Dia masih seperti yang dulu. Baunya yang menyengat, membuat bulu hidungmu gatal dan mulutmu mengumpat. Menempatkanmu antara mau bersin atau muntah. Dia, mengotori kerongkonganmu, membuatmu mual tak terkira, lambungmu bergolak, lalu “Hueeeek..!”
Dia, sampah-sampah itu, tertimbun di sana. Pada lahan seluas hampir 27 ha, di antara tambak udang, ladang garam rakyat, dan pembangunan gedung megah Gelora Bung Tomo yang hampir rampung. Tumpukan sampah-sampah itu mirip pebukitan kecil, yang dikerumuni lebih seribu manusia bercaping. Mereka ibarat lalat yang mengepung sumber makanan.
“Dia sangat-sangat mengganggu dan memalukan,” keluh si pembangun gedung wah itu. “Amat bau dan tidak menyehatkan,” kata penduduk di Dusun Tambakrejo dan Tambakdono, Pakal, Benowo. Lama sudah mereka protes tentang keberadaan lahan sampah terakhir orang sekota buaya ini. Bayangkan, 1200 ton sampah setiap hari dibuang ke sini. Sampah hasil produk lebih 3 juta jiwa penduduk. “Tempat tinggal kita, mirip akumulasi bau busuk orang se-Surabaya,” kata seorang warga.
Ironisnya, sampah busuk yang bikin gatal walau hanya dengan melihatnya ini, mampu menghidupi sekitar 1200 pemulung. Mereka datang dari kota sekitar. Ada yang dari Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Mojokerto. Ada pula yang dari pulau garam. Mereka mau memilah dan memilih sampah demi upah Rp 60.000 per hari. Ketika lapangan kerja susah didapat, upah segitu sangat lumayan. Hanya bermodal tahan bau busuk dan anti jijik. Modal yang tak semua orang mampu melakoni.
Sekitar 1996, bersama seorang kawan, kupernah singgah ke TPA Sukolilo, tempat pembuangan sampah pra Benowo. Di sana aku dan teman sempatkan ngobrol dengan dua bocah kakak beradik, yang satu kelas 2 SD, yang lain kelas 4 SD. Mereka mengumpulkan bungkus sabun dan kardus, berjemur di antara gundukan sampah di siang terik. Baru pulang sekolah katanya, lalu menyampah demi bayar uang sekolah dan sedikit uang saku. Senang sekali mereka ketika kami belikan es teh dan jajanan di warung samping timbunan sampah.
Akhir tahun 2003, kembali kusambangi TPA baru saat itu. Benowo. Aih, kering sekali kondisinya saat kudatang. Nyaris tak ada bangunan di sana, hanya gubuk tempat penitipan sepeda para pemulung. Dengan bebas aku masuk TPA, ngobrol dengan dua pemulung anak, ketawa-ketiwi, motret sana-sini, hingga tak kurasa hari itu masih Ramadlan, dan saat berbuka nyaris tiba.
“Kapan-kapan main ke sini lagi, moto-moto kami,” ramah kata mereka berdua, Jumadi dan adiknya Ali. Mereka berkisah, mampu kumpulkan 200 kg tas kresek setiap bulan. Penghasilan bersih mereka waktu itu, bisa mencapai Rp 600.000-Rp 700.000 per bulan. Hidupnya jauh lebih mandiri ketimbang lebih 40 juta pengangguran di negeri ini.
Sabtu pagi, 11 Juni 2011, kembali kusatroni TPA Benowo. Seorang kawan memaksa ingin melihat sendiri. Begitu besar rasa ingin tahunya, hingga pukul 5 pagi kami sudah berkendara. Rupanya dia sudah siapkan segala, masker penutup hidung dan minyak kayu putih jika dikepung bau busuk tak tertahankan.
Namun semua persiapan tak guna. Takut dipikir ‘jijik dengan mereka’, tak bisa membaur, maka masker dan aroma terlupakan. Kami masuki kawasan TPA, memarkir mobil, lalu jalan kaki lalui sedikit ceceran kotoran sapi basah, beberapa belatung yang bersukaria di tengah jalan, ribuan lalat, dan apa sajalah. Bau? Bukan masalah. Hidungku sudah lama dimampatkan kemiskinan.
Sampai di lokasi, kulihat kawanku kebingungan. Antara dekati mereka, para pemulung, bidikkan kameranya, dengan pemandangan tak tertahankan. Memang tak tertahankan. Segala bau menjijikkan, tubuh-tubuh kotor, dan sampah yang—kalau bisa—kita singkirkan jauh-jauh dari penglihatan dan hidup kita, membentang di depan mata. Tapi inilah realita.
Kudekati mereka. Sekedar bertegur sapa dengan sepasang pemulung yang duduk di dalam tenda. Yang lelaki sedang talikan sepatu, siap bekerja. Di tenda satunya, asyik seorang pemulung tertidur. Masih mengantuk mungkin dia.
Kutakik gunungan sampah. Dekati buldozer yang membuka timbunan sampah, menjauhi truk-truk pengangkut sampah milik KMS yang menumpahkan isinya. Belasan pemulung kerumuni buldozer. Berebut memilih dan milah sampah. Mengais rejeki hari ini. Seorang pemulung berteriak kepadaku. “Kalau mo moto saya, bayar sepuluh ribu ya,” katanya sambil terkekeh.
“Saya saja belom sarapan Pak, gimana mo bayar sampeyan,” gurauku. Mereka terbahak. Lalu berbaurlah kami, saling bincang, sekedar menyapa. Mereka, para pemulung ini, sebenarnya pribadi yang hangat. Namun keberadaannya kerap diabaikan, seolah bukan manusia, karena pekerjaannya yang berhubungan dengan barang ‘kotor’ dan ‘bau’ itu.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor masuk. Penjual pentol bakso dan es dingdong. Seorang ibu mendekatinya, menjulurkan ember plastik kecil. Rupanya dia kehausan. Sang penjual, tanpa rasa jijik dan sungkan, segera menyahut ember tadi, mengisinya dengan es. Ibu itu pun, tanpa merasa perlu cuci tangan, meminum es tadi.
Belakangan baru kutahu, tak ada sarana air bersih di TPA ini. Jadi, mereka makan dan minum tanpa merasa perlu membersihkan tangan. Kelak juga kutahu, dari sekitar 1200 pemulung, 1000 diantaranya mengidap penyakit kulit kronis dan diare. Penyakit yang berhubungan dengan rendahnya tingkat kebersihan.
Penjual es dingdong itu menyuruhku belok ke kiri, ke areal sampah yang lebih luas. Aku menurut. Memang lebih banyak pemulung kutemui di sana. Namun tidak kambing dan sapi yang biasanya bertebaran. Hari masih terlalu pagi. Belum pukul delapan. Seorang ibu, menegurku. “Sampeyan lama nggak kelihatan,” sapanya ramah. Aku mengiyakan.
Kulihat sepeda-sepeda ontel digeletakkan saja di antara pepohonan, bersama puluhan karung yang berisi sampah pilahan. Para pemulung ini, sebagian kos di rumah penduduk sekitar. Mereka memasuki area TPA dengan bersepeda. Jika sore menjelang, sebagian karung hasil pilahan mereka angkut pakai truk, sebagian mereka gendong dengan sepeda.
Tiba-tiba kawanku memanggil. Wajahnya pasi. Lapar mungkin, belum sarapan. Kurasa harus segera tinggalkan TPA. Kupamit pada ibu tadi. “Kok cepet pulang, Nak,” dia tertawa, pamerkan bagian depan mulutnya yang ompong.
“Sore nanti saya kembali, Mak,” aku berbohong. Dia mengangguk, lambaikan tangannya.
“Kau kenal perempuan tadi?” tanya temanku. Kugelengkan kepala cepat, sambil tertawa.
“Kalau kita masuk ke sini, modalnya sok kenal sok akrab. Semua dijamin lancar,” kataku mengasal.
Perlahan kami tinggalkan TPA Benowo. Lalui mesin daur ulang sampah, mesin komposisasi, dan lainnya. Sebetulnya ini TPA paling lengkap dan mutakhir di Indonesia. Bahkan sempat jadi TPA percontohan. Namun karena keberadaannya dianggap mengganggu gedung wah, harus segera disingkirkan. Kemana? Gresik, katanya.
Yah begitulah nasib barang yang bau busuk dan kotor itu, harus disingkirkan jauh-jauh dari pemandangan kita. Padahal kita sendiri yang menghasilkannya setiap hari. Aku jadi berpikir, betapa jijiknya manusia akan tahinya sendiri. Namun jika dia tak bisa bertahi setiap hari, mati pula dibuatnya. Ah.. kadang sikap manusialah yang lebih bau dan menjijikkan, bukan sampahnya.
This post is also available in: English