Apa yang Anda rasakan tatkala memandang gedung-gedung lama di Surabaya dalam bentuk sketsa? Benar, hanya sketsa. Guratan garis-garis dari pen atau rapido yang kadang dibubuhi cat air. Bukan foto atau lukisan. Sketsa mungkin membawa pikiran Anda mengembara entah ke mana. Bisa jadi mengenang masa lalu, atau menuju negeri mimpi. Itulah yang saya rasakan saat menonton pameran ‘Paradox’, Surabaya dalam sketsa yang digelar di Grha Wismilak 22 Juni-3 Juli 2013 lalu.
Pameran ini menampilkan dua orang artis sekaligus arsitek, Sudarman Angir dan LK Bing. Keduanya menampilkan gaya sketsa yang berbeda, kalau tak dapat disebut berlawanan. Kalau Sudarman Angir menampilkan guratan yang rapi, halus, dan manis, maka sebaliknya LK Bing bermain dalam keliaran. Mungkin karena itu pameran ini dinamai ‘Paradox’ yang menampilkan gaya berbeda. Namun tema yang mereka ambil sama, tentang sudut-sudut kota buaya, termasuk bangunan tua, pelabuhan, maupun limpahan orang-orang di jalanan.
Bing menampilkan 26 karyanya, meliputi sudut pelabuhan dan perkampungan nelayan, jalan dan bangunan tua, juga sudut-sudut kota yang terlupakan. Dalam ‘Market Traditional’ di Jalan Panggung misalnya, bak pendekar mabuk Bing menawarkan eksotisme di sudut kota. Sketsa ini memaksa saya membuka peta, mencari di mana tepatnya Jalan Panggung itu.
Begitu juga saat memandang ‘The Red Bridge’ atau ‘A View from Red Bridge’ menggelitik saya untuk menemukan sensasi warna merah yang dibubuhkan pada nama Jembatan Merah.
Sedang pada ‘Jalan Kalimati Kulon’, aroma kematian membuncah pada gedung di tepi kali mati ini. Membuat saya bertanya-tanya tentang sejarah tempat tersebut, baik kisah di masa lalu, maupun kekinian yang tersisa..
Kekuatan sketsa-sketsa yang dihadirkan oleh LK Bing ada sensasi sebuah bangunan, baik eksotisme, kekunoan, nasibnya yang diterlantarkan, hingga kenangan yang mencekam. LK Bing tak hanya menggurat sketsa singkat lewat pandangan mata, namun juga menambah corak lewat sapuan cat air.
Lihatlah keelokan sketsa ‘Hong Tiek Hian Temple’, atau kehalusan ‘Jembatan Merah Street’. Misterius, menggugah ingin tahu, sekaligus eksotis. Atau ‘The Vintage Siola’ yang sekali pandang, langsung membuat si penikmat—jika benar-benar orang Surabaya—segera tahu bangunan mana yang disasar si seniman.
Tapi Bing juga mengabstrak ketika menampilkan ‘The Red Door’ Kalimati Kulon Street atau The Green Canopy, membuat saya harus mengernyitkan dahi, mencoba mencari wajah di sudut kota yang Lain.
Yang juga menarik, Bing tak hanya membuat sketsa sudut-sudut kota atau jalan, tapi juga sudut pantai. Lihat saja ‘Tanjung Perak Harbour’ atau Nambangan. Dia tak lupa, Surabaya itu kota di tepi pantai. Maka sudut-sudut pantai ‘lama’ yang tak jua terbangun pun menyisa.
Sedang Sudarman Angir menampilkan 26 sketsa, yang hampir semua obyeknya merupakan bangunan bersejarah di kota pahlawan. Dalam ‘Gedung Syahbandar Utama’ misalnya, Darman menonjolkan keindahan, eksotisme, serta kekunoan gedung tua di sekitar Ujung Surabaya. Demikian juga saat menyorot ‘Ujung Jalan Panggung’ atau tiga seri ‘Jalan Panggung’ maka perhatian Darman lebih kepada deretan rumah, yang dilalui abang becak dan lalu-lalang orang,
Sementara dalam sketsanya yang bertitel ‘Songoyudan gang IV’, kesan manis, rapi, dan jelas terpancar pada setiap detil sketsa tersebut.
Ada kesan senada ketika Darman menggurat ‘Ex Museum Mpu Tantular, Apotik Kimia Farma Jalan Darmo, Grha Wismilak, Rumah Ujung Jalan Imam Bonjol, Hotel Olympic, Balai Kota Surabaya, Hotel Majapahit’, maupun ‘Kantor Gubernur Jatim’. Bahwa semua itu adalah gedung tua, penuh sejarah, dan cagar budaya. Bangunan-bangunan yang dapat menjadi kekayaan tak ternilai di Surabaya karena kandungan sejarahnya. Bangunan yang mestinya dilindungi dan dilestarikan, bukannya diubah menjadi bangunan modern serupa mall, hotel, atau perkantoran yang menjulang
Ada dua pelajaran yang saya tangkap usai menghadiri pameran ini. Kesatu, sketsa sebagai sebuah seni sungguh menarik dan menggoda untuk dikembangkan. Selain tak membutuhkan banyak tenaga—seperti lukisan—juga lebih emosional kesannya. Lagipula bahan membuat sketsa begitu sederhana, sehingga dapat dilakukan oleh mereka yang minim dana sekalipun.
Kedua, pameran ini menyadarkan saya akan kekayaan bangunan tua di Surabaya. Tak hanya kaya sejarah, tapi juga penuh romansa, sentimentil, dan membuat orang bernostalgia akan indahnya masa lalu. Ingatan saya pun melayang ke George Town, di Pulau Penang, Malaysia. Begitu gigih dan kukuhnya warga George Town mempertahankan bangunan tua di kotanya, membuat kota ini dianugerahi ‘World Heritage’, kota warisan budaya dunia. Saya tak berharap Surabaya mengikuti jejak Penang. Saya hanya ingin agar warga kota buaya ini memelihara kota tuanya, membuat anak cucu bangga akan kekunoan Surabaya, dan tentu saja menjadi daya tarik pariwisata. Bukankah bangsa besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya?
Pingback: Arsitektur Surabaya dalam Paradoks | Othervisions