Di Jalan Jembatan Merah Surabaya, terdapat Gedung Algemeene, yang dikenal juga sebagai Gedung Aperdi, atau Gedung Singa. Gedung ini didesain oleh seorang arsitek terkenal dari Belanda, Hendrik Petrus Berlage (1856-1934). Pada artikel kali ini, bersama-sama dengan komunitas peminat sejarah, Surabaya Tempo Dulu (STD), kita akan menelusuri dan menyingkap sedikit tentang Berlage dan signature Berlage dalam desain-desainnya. Dalam artikel ini kita akan menelusurinya dengan fokus konkret pada beberapa karyanya: gedung Algemeene di Surabaya (dibangun 1901), gedung De Nederlanden 1845 di Batavia (dibangun 1913), dan De Nederlanden 1845 di Den Haag (dibangun 1895-1896, direnovasi dua kali tahun 1901-1902 dan tahun 1908-1909).
Pembahasan signature Berlage yang disinggung di artikel ini diambil dari esai Helen Searing yang berjudul “Cuypers or Berlage, the Father of Them All” dalam buku In Search of Modern Architecture: A Tribute to Henry-Russell Hitchcock (Architectural History Foundation, 1982). Searing adalah seorang ahli sejarah arsitektur yang menemukan signature Berlage dalam desain Eduard Cuypers (1859-1927), seorang arsitek yang sangat berpengaruh di Belanda. Selain kantor arsiteknya di Belanda, E. Cuypers juga membuka kantor arsitek di Hindia Belanda, yang menggarap proyek besar seperti kantor pusat dan cabang De Javasche Bank di Indonesia. Bekerja sama dengan Marius J. Hulswit (1869-1921), kantor arsitek yang kemudian menjadi kantor arsitek terbesar di Hindia Belanda ini meninggalkan banyak sekali gedung-gedung monumental, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Kantor ini kemudian dikenal dengan nama Hulswit-Fermont, Batavia and Cuypers, Amsterdam. Karena terlibatnya beberapa arsitek dalam biro ini, kita dapat mendeteksi karya tangan E. Cuypers sendiri di Indonesia adalah kantor pusat De Javasche Bank di Jakarta (dibangun 1909 dan diperbesar 1926).Hendrik Petrus Berlage, bapak arsitektur modern di Belanda, terkenal terutama karena karyanya Beurs Berlage (Gedung Pasar Saham) di Amsterdam, yang didirikan di tahun 1903. Salah satu peran utama Berlage di Eropa adalah memperkenalkan arsitektur Modern yang dipelopori Frank Lloyd Wright dari Amerika ke Eropa, sehingga gerakan modern di Eropa tumbuh subur, khususnya Negeri Belanda yang kemudian menjadi salah satu Mekah arsitektur modern. Selain karya Beurs Berlage-nya yang monumental, Berlage juga dikenal sebagai ahli tata kota, pemikir yang memberi muatan pesan dalam karya-karyanya, dan penulis yang cukup produktif. Berlage sempat melakukan tur tiga bulan di Hindia Belanda pada tahun 1923, dan berkunjung ke Technische Hogeschool (TH) yang kelak menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia bertemu dengan profesor dan kakak beradik arsitek Richard dan Charles. P. Wolff. Schoemaker, yang merancang berbagai bangunan terkenal di Hindia Belanda seperti Villa Isola di Bandung. Berlage menulis buku kesan dan pesan pemikiran arsitektur Hindia Belanda dari perjalanan tersebut dalam Mijn Indishce Reis (1931).
Berlage menjadi sangat disegani generasi arsitek berikutnya. Para arsitek di Hindia Belanda sangat terinspirasi Berlage dalam filosofi desain mereka. Berlage menekankan pentingnya mengembangkan arsitektur Hindia Belanda yang bukan sekedar mencomot gaya vernakuler atau meniru desain dari Eropa. Idenya ini menjadi perdebatan yang seru dalam dunia arsitektur Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1920 an. Idealisme Berlage dalam menciptakan kreasi original sempat membuatnya melontarkan tuduhan serius dalam kuliahnya, “De menselijke woning”, kepada arsitek-arsitek Belanda di jamannya yang menurutnya hanya mencomot desain sana sini.
Searing dalam esainya menunjukkan beberapa signature desain Berlage yang dipinjam E. Cuypers dalam desain-desain rumah tinggal di Belanda. Ada tiga signature Berlage yang dipinjam E. Cuypers juga muncul dalam desain Algemeene Surabaya dan De Nederlanden 1845 di Jakarta.
Foto pertama menampilkan karya Berlage di Surabaya, Gedung Algemeene di Jalan Jembatan Merah. Foto kedua adalah karya Berlage di Jakarta, yang terletak di seberang Museum Bank Indonesia (terlihat pagarnya pada sebelah kanan foto) di kota tua Jakarta. Dua gedung Berlage di Indonesia ini tampil berbeda, tapi signature Berlage tampak jelas dalam kedua karya ini. Gedung Algemeene di Surabaya tampil dengan atap genteng mendominasi, dan dihiasi ornamen yang lebih rumit. Sementara Gedung De Nederlanden 1845 tampil polos. Menurut buku Sergio Polano, Hendrik Petrus Berlage: The Complete Works (1988), desain gedung Algemeene di Surabaya sebenarnya merupakan modifikasi dari desain awal yang telah dikerjakan Marius J. Hulswit, sedangkan gedung De Nederladen 1845 di Jakarta merupakan murni desain Berlage.
Ciri pertama adalah lengkung bata segmental diapit batu (segmental brick arches framed by stone blocks). Di gedung Algemeene Surabaya, lengkung ini masih tampil dengan susunan bata, tapi di De Nederlanden, susunan bata tidak tampak. Yang tersisa hanyalah bentuk lengkung yang sering muncul dalam desain mediteran.
Ciri kedua adalah pilar bergaya abad pertengahan (medievalizing piers). Pilar non-struktural ini sering muncul menjadi dekorasi khas Berlage. Kedua gedung di Surabaya dan Jakarta memiliki pilar ini. Pilar dan lengkung ini juga muncul di gedung De Nederlanden 1845 di Den Haag, meski hanya sebuah di atas menara. Gaya lengkung pilar ini diambil Berlage dari model abad pertengahan. Sepertinya, menjadi salah satu kebiasaan para arsitek yang membuat terobosan untuk tidak melihat gaya arsitektur masa sebelumnya yang dekat dengan zamannya. Berlage mengadopsi gaya arsitektur dari zaman dahulu, jauh ke belakang dari abad 13-14 an. Hal yang sama dilakukan para pelopor gerakan neoklassik, neorenessan, neogothic dst.
Ciri ketiga adalah korbel berundak (stepped corbel, lihat foto 4). Korbel berundak ini muncul di desain Batavia secara sederhana (di pintu masuk). Ciri korbel berundak ini juga dipinjam Cuypers dalam desain sebuah rumah di jalan Jan Luykenstraat, Amsterdam (1903). Di Gedung Algemeene Surabaya, korbel berundak ini diambil alih oleh dua buah patung singa di depan pintu masuk.
Hanya tiga ciri khas yang akan dibahas di sini, mengingat dua gedung di Indonesia berukuran kecil dan hanya memiliki satu sisi fasad (façade). Signature Berlage sebenarnya masih ada banyak lagi dan dengan berjalannya waktu desain Berlage periode berikutnya makin polos dan absen ornamen. Satu ciri yang paling dan dapat dikagumi dari karya Beurs Berlage adalah susunan bata telanjang pada dinding ekterior maupun interior. Ciri ini absen dari dua gedung Berlage di Indonesia, mungkin karena pertimbangan tidak adanya masterbrick yang terampil di Jawa pada waktu itu. Satu kendala yang juga dihadapi arsitek Marius Hulswit dalam membangun katedral di lapangan Banteng, Jakarta.
Ciri lain karyanya di periode sebelum kunjungan Berlage ke Amerika tahun 1910 adalah kesukaan Berlage mengajak seniman lain turut memperindah desain gedungnya. Dalam kasus Algemeene, karya pahat patung singa di depan pintu masuk mengingatkan kita pada karya-karya pahat yang menghiasi Beurs Berlage di Amsterdam yang dibuat oleh Lambertus Zijl (1866-1947). Juga kita lihat karya Jan Toorop (1859-1928), pelukis terkenal Belanda kelahiran Indonesia, dengan lukisan keramik art nouveau simbolis bergambar dua ibu dan anaknya di atas kedua patung singanya.
Kehebatan Berlage periode berikutnya bukan pada tampilan fisik lagi namun pada desain fungsional yang menjadi realisasi idealismenya dalam pemikiran arsitektur, sebagaimana terungkap dalam karya desainnya untuk Museum Kotapraja di Den Haag.
Demikiran uraian tiga ciri khas gaya Berlage. Meski mungkin tidak istimewa,tapi dari sini kita dapat melihat bagaimana dengan memperhatikan hal-hal kecil dengan rinci, kita dapat mengungkap berbagai sejarah dalam bangunan dan lingkungan yang kita kunjungi. Makin sering kita mengapresiasi karya arsitektur, makin kaya cita rasa dan pengetahuan sejarah yang muncul dari hal-hal sederhana.
Versi awal artikel ini telah diterbitkan di Facebook Surabaya Tempo Dulu. Simak lebih banyak artikel menarik mengenai sejarah Surabaya di Facebook STD!
This post is also available in: English