominasi oleh becak, motor, bahkan untuk tempat parkir. Para siswa ini mengakui sulit bergerak karena trotoar di Surabaya tidak digunakan secara tertib. Hal ini mengakibatkan mereka seringkali tertabrak oleh pengguna-pengguna lain yang menggunakan fasilitas umum secara sembarangan.

Guru

Tiga orang Guru juga kami wawancarai. Mereka ialah pak Madoeri, pak Atung Yunarto dan pak Tutus Setiawan.

Pak Madoeri

Pak Madoeri ialah guru yang paling senior di SMPLB A YPAB, berusia 61 tahun. Saat ini beliau tinggal di jalan Manukan, Tandes. Setiap hari pulang pergi dengan bemo (lyn) dari dan ke SMPLB A YPAB. Pak Madoeri mengalami kebutaan menyeluruh (total blind) sejak umur 2 tahun karena penyakit demam. Pak Madoeri mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, Memijat dan Seni Budaya. Ia menikmati kehidupannya bersama seorang istri, anak-anak dan cucu.

Pak Madoeri, pengajar senior, sedang menulis Braille. Selain mengajar, Pak Madoeri juga menjadi juru pijat profesional yang dapat dipanggil sewaktu-waktu.

Pak Madoeri, pengajar senior, sedang menulis Braille. Selain mengajar, Pak Madoeri juga menjadi juru pijat profesional yang dapat dipanggil sewaktu-waktu. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012

Selain mengajar, Pak Madoeri juga menjadi juru pijat profesional yang dapat dipanggil sewaktu-waktu. Keahlian memijat merupakan kelebihan para tunanetra yang dapat dirasakan secara langsung oleh Masyarakat. Pekerjaan ini dapat mencukupi kebutuhan finansial pak Madoeri. Maka keahlian ini juga diajarkan di SMPLB A YPAB, meski pekerjaan pemijat bukan satu-satunya pekerjaan bagi para tunanetra.

Pengalaman Pak Madoeri yang sering “menjelajah” di kota Surabaya juga menarik. Ia seringkali kesulitan karena tidak ada penanda yang jelas pada trotoar, juga pada saat naik kendaraan umum. Menurutnya, terjatuh atau terperosok dalam lubang ketika berjalan juga merupakan hal yang biasa terjadi pada para tunanetra. Kebutuhan tunanetra ternyata masih belum terwadahi di ruang-ruang umum kota (public space).

Pak Atung Yunarto

Pak Atung Yunarto adalah guru yang mengajar IPA Fisika, Matematika dan Memijat di SMPLB A YPAB, yang menderita kehilangan daya penglihatan secara bertahap (low vision) pada 14 tahun yang lalu. Pada saat itu, beliau lulus dari Universitas Jember dan mengajar di Universitas Hang Tuah. Tetapi setelah mengalami kebutaan, beliau mengundurkan diri dan mengalami sedikit tekanan batin walau hanya sebentar. Hal inilah yang sering dirasakan rekan-rekan tunanetra yang tiba-tiba kehilangan penglihatannya, perlu kekuatan mental menghadapi hal ini.

Pak Atung Yunarto adalah guru yang mengajar IPA Fisika, Matematika dan Memijat di SMPLB A YPAB

Pak Atung Yunarto adalah guru yang mengajar IPA Fisika, Matematika dan Memijat di SMPLB A YPAB. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012.

Hingga saat ini pak Atung sudah mengajar lebih dari 11 tahun. Beliau merasa menikmati perannya sebagai guru dan juga mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan di Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT). LPT ini juga melakukan pendidikan ketunanetraan untuk orang awam, advokasi terhadap pemerintah dan masyarakat tentang kebutuhan hak asasi tunanetra. Hal ini menunjukkan pentingnya hak-hak para tunanetra diperjuangkan karena mereka masih terdiskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan dan aksesibilitas.

Pak Tutus

Guru yang dipanggil pak Tutus ini mengalami total blind sejak umur 8 tahun karena kecelakaan menabrak tembok di sekolahnya. Pak Tutus mengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Informatika dan Komputer. Hal ini merupakan kelebihan dari Pak Tutus. Kemampuan penggunaan komputer untuk tunanetra merupakan bukti bahwa para Tunanetra dapat mengembangkan kemampuannya jika memiliki akses latihan dan dilengkapi oleh alat – alat yang tepat. Hal ini merupakan potensi yang masih harus dan terus dikembangkan.

Pak Tutus mengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Informatika dan Komputer.

Pak Tutus mengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Informatika dan Komputer. Foto: Gunawan Tanuwidjaja, dkk, 2012.

Kelebihan Para Tunanetra total blind seperti Pak Tutus dan Pak Madoeri ialah mereka lebih berani untuk bergerak di kota walaupun sering terperosok. Mereka menikmati berjalan-jalan di kota. Sayangnya, tidak ada tempat yang benar-benar aksesibel, termasuk trotoar di jalan Basuki Rahmat dan Darmo yang telah didesain khusus dengan ubin pemandu. Ubin pemandu tersebut tidak cukup menonjol dan tidak diletakkan secara tepat sehingga justru membingungkan dan membahayakan para tunanetra.

Para tunanetra juga seharusnya diwadahi hak-haknya. Mereka membutuhkan pendidikan yang aksesibel, pekerjaan yang aksesibel, perlindungan hukum yang sama, kesamaan hak secara sosial, ekonomi dan fisik. Di sisi lain mereka memiliki banyak potensi karena sikap mereka yang pantang menyerah, berani mencoba hal-hal baru, rendah hati serta mau berkorban. Potensi mereka mungkin awalnya terbatas pada kesehatan (pemijat), musik (pemain musik) tetapi sebenarnya banyak bidang profesi lainnya yang mereka mampu lakukan seperti pendidikan (guru dan dosen), telekomunikasi (operator telepon), teknik informatika (operator komputer dan programmer) jika mereka difasilitasi dan dilatih secara maksimal seperti yang dicoba dilakukan di SMPLB A YPAB ini.

This post is also available in: English

  • Astrid Nur Aryani

    touching..