Gandaran: “Gojlokan” Pernikahan di Kampung Arab

Tampak gagah untuk laki-laki seumurannya, Ahmad—dengan jubah berwarna coklat-emas dan kemeja putih, dipadu surban putih berhiaskan kalung bunga melati—diarak dari rumahnya oleh puluhan laki-laki, dengan dua wali di sebelahnya, Selama perjalanan itu Ahmad dijadikan objek “penyiksaan gojlokan” dari anggota rombongan: dibelokkan ke kawasan wisata reliji yang padat dengan peziarah (dan dimintai foto!),  dipaksa menari Samar, hingga dibopong ibarat berada di tengah konser musik metal. Kehebohan gojlokan yang harus dilaluinya sebelum akhirnya tiba di rumah sang calon istri. Simak secuplik cerita arakan pernikahan di wilayah Kampung Arab, tradisi yang di beberapa wilayah dikenal sebagai gandaran.

Budaya, Kehidupan · 6 January 2014 · Keywords: , ·
AhmadPernikahanKampungArabSurabaya01

Alam punya cara aneh dalam merusak Minggu pagi pemalas-pemalas kampung macam aku. Riuh burung dan ayam tetangga bersahutan tak pedulikan sekitarnya, memaksa kelopak mataku terbuka dan mengintip jam tangan yang berbaring di sebelahku semalaman. Aku harus menghadiri pernikahan seorang teman dekatku, Ahmad, pemuda berdarah Arab yang menikahi gadis dari satu wilayah. Segera setelah menyegarkan diri, kukenakan kemeja sisa pesta pernikahan keluarga semalam, salah satu dari entah berapa banyak acara serupa yang kuhadiri di bulan ini.

Surabaya tengah menikmati musim kawin rupanya.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya

Para tamu dan kerabat menanti mempelai pria bersiap.

Kucomot setangkap roti sebelum keluar rumah bersama abi, orangtua sekaligus rekan bertukar ide. Jalanan KH Mansyur terasa tenang dan menenangkan. Maklum, hari Minggu memang biasanya toko-toko tidak aktif beroperasi, meninggalkan jalanan kosong dan berdebu bak perkotaan dalam film-film koboi. Abiku mengangkat tangan terbukanya setinggi kepala tiap kali memberikan salam kepada kenalan yang kami temui sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai pria di balik kawasan Masjid Ampel, sekitar 500 meter dari rumahku.

Mendekati lokasi, terdengar ramai keluarga dan teman mulai memadati depan rumah, ditemani jajanan pasar serta kopi Arab yang tak berhenti ditawarkan pada kami yang datang. Memang, hanya tamu pria saja yang dipersilakan kemari, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah mempelai wanita.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya04

Kelompok Hadrah membuka jalan bagi rombongan mempelai pria.

Kusalami beberapa wajah yang kukenal sambil mengobrol dan menyeruput kopi yang kuambil dari atas nampan perak di meja beratap kain hijau ketika tiba tadi. Sedang di pojok beberapa anggota Hadrah, pemain alat musik pukul macam rebana dan terbang, tengah menyiapkan dan mencoba beberapa kali pukul alat mereka untuk memastikan suara yang dihasilkan cukup bagus untuk acara pagi ini. Sesekali terdengar teriakan dan tawa. Sungguh suasana yang meriah.

Rombongan mempelai pria akan berjalan kaki menuju rumah mempelai wanita dimana ikrar akan diucapkan dan janji dicetuskan, dan selama perjalanan itu mempelai pria akan dijadikan objek “penyiksaan” dari anggota rombongan. Sekilas nampak seperti orientasi siswa baru di sekolah-sekolah. Begitulah tradisi pernikahan di wilayah kami, tradisi yang di beberapa wilayah dikenal sebagai gandaran.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya03

Sang mempelai pria mendapat ucapan selamat dan doa.

Tak lama, suara di dalam semakin ramai, menandakan sang mempelai sudah siap memulai perjalanan. Muncullah si Ahmad dengan penampilan yang cukup gagah untuk anak seumurannya: Jubah berwarna coklat-emas dan kemeja putih, dipadu surban putih berhiaskan bunga melati yang juga diuntai menjadi kalung. Wajah sumringahnya terpancar, meski keringat terlihat tak mau berhenti membasahi kedua pelipisnya. Segera, para anggota Hadrah memulai pukulan demi pukulan rebana dan terbang untuk membuka jalan bagi sang pengantin. Terdengar doa-doa dan nyanyian pujian terus membahana di udara yang mulai menghangat. Para anggota keluarga dan karib mengepung Ahmad, menyalami, memeluk, mencium pipi, dan memberikan selamat serta doanya.

Didampingi kedua walinya—ayah, saudara laki, atau paman—Ahmad memulai perjalanannya dalam rute yang sudah dipasrahkan kepada pemimpin rombongan. Biasanya mengambil rute terjauh untuk memperlama gojlokan yang akan diterima sang mempelai pria. Tak disangka, sang ketua rombongan potong kompas dengan memasuki gerbang Masjid Ampel, menjadikan kawasan reliji itu sebagai penyeberangan. Sejenak kepalaku membayangkan akan membanjirnya peziarah di hari libur ini.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya05

Rombongan banting setir memasuki kawasan reliji Masjid Ampel.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya07

Rombongan melewati pemakaman Masjid Ampel.

Ah, peduli setan dengan peziarah di tengah tangis dan doa khusyuk mereka.

Para pemain Hadrah sejenak berhenti memukuli alat musik mereka, menghindari teguran petugas Masjid yang bersiaga di tempatnya, meski anggota rombongan terus saling berteriak. Salah seorang anggota tua rombongan menyeret Ahmad ke arah salah satu gentong tanah liat berusia puluhan tahun yang berisi air, disediakan bagi peziarah Masjid di salah satu sisi jalan. Sang tetua mengambil segelas dan menyodorkan ke mulut Ahmad, seakan mengerti betapa rasa khawatir selalu membuat tenggorokan kering. Di sekitarnya, para peziarah tak mau ketinggalan mengabadikan momen yang memang tidak terjadi setiap hari ini.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya08

Tetua memberikan minum kepada mempelai pria yang kehausan karena nervous.

Anggota rombongan yang lebih muda mulai melakukan aksi jahil, menawarkan kepada para peziarah untuk berfoto bersama sang mempelai, sedang sang mempelai hanya bisa pasrah dipermalukan seperti itu. Sebagian rombongan memaksa sang mempelai menari Samar, kemudian tanpa peringatan mengangkat tubuhnya dari belakang seperti halnya penonton di konser Metal.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya06

Beberapa peziarah berfoto bersama mempelai pria.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya11

Tiba-tiba rombongan mengangkat sang mempelai pria.

“Awas koen yo!” Ahmad sontak berteriak dengan wajah malu.

Dia kemudian digiring menuju balai informasi Masjid, dipaksa mengisi namanya di buku tamu dan bersalaman dengan petugas yang masih bingung mencoba mencerna apa yang tengah terjadi di depan matanya. Demikianlah adat kelompok masyarakat Arab memperlakukan calon pengantin pria, apalagi jika sang pengantin kesehariannya adalah tokoh yang populer di lingkungan sekitar.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya09

Penjaga ruang informasi Masjid Ampel, hanya bisa tersenyum disalami mempelai pria.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya10

Dengan terpaksa, mempelai pria berpose – daripada harus dihajar lebih keras.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya12

Ketua rombongan mengarahkan pasukan memasuki Pasar Gubah (Ampel Suci).

Memasuki pasar Ampel, kami berjalan sekitar 50 meter dan tiba di gang depan rumah pengantin wanita. Tak segera bergegas, rombongan berhenti sejenak untuk merapikan wajah dan pakaian mempelai pria yang keliatan sudah ampun dihajar penyiksaan selama perjalanan tadi. Anggota rombongan bergantian menyeka keringat di wajahnya, sedang seorang anggota tua rombongan menyampaikan wejangan terakhir sebelum memasuki pemberhentian.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya13

Beberapa anggota rombongan merapikan penampilan mempelai pria yang terlihat sudah tak berdaya.

Tiba-tiba kesenyapan dan rasa pilu menyergap, menyapu kemeriahan dan kebrutalan yang sedari tadi terasa kuat. Bagi orang tua, ini adalah momen mereka benar-benar melepaskan anaknya untuk menjadi dewasa dan menghadapi dunia nyata. Bagi pemuda, acara semacam ini menampar dan menyadarkan mereka: Sebuah akhir dari masa bermain-main dan kehilangan teman-teman mereka, satu per satu.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya14

Rombongan memasuki halaman rumah mempelai wanita.

Sang pengantin melangkah memasuki ruangan depan rumah pengantin wanita yang sudah disulap menjadi pusat ritual. Aku dan beberapa anggota rombongan mengikuti di belakangnya. Anggota tetua keluarga, baik dari pihak pengantin pria maupun wanita, seorang ustad, dan saksi nampak duduk bersila. Rasa khidmat menyelimuti, membungkam mulut-mulut yang tadinya tak mau berhenti berteriak bak perampok jalanan. Doa-doa serta beberapa ayat Al-Qur’an dilantunkan, sebelum akhirnya pengucapan ijab nikah oleh pengantin pria sambil menjabat tangan sang wali yang tak lain adalah ayah sang mempelai wanita.

Khidmat. Acara semacam ini selalu berhasil membuatku merinding.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya15

Mengabadikan prosesi ijab kabul di dalam rumah mempelai wanita.

Setelah itu, sang mempelai pria menyalami dan mencium tangan ayah barunya dan beberapa tetua anggota keluarga sebagai tanda dia telah menjadi bagian resmi dari jalan cerita keluarga besar ini.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya16

Mempelai pria mencium tangan beberapa anggota tetua keluarga mempelai wanita.

Sedang di luar rumah, makanan mulai dibagikan ke para tamu undangan. Beberapa sukarelawan berdiri membentuk barisan panjang, mengoper piring-piring dari mulut dapur menuju barisan terbelakang. Dibagikan ke para tamu yang sedari tadi menelan ludah. Kali ini menu yang disajikan adalah nasi Mandi, makanan khas yang terbuat dari nasi dan diberi rempah namun dengan rasa yang tidak terlalu kuat, dengan daging kambing dibumbui dan acar nanas. Ditemani air putih dan jeruk sebagai pelengkap ritual pernikahan di Kampung Arab Minggu siang itu.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya19

Para tamu dengan sukarela membentuk barisan untuk membagikan makanan kepada tamu lainnya.

AhmadPernikahanKampungArabSurabaya20

Nyam! Nasi Mandi menutup prosesi pernikahan.

Entah giliran siapa berikutnya, pertanyaan mengiringi langkahku pulang.

This post is also available in: English