16:04. Aku baru saja pulang dari kantor ketika Tinta tiba-tiba sudah mengepung depan rumahku. Segera kupersilakan masuk karena aku belum bersiap-siap untuk perjalanan kali ini. Beruntung seorang murid adikku bernama Faza, gadis lincah berusia 7 tahun, ada di rumahku. Jadilah Faza sebagai penyambut Tinta hari itu, yang belakangan aku tahu dia lebih bertindak sebagai interogator ketimbang tuan rumah. Tak lama, aku sudah siap dan Tinta dengan sigap memimpin di depan.
Tinta selalu terlihat lebih semangat setiap kali melakukan perjalanan di Kampung Arab. Entah kenapa.
Sore itu KH Mas Mansyur bak diorama cantik. Jalanan berirama oleh kepadatan kendaraan dan pejalan kaki, sedang di kejauhan matahari menuruni singgasana angkasanya, perlahan menghilang di antara gedung-gedung tua. Terlihat Edo mendahului kami tiba di titik pertemuan di depan Hotel Kemadjuan, hotel tua yang didirikan pada tahun 1928 oleh beberapa tokoh organisasi Al-Irsyad untuk mendanai sekolah Al-Irsyad, sebuah monumen penting perkembangan masyarakat Arab Surabaya.
Tak lama setelah kami berbasa-basi, Tinta mendapat panggilan dari Mbak Yuli, menanyakan lokasi pertemuan karena hari itu adalah pertama kalinya Mbak Yuli memasuki wilayah tua Kampung Arab ini. Mbak Yuli datang bersama sang putri, Silvi, baru berusia 7 tahun. Rasanya sore itu masih kurang meriah karena kami masih harus menunggu datangnya anggota terlincah kami, Erlin.
Tepat beberapa saat sebelum Erlin tiba, seorang anggota baru bernama Yuli (juga) bergabung bersama kami. Yuli berperawakan seperti seorang anggota angkatan darat, terlihat cukup persiapan dengan membawa beberapa tas berisi kamera dan barang lainnya. Erlin pun tiba, dan seperti biasa, tawa cerianya mencairkan matahari senja lebih cepat dari biasanya. Lengkap sudah anggota sirkus kami.
Kami telah menetapkan rute, dan segera memasuki Hotel Kemadjuan sebagai destinasi pertama kami. Hotel yang hanya memiliki 2 lantai ini masih memertahankan bentuk aslinya, dengan kamar-kamar yang tertata seadanya. Hingga saat ini, hotel ini menjadi salah satu rujukan para pendatang. Tinta mengabarkan jika seorang juru foto Jawa Pos akan mengambil dokumentasi untuk diterbitkan dalam edisi beberapa hari setelahnya. Kami memilih Hotel ini sebagai latar belakang. Hanya pertemuan singkat sebelum sang juru foto tergesa meninggalkan kami.
Pasar Pabean menjadi tujuan kami berikutnya. Melewati sebuah masjid (yang katanya) pemberian sebuah keluarga India, Masjid Serang, aroma unik (atau tak lazim bagi yang pertama kali kesana) menyapa kami. Dengan toko-toko parfum di sebelah kanan jalan, dan penjaja hasil laut di seberangnya, akhirnya para anggota baru tahu ramuan apa di balik aroma itu. Pasar Pabean yang berada di Jalan Panggung ini adalah satu satu aset wilayah, dari segi ekonomi hingga pariwisata, dimana dulunya merupakan gerbang antara perkampungan Arab dan Cina. Mengejutkan, sebelum kami berjalan lebih jauh, Nichii sang ilustrator handal muncul dan mengikuti langkah kami dari belakang.
Tak lama, Tinta, Erlin, Edo, dan Yuli berlomba mengais momen di jalanan becek dan sesak itu, sedang aku tetap berada di depan mencoba mencari detail pemandangan yang selama ini terlewatkan. Biasanya kami memang memiliki kebiasaan untuk mengabadikan momen kami bersama dalam satu bingkai sebagai penanda tak resmi dimulainya perburuan citra.
Erlin membuka perburuan dengan teknik andalannya, pendekatan verbal ke warga sekitar.
Basa basi berlapis senyum pastilah merontokkan pertahanan mereka.
Sejenak mata cepatnya memindai beragam hewan laut yang dijajakan di sepanjang jalan, hingga berhenti ke sebentuk hewan yang mirip kecoa raksasa dengan tambahan ekor panjang berwarna coklat keabuan. Dan karena aku adalah pemimpin rombongan sore itu, maka Erlin bertanya padaku mengenai hewan yang aku ketahui sebagai Mimi – Mintuno, digambarkan dalam legenda cinta sejati pria –wanita. Menurut mitosnya, keduanya harus dimasak bersamaan, atau akan menghasilkan racun.
Cinta memang beracun, kawan.
Perjalanan kami berlanjut menuju jalanan yang membayangi Sungai Kalimas. Jalanan itu cukup luas untuk dilewati tiga truk sekaligus. Nampak rumah penduduk pendatang Madura di sisi lain sungai, yang biasanya menempati rumah-rumah tua berarsitektur Belanda. Dulunya, rumah-rumah itu adalah milik kolonial Belanda yang tidak lagi ditempati setelah mereka meninggalkan Surabaya.
Di pinggiran sungai berlumpur, beberapa anak perempuan duduk dengan manis, nampak bersih setelah dimandikan dan diberi bedak secukupnya. Tak jauh dari situ, di sebuah pos yang dibangun dengan kayu seadanya, beberapa pria memancing sembari mengobrol dan menyelesaikan sedotan rokok. Ini adalah pemandangan umum masyarakat pendatang Madura dalam mengisi sore. Di belakangku, teman-teman masih sibuk dengan kamera mereka, sedang Silvi kecil mulai kehilangan kesabaran akan rasa capek. Berjalan di sebelahku, Yuli bercerita dia pernah tinggal di daerah angkatan laut di Perak, tapi pindah setelah keluarganya dipindahtugaskan.
Kami banting setir memasuki jalan Kalimas Udik dan berhenti di depan sebuah Langgar tua bernama Sagipoddin. Aneh, seumur hidupku tinggal di wilayah itu, baru tahu adanya langgar ini. Sagipoddin, nama yang tidak lazim untuk sebuah tempat ibadah. Kemungkinan Sagipoddin adalah nama keluarga yang memberikan langgar itu untuk digunakan khalayak. Hal yang biasa terjadi di masa ketika masih banyak tanah kosong, dan keluarga-keluarga yang cukup mapan mulai menggunakan hartanya untuk kebutuhan sosial.
Antara malu-malu dan takut, kami mengintip di balik langgar tanpa pintu: Seorang wanita tua bersila membaca ayat demi ayat Al-Qur’an dalam sebuah ruang luas yang nampak seperti langgar pada umumnya, hanya saja tempat itu tampak gelap dan tidak terawat. Sejenak wanita tua berhenti dan memandang kami, mempersilakan masuk lalu kembali melanjutkan bacaannya. Memasuki ruangan, bulu kudukku merinding, bukan karena takut atau terasa mistis, namun lebih karena merasa berada di dalam reruntuhan kuil Solomon, dan semakin masuk ke dalam, semakin jauh aku merasa gedung ini bukan berasal dari abad ini.
Di sebelah ruangan utama tadi aku menemukan tempat berwudhu yang terbagi dalam dua baris, dipisahkan tembok pendek dan terlihat seperti labirin singkat. Gelap dan berbau pekat, aku mengikuti labirin singkat yang diakhiri sebuah kolam besar yang kosong, dan di sebelahnya terdapat sumur terisi.
Ketika aku membalikkan diri, terlihat tangga menuju ruang berikutnya, namun Yuli dan Edo ternyata sudah mendahului aku, mengambil langkah besar dengan memasuki ruangan di atas. Hening.
Tak lama mereka kembali turun, mengatakan bahwa di dalam ruangan itu terdapat seorang pria tengah baya, yang kemungkinan adalah putra sang wanita tua tadi. Seketika pikiranku yang dipenuhi tanya akhirnya mendapat jawaban: Wanita tua dan pria tadi adalah orang-orang yang dipercaya untuk menjaga langgar pemberian keluarga Sagipoddin, dan biasanya sudah dilakukan selama beberapa generasi.
Setelah kami mengambil beberapa foto dan pamit kepada wanita tua, kami keluar dari Langgar Sagipoddin, berpikir tentang destinasi berikutnya: Ampel Suci.
Di perempatan Jalan Sasak, telepon genggamku bergetar, terlihat nama VAVO muncul di layar. Vavo bukanlah nama sebenarnya, tapi dia juga tidak tahu darimana asalnya julukan itu. Dia telah tiba dan siap bergabung dengan kami. Setelah menunggu beberapa saat, terlihat sesosok gadis muda di kejauhan melambaikan tangan. Rambut sebahunya dimainkan angin lalu, sedang wajah cantiknya ditempa pantulan senja. Sekilas terdengar orkestra memainkan sonata di kepalaku, mengikuti langkah sang gadis mendekat sebelum akhirnya menghilang ditelan kesadaran.
Kenapa pemandangan ini tidak bisa aku dapatkan setiap hari?
Sedikit perbincangan ringan sebelum akhirnya kami menyambung jejak. Ampel Suci merupakan salah satu gerbang utama menuju Masjid Ampel. Ampel suci dikelilingi toko kitab dan busana Muslim, menguatkan kesan religius. Karena hari itu adalah Ramadhan, tak heran suasana cukup ramai, hingga kami memutuskan berjalan singkat saja dan berbelok memasuki Ampel Maghfur, tepat ketika adzan maghrib berkumandang.
Beruntung sebelumnya aku membeli dua botol besar air mineral, memuaskan dahaga kami atas puasa hari itu. Kami berhenti di depan sekolah TK Al-Irsyad, yang dulunya merupakan sekolahku. Sebagian rombongan menenangkan kaki-kaki letih mereka, sedang sebagian kembali mengambil gambar ketika aku bercerita mengenai hubungan sejarahku dan sekolah itu.
Langit meredup. Di ujung jalan, kami menemukan jajanan berlimpah, mulai dari kue pasar tradisional hingga syawarma, salah satu makanan yang cukup banyak dicari di Kampung Arab. Syawarma berupa roti hotdog yang diberi isian daging domba tipis kebab, keju, sayur, dan mayo. Nitchii dan Erlin memesan sebuah. Terlalu sedikit untuk berdua, namun menurutku mereka tengah dalam masa percobaan rasa baru.
Selesai dengan syawarma dan jajanan pasar, rombongan kami menuju arah perempatan Jalan Panggung kembali, dimana sebuah kedai Gule Maryam mulai buka. Pada hari biasa, kedai ini mulai buka tengah malam, ketika sebagian warga sudah terlelap. Menurut cerita, sang pemilik kedai yang adalah seorang wanita Madura, dulunya adalah karyawati kedai serupa milik pendatang Arab.
Kami memesan beberapa porsi Gule. Mbak Yuli bercerita pernah dibawakan Roti Maryam oleh suaminya, yang menurutnya cukup enak jika dimakan tanpa Gule dikarenakan aroma rempahnya yang kuat. Pernyataan ini diamini beberapa anggota lain.
Ini adalah ujian ketahanan bagi para pemula.
Suapan pertama, dan Mbak Yuli hanya tersenyum. Ramalannya jadi nyata, meninggalkan sendok dalam posisi terbalik. Seakan jadi gerakan masal, Yuli juga membiarkan Gulenya dalam porsi penuh. Mereka mengalihkan perhatian ke arah tumpukan Sambosa di seberang meja kami. Dengan cepat tumpukan Sambosa berpindah meja dan segera menjadi pembicaraan utama, bak pertemuan para pemimpin dunia memerbincangkan kerusuhan global.
Sambosa adalah sejenis makanan goreng berbentuk segitiga berisi daging kambing dan rempah, diketahui berasal dari India dan dibawa para pendatang Arab ketika melakukan migrasi ke Nusantara.
Di lain sisi, syawarma milik Nitchii jadi favorit hilir udik. Silvi kecil menyendok ketan srikaya tanpa henti memaksa Mbak Yuli membeli beberapa sekaligus.
18:23. Jelas bukan perjalanan terlama kami, tapi semua orang nampak menikmatinya. Dan beberapa foto terakhir menutup jejak kami di kampung Arab.
Dan jelas bukan perjalanan terbaik, namun aku akhirnya tahu apa yang membuat Tinta selalu semangat mengenai wilayah ini.
This post is also available in: English