Dinoyo dari Mata Robbie Peters: Ulasan Surabaya, 1945-2010

Meskipun tidak mewakili seluruh kota, buku sepuluh bab ini menghadirkan satu mosaik yang kompleks mengenai Surabaya, dari suatu kampung bernama Dinoyo--bagaimana penduduknya merespon proses-proses politik, menolak atau menerima perubahan kota.

Buku, Kampung, Kota · 17 May 2014 · Keywords: ·
Bedah buku bersama Robbie Peters di C2O library, 18 Agustus 2013.

Sudah ada beberapa kajian akademisi asing mengenai Surabaya, seperti Visions and Heat: The Making of an Indonesian Revolution (1989) oleh William Frederick, dan Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000 (2003) oleh sejarawan ekonomi Australia, Howard Dick. Tahun lalu, muncul lagi satu buku, Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle (2013).

Buku dengan pendekatan etnografis ini melengkapi metoda pembacaan arsip, statistik, dan wawancara yang dilakukan kedua buku sebelumnya. Dibagi menjadi sepuluh bab, Peters menghadirkan satu perspektif mengenai perubahan dan perlawanan yang terjadi di Surabaya dengan menelusuri cerita tiga generasi warga Dinoyo.

Setelah memberi sedikit gambaran tentang Surabaya, pembaca diperkenalkan pada Dinoyo. Pembahasan per bab dilakukan secara tematis dan kronologis. Berawal dari pembelian lahan Dinoyo oleh seorang tuan tanah Arab pada 1848, hingga kemudian dipadati penduduk yang terusir dari kawasan sekitar (terutama Darmo) di awal 1920-an.

Bab ketiga, The Purge, membahas bagaimana kemudian setelah 1965, kampung yang sebelumnya merupakan salah satu basis utama kekuatan PKI ini “dibersihkan”, kekuatan politiknya dilumpuhkan. Orang-orang ditangkap, diculik, dibunuh, atau menghilang. Di bawah Letkol Soekotjo yang semenjak 4 November 1965 menjadi Walikota Surabaya, operasi pembersihan terhadap pemukiman dan komunitas “liar” (tak terdaftar), dilakukan atas nama gerakan anti-komunis, dan “rehabilitasi urban”. Ini kemudian berdampak besar mengubah pola penggunaan tanah, dan membentuk landasan lanskap kota Surabaya pada tahun-tahun berikutnya.

Bab berikutnya, Improvements, membahas proses penyerapan populasi kota Surabaya—yang meningkat hampir tiga kali lipat—ke dalam kampung. Berbeda dengan Jakarta yang lebih mengutamakan perbaikan jalan, dana pembangunan Surabaya lebih dialokasikan untuk perbaikan gang dan kampung, terutama melalui Kampung Improvement Project (KIP) yang dipelopori oleh Johan Silas. Meski pada awalnya berjalan lambat (karena sulitnya menggali informasi dari penduduk yang curiga dan takut didata), tampaknya proyek ini kemudian berhasil menerapkan “pendekatan partisipatoris” yang melibatkan warga dalam membangun kampung, dan mempromosikan kampung sebagai wilayah industri informal yang menyerap tenaga kerja.

Anak-anak di Dinoyo pada perayaan malam menjelang 17 Agustus. Foto: Erlin Goentoro

Anak-anak di Dinoyo pada perayaan malam menjelang 17 Agustus. Foto: Erlin Goentoro

Peters kemudian membahas bagaimana wilayah sekitar Dinoyo dan Ngagel yang awalnya merupakan kawasan industri (dengan banyak pabrik) kemudian mengalami relokasi. Apalagi, kemudian regulasi tata kota menetapkan sistem zoning, memindahkan industri berat ke pinggir kota. Perlahan tapi pasti, ekonomi bergeser dari pabrik ke sektor jasa, seiring dengan menjamurnya mall, hotel, supermarket, dan hypermart. Di balik kinclong-nya bangunan-bangunan ber-AC ini, Peters membahas berbagai relasi kekuasaan dan ekonomi “ilegal” di dalamnya, mulai dari rendahnya gaji, penghancuran pasar tradisional, kecantikan dan seks sebagai komoditas, dan peredaran narkoba. Juga, bagaimana ekonomi yang menekankan penampilan ini berdampak pada penghapusan berbagai “ekonomi informal” seperti PKL, adu doro, dan becak.

Membaca buku ini, kita melihat bagaimana penduduk Dinoyo merespon proses-proses politik, menolak atau menerima perubahan kota. Kita seolah dibawa turut cangkruk di warung, mendengar cerita Amrih, pemulung yang baru saja menyewa becak dengan harga Rp.2.000/hari, tanpa sadar bahwa dalam tahun-tahun berikutnya, becak akan terdesak dengan meningkatnya dan murahnya transportasi motor. Heru, germo 16 tahun di satu wilayah prostitusi di Dinoyo bernama Molly (tribut untuk Dolly), yang menggunakan pendapatannya untuk membeli makan dan bermain adu doro. Mayjen Dayat, kepala polisi Jawa Timur yang pernah membela praktik adu doro karena perannya dalam pariwisata dan ekonomi, sampai-sampai ia membuatkan piala kemenangan dari polisi untuk pemenang adu doro. Massa 33, organisasi pemuda yang terbentuk di sekitar terminal Joyoboyo, dan anggota-anggotanya yang berupaya menghilangkan tato mereka dengan pantat ceret panas di tengah merebaknya kampanye petrus (penembak misterius) oleh militer dan polisi di zaman Orde Baru. Kaitannya dengan ninja, orang gila, sampai dukun santet, dan sebagainya. Hingga ketan intip yang dipercaya membuat orang menjadi lengket dengan kampung.

***

Bedah buku bersama Robbie Peters di C2O, 18 Agustus 2013. Foto: Erlin Goentoro

Bedah buku bersama Robbie Peters di C2O, 18 Agustus 2013. Foto: Erlin Goentoro

Buku Surabaya, 1945-2010 berasal dari disertasi S3 Peters di University of Sydney, Australia. Peters memilih lokasi Surabaya, karena ia mendengar dari teman-temannya, bahwa Surabaya itu kota yang tidak enak—panas, orang-orangnya kasar, kota industri, bonek, dan berbagai label karakter yang sering kita dengar tentang Surabaya.

Rupanya, justru karakter-karakter itu lah yang menarik minat Peters.

Memulai S3-nya di tahun 1996, Peters menunggu dua tahun untuk mendapatkan visa penelitian, hingga akhirnya ia tiba di Surabaya pada Januari 1998. Tanpa ada bayangan sama sekali mengenai tragedi yang akan terjadi empat bulan kemudian di berbagai kota di Indonesia. Setelah akhirnya mendapat visa dan izin penelitian, beberapa kampung ia kunjungi untuk menjajaki kemungkinan tempat bermukim. Rupa-rupanya, beberapa kampung yang terkenal, seperti Peneleh dan Plampitan, malah tidak menarik baginya.

“Sudah banyak ditulis, dan sudah banyak tokoh-tokohnya,” jelas laki-laki plontos yang ramah itu dengan enteng, dalam bedah bukunya di C2O, 18 Agustus 2013 yang lalu. Awalnya ia sempat menginap di rumah temannya di Bratang, tapi rupanya ia merasa kurang nyaman dan tak bisa santai di sana. Dia tidak menyukai keteraturan yang ketat. Cuaca Surabaya yang sangat panas membuat Peters suka melepas baju, bertelanjang dada. Tapi, sekali pun di dalam rumah, dia tidak diperbolehkan melakukannya.

Hingga kemudian, dia bertemu dengan sesama warga Australia di Depatemen Imigrasi, yang kemudian merekomendasikan kampung Dinoyo pada Peters. Awalnya, Peters skeptis—tahu apa memang orang Australia tentang kampung?—tapi toh akhirnya ia ikuti saja. Kenalan barunya itu membawa Peters dan temannya dengan mobil, mereka parkir di depan toko roti Suzana, di depan gang sembilan Dinoyo yang sesak dengan tukang becak. Begitu turun dari mobil, ia disambut oleh aroma semerbak Kalimas dan roti.

“Campuran baunya itu enak. Saya senang,” tuturnya.

Memasuki gang sembilan, Peters bercerita bahwa dia merasa melihat banyak warna. Perempuan-perempuan berpakaian biasa dan santai saja dengan baju tidur (daster), tampak begitu menikmati hidup. Tukang becak yang renta lewat, seperti tanpa tenaga, tapi toh kuat terus mengayuh. Belok kanan, mereka bertemu dengan para peminum, yang secara selengekan dan antusias, mengajaknya turut bergabung. Temannya, seorang pegawai negeri, dengan risih menyuruh Robbie untuk jangan dekat-dekat mereka.

Perayaan malam menjelang 17 Agustus 2013 di Dinoyo. Foto: Erlin Goentoro.

Perayaan malam menjelang 17 Agustus 2013 di Dinoyo. Foto: Erlin Goentoro.

Tapi Peters malah merasa klop. Apalagi setelah sebelumnya geraknya terbatas di berbagai universitas-universitas dan kantor-kantor dinas pemerintahan di Surabaya, di mana dia harus memakai pakaian-pakaian resmi dan sepatu. Dinoyo baginya terasa jauh lebih longgar dan nyaman. Dinoyo, menurutnya, bisa mewakili kampung masyarakat kelas bawah. Peters juga membaca bahwa Bill Frederick menyebut Plampitan dan Peneleh sebagai kampung-kampung yang punya tokoh elit, sementara Dinoyo adalah kampung dengan lebih banyak tukang becak, kuli, tukang kayu, dan sebagainya.

“Memang penduduknya tidak terlalu miskin, tapi banyak warganya memiliki kebiasaan-kebiasaan “nakal” yang membuat mereka mudah digolongkan menjadi kelas bawah,” jelas Peters. Bahkan, terkenal dengan karakter molimo—maling, main (judi), mabuk, medok, dan madat. “Lalu, mereka senang bilang, saya non-blok, saya tidak mau ikut dalam politik. Jadi itu cocok untuk saya, karena saya bisa melawan teori-teori yang sering digunakan untuk menggambarkan Indonesia,” lanjutnya.

Peters, saat itu berusia 27 tahun, kemudian tinggal di Dinoyo selama satu tahun, dari Januari 1998 hingga Januari 1999, untuk melakukan penelitannya. Ia tidak menggunakan wawancara formal ataupun kuesioner.

“Saya tahu sendiri bahwa orang-orang dari kelas bawah—atau mungkin dari kelas sosial mana pun—juga akan agak ragu kalau didatangi orang untuk ditanyai banyak pertanyaan,” jelas Peters mengenai metodenya. Apalagi warga mengalami banyak kejadian di mana pemerintah menjadi alat disiplin yang memukul dan menakuti mereka. Orang-orang kampung kemudian menjadi cenderung takut dan tidak percaya pada aparat dan akademisi. Karenanya, Peters melakukan penelitiannya dengan membangun pertemanan, melakukan pengamatan, berinteraksi dengan cangkruk dan ngobrol di warung kopi, di masjid, di gang. Ia kemudian melengkapi penelitiannya dengan data statistik dan kuesioner dari kenalan-kenalannya di lingkungan akademik dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Robbie bersama temannya, Arif Mubin (sebelah kiri Robbie), yang juga membuat ilustrasi sampul bukunya. Foto: Erlin Goentoro

Robbie bersama temannya, Arif Mubin (sebelah kiri Robbie), yang juga membuat ilustrasi sampul bukunya. Foto: Erlin Goentoro

Dengan latar belakang pekerja di Australia, Peters sering merasa jengah dan skeptis dengan perspektif-perspektif dominan mengenai Indonesia. Menurutnya, kebanyakan kajian akademis tentang Indonesia—terutama dari universitas-universitas Australia—berada dalam ranah ilmu politik. Pandangan mengenai masyarakat bawah Indonesia seringkali dibahas dalam perbincangan mengenai politik uang dan ormas (organisasi masyarakat). Masyarakat kelas bawah, dikatakan senang berpartisipasi dalam ormas, dalam unjuk rasa, karena mereka dibayar, diberi makanan gratis. Pandangan yang menurut Peters terlalu menggampangkan dan menyederhanakan.

“Nggak ada satu pun orang Dinoyo yang turut atau berani ikut protes-protes. Mereka cuma lihat dari pinggir sebagai penonton,” sanggah Peters.

“Dan mereka (penduduk Dinoyo) tanya ke saya, di dalam protes itu merasakan apa. Tapi mereka nggak ikut, mereka nggak digunakan, mereka hanya menonton. Mereka punya alasan yang sangat kuat untuk hanya menjadi penonton. Karena kalau lihat dari sejarah, mereka sudah menjadi korban Orde Baru,” lanjutnya.

Pengamatannya di Dinoyo membuatnya meragukan pandangan-pandangan dominan mengenai kekuatan ormas di Indonesia. Terus terang, Peters merasa jarang menemui ormas-ormas tersebut di Surabaya. Merujuk pada temannya, sejarawan Purnawan Basundoro, Peters mengingatkan, bahwa untuk melihat sejarah Surabaya, harus melihat sejarah perebutan tanah.

Begitu pula dalam demonstrasi atau protes yang digelar oleh mahasiswa saat ‘98, penduduk kampung Dinoyo tidak turut berpartisipasi (lihat hal. 166-171). “Kalau dalam Orde Baru, ada banyak tokoh mahasiswa. Mereka punya izin untuk memprotes, punya izin untuk mengeluarkan suaranya, walaupun itu memang agak bahaya. Itu beda dengan kalau kamu memang orang-orang di kampung, orang-orang miskin, orang-orang yang punya bapak yang hilang karena kejadian ‘65, atau punya teman-teman yang hilang pada Petrus, atau punya teman-teman yang sering masuk penjara, atau sering ditangkap polisi. Memang kamu akan agak takut pada pemerintah.”

Selama 1980-1990, ada enam antropolog asing yang melakukan etnografi di Indonesia, nguplek dan menghasilkan karya “babon” mengenai kampung, tapi belum ada yang memfokuskan pada Surabaya. Meskipun tidak mewakili seluruh kota, buku ini justru menghadirkan satu mosaik yang kompleks mengenai Surabaya, dari suatu kampung bernama Dinoyo.