Kata Natal—juga dalam bahasa Prancis, Noël, Provençal Nadau atau Nadal, Natale (Italia), Natal (Portugis) dan Nadolig (Welsh)—semuanya berasal dari bahasa Latin natalis, yang berarti kelahiran. Natal dirayakan sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, walau pada kenyataanya, tidak ada yang tahu pasti tanggal lahir Yesus. Pada awalnya, umat Kristiani bahkan tidak peduli kapan Yesus lahir, apalagi karena perayaan ulang tahun di zaman itu dianggap sebagai praktik kafir. Sempat tanggal kelahiran Yesus ditentukan pada bulan Maret, April, Mei, November. Gereja sendiri baru mulai secara resmi merayakan kelahiran Yesus pada 25 Desember di sekitar abad keempat Masehi1.
Penentuan tanggal 25 Desember ini bukannya sekedar kebetulan, tapi dipertimbangkan bertepatan dengan festival Saturnalia dan pesta musim untuk menyambut kelahiran matahari, Dies Natalis Invicti. Festival-festival pagan ini sendiri penuh dengan pesta, permainan, arakan parade, makan-minum, tari-tarian, pertukaran peran (role inversion) dan berbagai acara meriah lainnya. Natal dibuat bertepatan tanggalnya dengan perayaan ini, dengan salah satu tujuannya untuk memudahkan penerimaan dan penyebarannya.2
Boleh dibilang festival Natal cukup fleksibel dan cair dalam mengadopsi berbagai simbol yang ada. Salah satu simbol yang kita cukup familiar adalah Santa Claus. (Baru saja, satu hotel di Surabaya membuat acara Santa bergelantungan dari atap hotel untuk menghibur anak-anak.)
Santa Claus yang kita tahu dipopulerkan oleh ilustrator Thomas Nast sebagai laki-laki tua ramah gemuk berjenggot putih dengan topi krucut merah yang mengendarai kereta ditarik rusa. Meski mungkin banyak dari kita lebih familiar dengan gambar iklan Coca-Colanya. Menjebloskan diri dalam cerobong dengan karung berisi hadiah untuk-anak di seluruh dunia… dalam waktu kurang dari 24 jam.
Figur Santa Claus sendiri berawal dari figur uskup keturunan Yunani, St. Nicholas dari Myra3, atau Sinterklaas dalam bahasa Belanda. Setidaknya sekitar 20 tahun lalu di Surabaya saya masih sering melihat Sinterklaas (atau orang yan dibayar untuk berperan menjadinya) menjelang Desember, dengan topi uskup dan jubah merahnya. Ditemani oleh Zwarte Piet atau Piet Hitam yang membawa karung dan sapu lidi, untuk membungkus dan memukuli anak-anak nakal. (Ada sejarah menarik yang berliku-liku mengenai asal-usul Sinterklaas dan Zwarte Piet, terutama di Eropa. Artikel ini tidak akan membahasnya, tapi saya sarankan, telusurilah. Ibaratnya membaca versi Grimm setelah sebelumnya hanya menonton versi Disney).4
Berbeda dengan Santa Claus yang dikatakan datang di malam Natal 24 Desember, Sinterklaas dirayakan datang pada 5 atau 6 Desember. Sewaktu kecil, setiap 5 Desember malam, saya dan saudara-saudara saya akan menata sepatu-sepatu kami di ruang keluarga, dan menaruh sejumput rumput di dalamnya. Untuk makanan kuda Sinterklaas yang akan datang tengah malam membawakan kami kado, kata orang tua kami. Yah, muslihat hiburan untuk anak kecil. (Yang mungkin bisa berhasil, kalau saja rumput buangannya tidak kami temukan di tong sampah keesokan harinya.) Toh, kami girang, ketika pagi berikutnya, kami mendapat kado.
Festival Sinterklaas ini sendiri, kemungkinan besar baru mulai diadakan oleh masyarakat Eropa sekitar tahun 1870-an di Jawa.5 Tapi menurut berbagai sumber koran, dikatakan di Hindia, perayaannya cukup berbeda dengan di Belanda sendiri. Menjadi jauh lebih heboh.
“Di Holland, perayaan berlangsung gezellig (nyaman, ramah, akrab) di rumah, tapi di Hindia, ramai, meriah, penuh sesak di jalan” (Java-Bode 6 Desember 1912), hiruk pikuk dengan “kebiasaan-kebiasaan konyol”, spontan, tak teorganisir khas “gaya hidup Hindia” (Bataviaasch Nieuwsblaad 6 Desember 1912).
Ada beberapa alasan. Terik-panas iklim tropis Hindia tidak terlalu mengundang orang untuk membuat perayaan akrab kecil di dalam rumah di depan tungku. Belum lagi nostalgia dan rasa rindu pada tanah air (Belanda) mendorong masyarakat Belanda untuk berkumpul dengan sesamanya dalam festival “tradisional Belanda”.
Orang-orang Eropa dan Indo—bahkan yang saling tidak kenal—akan ramai-ramai tertawa, menari, menyanyi, (pura-pura) berkelahi, tanpa mempedulikan peringkat sosial. Mereka yang biasanya tidak mempedulikan satu sama lain karena perbedaan kelas sosio-ekonomi (misal petinggi dan pegawai), menjadi saling bercanda dan menjahili. Norma sehari-hari melonggar. Banyak orang, termasuk perempuan dan anak-anak, memakai topeng, kostum, tak jarang cross-dressing (laki-laki memakai baju perempuan, dan sebaliknya). Nonnaatje kenes mencium dan menimpuk laki-laki tua, sementara pemuda-pemuda menapuk perempuan-perempuan dengan kipas-kipas berlumuran cat.
Tak jarang mereka membentuk “geng” untuk menjahili orang-orang sekitarnya. Sampai kadang-kadang, tidak dapat dibedakan apakah ini perkelahian sesungguhnya atau sekedar bercanda. Banyaknya mata lebam dan hidung berdarah menyebabkan De Locomotief menulis di 9 Desember 1908, “Tidak jelas apakah ini festival atau perang saudara.” Pada dasarnya, perilaku-perilaku ini lebih dimaklumi, paling tidak selama festival.
Ada satu cerita lucu di mana seorang pegawai iseng menebarkan potongan kertas dan memasukkannya ke dalam mulut seseorang, untuk kemudian menyadari bahwa orang itu adalah atasannya. Gemetar ketakutannya segera mereda ketika tampang garang atasan melunak menjadi tawa. Rupanya, terjinakkan oleh “pandangan hangat” istri si pegawai. Legalah si pegawai. (Untung-untung malah dapat promosi!)
Yang perlu diingat, menjelang abad ke-20, di Hindia Belanda terjadi peningkatan gelombang imigran baru dari Belanda (totok). Sentimen intra-etnis Eropa meningkat: penduduk Eropa dan peranakan menjadi resah, menunjukkan status ke-Eropa-an mereka demi (mendapatkan) status yang lebih tinggi. Festival St. Nicholas memberi kesempatan untuk menegaskan “status ke-Eropa-an”. Dikatakan, di kota-kota besar itu, siapapun dengan darah—ataupun pretensi—Eropa dalam dirinya, merayakannya dengan gegap gempita.
Tentunya, ini tidak luput dari perhatian mereka yang tidak merayakan, atau para “nontonner”, yaitu penduduk non-Eropa setempat: orang-orang Jawa dan keturunan Asia. Masyarakat non-Eropa—Jawa, Tionghoa, dan Arab—memperhatikan kehebohan kedatangan “Sinjo Klas” atau “Sinjo Kolaas” yang diarak di jalan, tapi umumnya tidak berpartisipasi. Dalam berita-berita, dikatakan masyarakat non-Eropa (pribumi dan “Timur Asing”) hanya berdiam dan menonton, berjongkok atau berdiri, memperhatikan dari pinggir, membisu tidak berpartisipasi dalam keramaian.6
Menariknya, di Surabaya, terjadi pengecualian di tombola-tombola (semacam permainan lotre yang bisa dilakukan dengan membeli tiket murah). Kesempatan memenangkan lotre rupanya tidak mengenal batas etnis, dan masyarakat Jawa dan Tionghoa ikut berbondong-bondong mengantre tiket di toko-toko Eropa, meski tidak selalu disambut dengan senang hati. Beberapa orang Eropa dan Jawa bahkan turut mengikuti tombola yang diadakan pedagang-pedagang Tionghoa, karena seringkali harganya lebih murah.
Sayangnya, ini tidak bertahan lama. Tak lama, penduduk Eropa menjadi merasa jengkel harus bersaing secara setara dengan orang-orang Tionghoa dan Jawa. Dalam tombola-tombola ini, asumsi “superioritas” orang-orang Eropa menjadi tidak berlaku. Mereka segera sadar bahwa mereka, dengan jumlahnya yang sedikit, tidak bisa menentukan peraturan permainan ataupun mendapatkan keuntungan lebih. (Begitulah, perjudian pun bisa menjadi perlawanan.) Saking kesalnya, muncul berbagai retorika jengkel nan angkuh di media, mempertanyakan, memang orang-orang Indonesia dan Tionghoa itu kira festival St. Nicholas itu dirayakan untuk mereka apa?
Perlahan-lahan, orang-orang Eropa menarik diri dari bentuk perayaan komunal ini, dan muncul pelarangan tombola pada 1917. Semenjak 1915 pun, minat publik pada perayaan St. Nicholas yang heboh ala Hindia ini sendiri menurun. Bukan saja karena perasaan tidak nyaman akan partisipasi orang-orang di luar etnis Eropa, tapi juga faktor ekonomi dan makin meningkatnya jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia (dan mendorong perayaan dilakukan di dalam rumah bersama keluarga).
***
Begitulah. Tiap tahun, seiring dengan banyaknya papan CHRISTMAS SALE, mudah sekali bagi kita menemukan keluhan mengenai betapa terkikisnya perayaan Natal sekarang dari makna “rohaniah”. Atau bernostalgia mengenai Natal yang asli, “otentik”. Tapi apa sesungguhnya yang kita maksud dengan “rohaniah” dan “otentik” itu? Bagaimana kita mau mencari keasliannya, otentisitasnya, jika kita bahkan tidak tahu kapan sesungguhnya tanggal lahir Yesus Kristus?
Jika kita sedikit membaca sejarah saja, kita akan menemukan bagaimana Natal, dan berbagai variannya (festival St. Nicholas, Feast of Nativity, dsb.), adalah perayaan yang sejak zaman baheula dengan lincah dan cair, memadu-padan dan mengolah berbagai elemen agama, budaya, sosial, politik dan ekonomi, sesuai dengan konteksnya. Sama seperti perayaan lainnya, Natal sarat dengan kepentingan, tidak hanya penguasa ataupun komersial, tapi juga kita yang merayakannya. Selamat Natal.