Alam punya cara aneh dalam merusak Minggu pagi pemalas-pemalas kampung macam aku. Riuh burung dan ayam tetangga bersahutan tak pedulikan sekitarnya, memaksa kelopak mataku terbuka dan mengintip jam tangan yang berbaring di sebelahku semalaman. Aku harus menghadiri pernikahan seorang teman dekatku, Ahmad, pemuda berdarah Arab yang menikahi gadis dari satu wilayah. Segera setelah menyegarkan diri, kukenakan kemeja sisa pesta pernikahan keluarga semalam, salah satu dari entah berapa banyak acara serupa yang kuhadiri di bulan ini.
Surabaya tengah menikmati musim kawin rupanya.
Kucomot setangkap roti sebelum keluar rumah bersama abi, orangtua sekaligus rekan bertukar ide. Jalanan KH Mansyur terasa tenang dan menenangkan. Maklum, hari Minggu memang biasanya toko-toko tidak aktif beroperasi, meninggalkan jalanan kosong dan berdebu bak perkotaan dalam film-film koboi. Abiku mengangkat tangan terbukanya setinggi kepala tiap kali memberikan salam kepada kenalan yang kami temui sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai pria di balik kawasan Masjid Ampel, sekitar 500 meter dari rumahku.
Mendekati lokasi, terdengar ramai keluarga dan teman mulai memadati depan rumah, ditemani jajanan pasar serta kopi Arab yang tak berhenti ditawarkan pada kami yang datang. Memang, hanya tamu pria saja yang dipersilakan kemari, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah mempelai wanita.
Kusalami beberapa wajah yang kukenal sambil mengobrol dan menyeruput kopi yang kuambil dari atas nampan perak di meja beratap kain hijau ketika tiba tadi. Sedang di pojok beberapa anggota Hadrah, pemain alat musik pukul macam rebana dan terbang, tengah menyiapkan dan mencoba beberapa kali pukul alat mereka untuk memastikan suara yang dihasilkan cukup bagus untuk acara pagi ini. Sesekali terdengar teriakan dan tawa. Sungguh suasana yang meriah.
Rombongan mempelai pria akan berjalan kaki menuju rumah mempelai wanita dimana ikrar akan diucapkan dan janji dicetuskan, dan selama perjalanan itu mempelai pria akan dijadikan objek “penyiksaan” dari anggota rombongan. Sekilas nampak seperti orientasi siswa baru di sekolah-sekolah. Begitulah tradisi pernikahan di wilayah kami, tradisi yang di beberapa wilayah dikenal sebagai gandaran.
Tak lama, suara di dalam semakin ramai, menandakan sang mempelai sudah siap memulai perjalanan. Muncullah si Ahmad dengan penampilan yang cukup gagah untuk anak seumurannya: Jubah berwarna coklat-emas dan kemeja putih, dipadu surban putih berhiaskan bunga melati yang juga diuntai menjadi kalung. Wajah sumringahnya terpancar, meski keringat terlihat tak mau berhenti membasahi kedua pelipisnya. Segera, para anggota Hadrah memulai pukulan demi pukulan rebana dan terbang untuk membuka jalan bagi sang pengantin. Terdengar doa-doa dan nyanyian pujian terus membahana di udara yang mulai menghangat. Para anggota keluarga dan karib mengepung Ahmad, menyalami, memeluk, mencium pipi, dan memberikan selamat serta doanya.
Didampingi kedua walinya—ayah, saudara laki, atau paman—Ahmad memulai perjalanannya dalam rute yang sudah dipasrahkan kepada pemimpin rombongan. Biasanya mengambil rute terjauh untuk memperlama gojlokan yang akan diterima sang mempelai pria. Tak disangka, sang ketua rombongan potong kompas dengan memasuki gerbang Masjid Ampel, menjadikan kawasan reliji itu sebagai penyeberangan. Sejenak kepalaku membayangkan akan membanjirnya peziarah di hari libur ini.
Ah, peduli setan dengan peziarah di tengah tangis dan doa khusyuk mereka.
Para pemain Hadrah sejenak berhenti memukuli alat musik mereka, menghindari teguran petugas Masjid yang bersiaga di tempatnya, meski anggota rombongan terus saling berteriak. Salah seorang anggota tua rombongan menyeret Ahmad ke arah salah satu gentong tanah liat berusia puluhan tahun yang berisi air, disediakan bagi peziarah Masjid di salah satu sisi jalan. Sang tetua mengambil segelas dan menyodorkan ke mulut Ahmad, seakan mengerti betapa rasa khawatir selalu membuat tenggorokan kering. Di sekitarnya, para peziarah tak mau ketinggalan mengabadikan momen yang memang tidak terjadi setiap hari ini.
Anggota rombongan yang lebih muda mulai melakukan aksi jahil, menawarkan kepada para peziarah untuk berfoto bersama sang mempelai, sedang sang mempelai hanya bisa pasrah dipermalukan seperti itu. Sebagian rombongan memaksa sang mempelai menari Samar, kemudian tanpa peringatan mengangkat tubuhnya dari belakang seperti halnya penonton di konser Metal.
“Awas koen yo!” Ahmad sontak berteriak dengan wajah malu.
Dia kemudian digiring menuju balai informasi Masjid, dipaksa mengisi namanya di buku tamu dan bersalaman dengan petugas yang masih bingung mencoba mencerna apa yang tengah terjadi di depan matanya. Demikianlah adat kelompok masyarakat Arab memperlakukan calon pengantin pria, apalagi jika sang pengantin kesehariannya adalah tokoh yang populer di lingkungan sekitar.
Memasuki pasar Ampel, kami berjalan sekitar 50 meter dan tiba di gang depan rumah pengantin wanita. Tak segera bergegas, rombongan berhenti sejenak untuk merapikan wajah dan pakaian mempelai pria yang keliatan sudah ampun dihajar penyiksaan selama perjalanan tadi. Anggota rombongan bergantian menyeka keringat di wajahnya, sedang seorang anggota tua rombongan menyampaikan wejangan terakhir sebelum memasuki pemberhentian.
Tiba-tiba kesenyapan dan rasa pilu menyergap, menyapu kemeriahan dan kebrutalan yang sedari tadi terasa kuat. Bagi orang tua, ini adalah momen mereka benar-benar melepaskan anaknya untuk menjadi dewasa dan menghadapi dunia nyata. Bagi pemuda, acara semacam ini menampar dan menyadarkan mereka: Sebuah akhir dari masa bermain-main dan kehilangan teman-teman mereka, satu per satu.
Sang pengantin melangkah memasuki ruangan depan rumah pengantin wanita yang sudah disulap menjadi pusat ritual. Aku dan beberapa anggota rombongan mengikuti di belakangnya. Anggota tetua keluarga, baik dari pihak pengantin pria maupun wanita, seorang ustad, dan saksi nampak duduk bersila. Rasa khidmat menyelimuti, membungkam mulut-mulut yang tadinya tak mau berhenti berteriak bak perampok jalanan. Doa-doa serta beberapa ayat Al-Qur’an dilantunkan, sebelum akhirnya pengucapan ijab nikah oleh pengantin pria sambil menjabat tangan sang wali yang tak lain adalah ayah sang mempelai wanita.
Khidmat. Acara semacam ini selalu berhasil membuatku merinding.
Setelah itu, sang mempelai pria menyalami dan mencium tangan ayah barunya dan beberapa tetua anggota keluarga sebagai tanda dia telah menjadi bagian resmi dari jalan cerita keluarga besar ini.
Sedang di luar rumah, makanan mulai dibagikan ke para tamu undangan. Beberapa sukarelawan berdiri membentuk barisan panjang, mengoper piring-piring dari mulut dapur menuju barisan terbelakang. Dibagikan ke para tamu yang sedari tadi menelan ludah. Kali ini menu yang disajikan adalah nasi Mandi, makanan khas yang terbuat dari nasi dan diberi rempah namun dengan rasa yang tidak terlalu kuat, dengan daging kambing dibumbui dan acar nanas. Ditemani air putih dan jeruk sebagai pelengkap ritual pernikahan di Kampung Arab Minggu siang itu.
Entah giliran siapa berikutnya, pertanyaan mengiringi langkahku pulang.
This post is also available in: English