Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang membangun sebuah kedai buku kecil di belakang kampus ISI Solo. Nama kedainya mentereng: Bumimanusia. Yang dijual adalah buku-buku kesukaan mereka. Kebanyakan bertema sastra, budaya, filsafat dan ideologi kiri. Saat itu memang, menjadi kiri tampak seksi sekali.
Sejak pertemuan pertama itu, saya jadi rutin mengunjungi Bumimanusia. Di belakang kedai, mereka membangun sebuah anjungan kecil lengkap dengan sebuah meja kayu dan dipan bambu. Biasanya, diskusi digelar di sini. Bahan obrolan bisa mencakup apa saja. Kebetulan, sore itu temanya menarik. Apakah berjualan buku termasuk kapitalisme?
Barangkali kawan-kawan saya ini ketakutan. Khawatir nilai kekiriannya ternodai dan tak lagi dianggap sebagai proletar yang penuh. Wah, bahaya!
Setelah diskusi bermenit-menit, akhirnya tersebutlah kata mufakat. Bahwa jika mendirikan kedai buku disebut kapitalis, maka mereka yakin seyakin-yakinnya masuk dalam golongan kapitalis yang budiman. Toh Bumimanusia tidak hanya berhitung laba rugi. Sebagian keuntungannya disisihkan untuk membiayai diskusi rutin setiap malam Selasa. Sebagian lagi mengalir ke kantong kawan-kawan pergerakan yang butuh pendanaan.
Entah mengapa, obrolan sepuluh tahun yang lalu itu terpancing lagi setelah membaca buku Chambers: Makassar Urban Culture Identity. Buku kecil ini menyuguhkan kisah satu dasawarsa Chambers, sebuah distribution outlet sekaligus generator budaya urban di Makassar. Melalui buku setebal 130 halaman ini, saya jadi teringat kembali akan ungkapan “kapitalis budiman” tadi.
Setelah dipikir-pikir, bisa jadi Chambers dan Bumimanusia adalah purwarupa yang paling mendekati dari ungkapan “kapitalis budiman”.
Selama sepuluh tahun, Chambers tidak hanya meraup laba besar sebagai salah satu distro dengan pendapatan terbaik di Indonesia. Mereka juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan pengetahuan lokal dan budaya Makassar kontemporer.
Embrio Chambers adalah proyek sampingan yang digagas Ardy dan Abi dengan mengajak dua saudara kembar, Irma dan Risma. Mereka berempat merupakan sejawat di kampus Universitas Hassanudin jurusan Pariwisata dan Bahasa. Modal awal yang berhasil mereka kumpulkan sebanyak 10 juta rupiah dibagi rata. Dengan modal tersebut, mereka memesan kaos melalui distro-distro di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Empat sekawan ini pun mulai bergerilya menjajakan kaos. Mulai dari memajangnya di pinggir jalan hingga merayu teman-teman dekat untuk membeli.
Setahun kemudian, usaha jualan kaos ini membaik. Mereka menjadikan usaha ini permanen dengan menempati sebuah ruko di kawasan Panakukkang, dan nama Chambers mulai digunakan. Ardy mengaku penamaan ini terinspirasi dari bilik-bilik rumah sakit yang ditulisi “chamber”. “Merujuk sebagai tempat mengerjakan, memproduksi, dan mengelola sesuatu,” kata Ardy, ”Nah, dengan menambahkan (huruf) ’s’ di belakangnya agar linguistiknya lebih menarik.”
Sejak saat itu Chambers menjadi sebuah identitas. Ke mana pun mereka pergi, yang dipikirkan adalah Chambers. Bahkan saat Ardy mendapat beasiswa kuliah di Erasmus Huis Jakarta, kesempatan itu ia manfaatkan dengan baik untuk mempelajari dan mengadopsi budaya anak muda di Jawa. Setiap akhir pekan, Ardy selalu menyempatkan diri kabur ke Bandung untuk menyaksikan gigs band-band indie yang marak di pertengahan dasawarsa pertama 2000-an.
Dari sanalah wawasan Ardy terhadap pengembangan skena musik indie Makassar terbuka. Tahun 2004, pada perayaan setahun usaha distro, mereka menggelar gigs bertajuk “Chambers Show Vol. 1” yang segera diikuti dengan ledakan acara musik lain dengan panggung yang lebih besar. Sejak tahun 2005, dalam rangkaian acara Chambers Show Annual, mereka mulai mengundang Seringai, The Upstairs, RNRM, Pure Saturday, The Milo, Mocca, Superman Is Dead, Efek Rumah Kaca, hingga White Shoes and The Couples Company.
Kebanjiran performa musisi luar daerah, membuat gairah musisi lokal terpacu. Skena musik Makassar pun mulai terbentuk. Melihat suasana kota semakin kondusif, Chambers akhirnya merambah bidang kepromotoran dengan membentuk Chambers Entertainment.
Adanya tim tersendiri yang fokus pada penyelenggaraan acara-acara musik, membuat gerak Chambers semakin agresif. Akhirnya pada tahun 2010, Chambers Entertainment menyelenggarakan sebuah festival musik yang menjadi milestone di bagian timur Indonesia. Rock In Celebes, begitulah festival itu dinamakan. Melalui panggung-panggung RiC, berbagai kelompok musik cadas baik dari dalam maupun luar negeri menggempur Makassar. Pesta ini menjadi magnet bagi puluhan ribu anak muda yang datang untuk beribadah dalam ritual Rock terbesar di Indonesia Timur.
Hingga saat ini, RiC sudah terselenggara sebanyak empat kali, rutin setiap tahunnya. “Kami ingin membuktikan Rock in Celebes adalah sebuah konsistensi,” kata Ardy. “Kami paham bahwa anak muda Makassar merindukan atau ingin punya festival Rock. Mereka ada di keramaian dan tahu pasti musik yang dimainkan adalah sebuah perpaduan yang orgasmik,” lanjutnya.
Namun lebih jauh Ardy mengungkap bahwa RiC sebenarnya hanyalah sebuah siasat belaka. Melalui RiC, ia ingin sekali mengangkat derajat musisi Makassar agar sejajar di tingkat nasional. Menjauhkan sindrom inferior yang seringkali hadir dalam diri musisi daerah karena jauh dari Ibu Kota. “Impian kami (Chambers Entertainment) sebenarnya membanggakan band lokal untuk menjadi tuan rumah di kotanya sendiri…” kata Ardy dalam wawancara dengan sebuah webzine. Untuk itu, dalam gelaran RiC, panitia memberikan kuota yang sangat besar terhadap grup musik lokal. Lebih dari setengah penampil di RiC adalah band-band Makassar sendiri.
Melalui RiC, berbagai band baru bermunculan di Makassar. Namun belum ada label rekaman lokal yang mau mewadahi dan mengantarkan band-band alternatif ini untuk menghasilkan sebuah karya utuh berupa album. Tanpa adanya karya yang mewujud, sebuah band akan sulit diapresiasi. Musik mereka pun menjadi terbatas ruang dan waktu. Padahal, tanpa apresiasi yang memadai, umur sebuah band tak akan lama. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Chambers menyiapkan divisi label rekaman. Tujuannya untuk mendorong industri musik lokal masuk dalam ekosistem yang lebih sehat. Prioritas Chambers Record adalah band-band alternatif dari Makassar dan Indonesia Timur, daerah yang jarang disentuh label rekaman nasional.
Sampai sini saya terkagum-kagum dengan Chambers. Buku kecil yang habis dibaca dalam sekali duduk ini membawa saya pada sebuah pemahaman baru tentang peta industri kreatif yang ada di Makassar dan menerawang, kira-kira apa yang bakal mungkin terjadi ke depannya?
Seperti kata Anwar Jimpe Rahman, sang penulis, dalam pengantar bahwa buku ini dimaksudkan sebagai “catatan awal” yang memotret fenomena besar budaya kontemporer anak muda Makassar. Sehingga menjadi sesuatu yang lumrah bila saya berharap akan ada karya-karya berikutnya yang memotret sisi lainnya. Terutama, saya sangat tertarik pada ulasan tentang sejarah musik di Makassar (hal. 51) yang sangat bisa diolah untuk menjadi materi buku tersendiri.
Namun, yang terpenting dari penerbitan buku ini sebetulnya adalah timbulnya harapan. Bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta. Masih banyak kota lain di luar Jawa dengan populasi anak muda yang mampu membuat gebrakan kreatif dan mengubah wajah kota. Tak pelak, Chambers adalah pemantik api kreativitas anak muda di Makassar. Selama ada komunitas dan inisiatif seperti ini, agak sulit bagi kita untuk mengabaikan bagian timur Indonesia. Suara mereka menjadi sangat lantang dan leluasa didengar, meski selama ini kita tidak pernah menoleh padanya.