Slamet Abdul Sjukur seringkali disebut sebagai bapak musik kontemporer Indonesia. Konon, ia adalah seorang komponis Indonesia yang paling berpengaruh dalam menyebarkan “virus” musik kontemporer di tanah air. Berbagai penghargaan nasional maupun internasional telah ia raih. Sebutlah, misalnya, penghargaan dari Gubernur Jawa Timur (2005), Walikota Surabaya (2011), Karya Bhakti Budaya dari Kementrian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (2013), hingga Millenium Hall of Fame (American Biographical Institute, 1998), dan Ordre des Arts et des Lettres (Prancis, 2000).
Di Surabaya, Slamet tinggal di dalam rumah sederhana, tersembunyi dalam lorong kampung Keputran Meski sederhana, begitu kita tiba di depan pintu, tampak dari bel rumah yang ia buat sendiri itu, betapa kreatifnya maestro ini dalam memanfaatkan keterbatasan. Bunyi belnya halus, mengendap. Seperti dirinya, yang konon sluman slumun seperti siluman, tapi selalu slamet.
Terlahir dengan nama Soekandar pada 30 Juni 1935, karena sering sakit-sakitan, ia diruwat, dan berganti nama menjadi Slamet. Di masa kecilnya, ia sering diganggu dan berkelahi dengan teman-temannya, karena kaki kanannya yang polio. Ayahnya kemudian membelikannya piano, yang rupa-rupanya kemudian memantik minat musik Slamet. Menghantarkannya menjadi komponis ternama dengan karya-karya yang dikenal di berbagai negara. Jika Anda pernah tahu—dan mungkin membanggakan—bagaimana seorang Debussy terinspirasi oleh gamelan, maka Anda perlu mengenal sosok Slamet, yang dipilih oleh Institut Français membuat komposisi GAME-Land V untuk 100 tahun Debussy pada 2012 yang lalu.
Tapi Slamet Sjukur bukanlah sekedar rangkaian prestasi dan penghargaan. Satu hal yang sangat terasa dari semangat kakek yang awet muda ini adalah semangat berbagi pengetahuan, kegembiraan, dan kecintaannya pada musik. Tahun 1957, ia bersama The Lan Ing, dan Ruba’i Katja Sungkana, mendirikan Pertemuan Musik Surabaya (PMS), sebuah organisasi nirlaba yang menyelenggarakan berbagai acara musik. Tidak hanya konser, tapi juga diskusi, lokakarya, dan nonton film. Setelah sempat vakum, sejak 2006 PMS kembali diadakan secara rutin. Mulai dari Ross Carey, pianis asal Australia, Klara Wurtz, pianis asal Hungaria, Iswargia dan Glenn Bagus, hingga musik Banyuwangi, pernah menjadi bagian dari acara PMS.
Pada bulan Juni 2014 ini, tepat 57 tahun setelah Slamet mendirikannya dengan teman-temannya, PMS mengadakan acara khusus, Sluman Slumun Slamet: 79 tahun Slamet Abdul Sjukur. Rangkaian acara ini digelar selama 15 -22 Juni 2014, di berbagai tempat—Wisma Jerman, Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya, STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta), dan C2O library & collabtive. Ada pementasan komposisi Slamet Abdul Sjukur, yang akan dimainkan oleh Ika Sri Wahyuningsih (soprano asal Yogyakarta), Ensamble Kyai Fatahillah (ensamble gamelan asal Bandung), Gema Swaratyagita (komponis dan pianis asal Surabaya), dan tentunya, Slamet Abdul Sjukur sendiri.
Ada ceramah sehari oleh Suka Hardjana, seorang musikolog Indonesia yang akan memberikan uraian mengenai pemikiran SAS. Ada juga sarasehan musik yang menghadirkan Iwan Gunawan (komponis), Gatot Sulistyanto (komponis), Hanafi (pelukis) dan Lini Natalini Widhiasi (pelukis). Di samping pementasan dan diskusi, akan diluncurkan pula, buku kumpulan esai Sluman Slumun Slamet yang disunting oleh Erie Setiawan, editor Art Music Today. Diakhiri dengan kuliah mengenai kritik musik dalam jurnalisme musik oleh Suka Hardjana.
Sebelum acara utama dilangsungkan pada 20-21 Juni, Pertemuan Musik Surabaya akan menggelar Donasi Sore pada 15-16 Juni, untuk menggalang dana penyelenggaraan rangakaian acara ini. Begitulah, dengan line-up acara yang luar biasa ini pun, rupa-rupanya penyelenggaraan tetap dilakukan dengan sistem swadaya dan pertemanan nan sluman slumun. Kegiatan yang ditawarkan dalam penggalangan dana ini pun cukup memancing rasa penasaran: Lelang koleksi pribadi Slamet Sjukur, seperti partitur dan instrumennya. Juga KUKIKO, kursus komposisi kilat, dari Slamet sendiri, yang akan membuat kita sadar, betapa kayanya potensi musik dari bunyi di sekitar kita. Mulai dari bunyi kibasan ketiak, suara sengau saat pilek, hingga kesunyian. Mari hadir, menyaksikan dan mendengar pemikiran dan karya Slamet, yang laksana siluman yang elusif, tak akan pernah dapat cukup dijelaskan, dan tak akan pernah membosankan.