Dalam salah satu interview yang saya lakukan terhadap Bongky, salah satu tetua Potlotscene dan kini menjadi mastermind band Warteg Boys, dia mengingatkan kami, “orang Indonesia itu ngehe’; datang dari kampung lalu mengalami culture shock di kota, mereka merasa cool karena itu.” Kami menangkap maksud Bongky bahwa ngehe’ yang dimaksud adalah sok keren, kampungan, namun jatuhnya menjadi kitsch. Warteg Boys yang hadir dengan gaya kampungan lewat logat Tegal ala tongkrongan mas-mas di warteg, musik hip-hop seadanya, dan lirik katrok justru menjadi cool di mata kami. Sudah banyak kasuskitsch seperti ini sepanjang pengalaman kami menikmati seni. Di dunia seni rupa kami juga menemukan Andry Mochammad, Eko Nugroho, dan Mufti Priyanka dari Bandung dan Yogyakarta yang mengusung nilai kampungan tapi sensitif lewat karya-karyanya (bisa lewat visual, term-term yang sering mereka gunakan, kalimat-kalimat norak, dan figur-figur norak di karyanya).
Saya suka berbicara soal geografis saat mengulas sebuah rilisan. Kali saja ada benarnya bahwa posisi si artis berpengaruh terhadap output karyanya. Ada benar dan ada salahnya. Korine Conception dari Medan yang panas dan berapi-api justru bisa membuat musikindie rock yang dingin dan bergemuruh seperti banyak musisi Bandung lakukan di karya-karya shoegaze, indie rock, dan post rock-nya. Aneka Digital Safari dari Bandung justru membakar crowd lewat noise perihnya dalam setiap performance. Kalau begini, berarti teori geografis itu salah. Namun bagaimana kalau kami menyebut bahwa dugaan tersebut benar karena TerbujurKaku melakukan itu di Megamix Album: Koplo Goes to Breakcore.
Koplo adalah dangdut uptempo yang berkembang di jalur-jalur perlintasan truk-truk pendukung industri dan infrastruktur ekonomi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Sudah hadir sekitar awal 90-an sejak house music (bukan House dalam huruf besar seperti yang dilakukan dewa-dewa disko di The Paradise Garage dan party-party The Loft pada tahun 70-an!) berkembang di Indonesia. Saat itu, selain banyak me-remix lagu-lagu pop Indonesia di masanya, DJ-DJ Jl. Gajahmada dan Kota, Jakarta banyak memasukkan unsur dangdut yang intens di set mereka. Akhirnya musik tersebut berkembang dalam bentukhouse musik ala Indonesia yang ngebut. Mengingatkan kami pada happy hardcore yang besar di UK di awal 90-an setelah masa emasnya hardcore (bukan Minor Threat and so on! Tapi hardcore versi keras dari UK garage, sisi lain dari breakbeat dan drum and bass!) di negeri tersebut. Cepatnya bisa sampai 150 sampai 170 bpm, kecepatan yang kini bisa Anda dengar di musik drum and bass.
Dangdut sendiri sejak awal perkembangannya dianggap sebagai musik kampungan. Banyak elitis-elitis musik rock yang menjauhi perkembangan dangdut yang sebenarnya merupakan salah satu warisan musik paling penting di Indonesia di era 70-an, terlepas dari pengaruh India dan Melayu-nya yang kuat di musik tersebut. Dangdut sendiri dianggap lebih “membumi” karena mereka banyak berkembang di kalangan masyarakat kelas bawah dan kaum terpinggirkan. Dangdut sudah seperti Baile funk di Brazil yang banyak dinyanyikan di pesta-pesta kaum ghetto (favela) yang butuh pelarian atas ketertekanan ekonomi, sesuai dengan pengalaman mereka.
Analogi dangdut sebagai sesuatu yang kampungan dihantamkan dengan musik jungle dan breakcore bertubi-tubi di tangan Phleg, orang sinting di balik TerbujurKaku (kini si goblok ini membantu Ballerina’s Killer, band lo-fi, kitschy indie rock bentukan Yoyon dari Klepo Opera). Kembali ke awal paragraf, ngehe’ bagi Bongky di atas kini dipercantik denganremix dari musik yang besar di scene musik elektronik UK juga pada awal 90-an. Bukan hal yang pertama Phleg lakukan sebenarnya. Di sebuah kompilasi bersama breakcore_LABS(komunitas musik breakcore dan electronic asal Yogyakarta), Phleg sudah mengobrak-abrik musik khas jalur Pantura ini di situ (bersama dengan komposisi gamelan masterpiece Bali, “Sekar Jupun”). Phleg sendiri dari awal juga dianggap sebagai musisi paling nyeleneh sekota Surabaya, kota mega urban selain Jakarta, Medan, dan Batam, tempat banyak orang mencoba mengadu nasib dari kampung agar sukses dan menjadi kebanggaan desa tempat mereka berasal; kota yang juga berisi orang-orang ngehe‘ pendengar koplo yang loyal.
Durasinya tidak panjang, setiap track-nya saja cuma kurang dari dua menit (cuma ada dua yang lebih dari dua menit!). Dibuat dalam formasi mixtape yang sambung menyambung menjadi satu layaknya sedang melakukan set DJ paling heboh di klub-klub dangdut tempat pelacur-pelacur murahan dengan saudagar-saudagar kelas teri saling melontarkan rayuannya. Uniknya ambience yang dibuat Phleg menjadi 100% khas Chopstick Dubplaterecords dan The Ragga Twins yang memiliki bassline kencang menghantam jantung. Tak lupa petikan solo drum Amen Break yang menjadi ruh dari seluruh track jungle,breakbeat, dan breakcore seantero dunia.
Track “Bojo Loro” yang merupakan anthem dari Campur Sari didaulat jadi pembuka. Bukan tugas yang sulit bagi Phleg untuk memerkosa track ini menjadi jungle karena tidak kurang dari beberapa detik setelah membukanya dengan instrumen tradisional,TerbujurKaku langsung menembak dengan bass dan breaks yang memabukkan. Di telinga kami, pembuka ini langsung membuat kami bergidik karena mengenang kejayaan jungle di tahun 90-an, apalagi karena kami tahu ini dibentuk lewat persilangan pas musik asli Indonesia yang menjadi guilty pleasure Anda di pesta-pesta 17 Agustus-an komplek rumah atau kampung setempat. Di versi TerbujurKaku, lagu “Meneketehe” yang cuma 1 menit 20 detik mengingatkan kami pada progresi kord dan bassline khas happy hardcore. Versicover Rhoma Irama, “Darah Muda”, yang sempurna lewat female vocalist Erma Faranydiusung dengan Amen Break gokil. Bassline yang mengiringi akan membuat nangis pecinta Bass music di daratan Britania. Selanjutnya, “Sekuntum Mawar Merah”, anthem dangdut dan koplo yang dinyanyikan Evi Sukaesih (apakah ini maksudnya Elvy Sukaesih?) juga mengiringi hantaman jungle sebelum dengan warna yang sedikit hardcore. Kalau anda mengikuti The Prodigy era awal, kalian akan mengerti maksud kami.
Yang seru adalah “Karmila” dari SERA (dulu dinyanyikan Farid Hardja, Elton John-nya Indonesia). Di sini Phleg memasukkan intro “Kucing Garong”, juga anthem koplo paling sukses yang sering di-singalong-kan di party-party mas-mas pervert yang cuma ingin melihat isi rok si penyanyi dari bawah panggung. Dari awal sampai akhir track ini terdengar seperti mix yang seru antara trance, jungle, dan breakcore. Phleg sepertishow-off sample-sample yang dimilikinya hingga terdengar seperti radikalis breakcore. Apalagi ending lagunya memasukkan sample live version dari SERA, entah saat manggung di kampung mana lagi. Intensitas musik breakcore paling terasa di lagu “Kubawa” dari Ana Laila. Inilah Phleg yang sebenarnya kami kenal di TerbujurKaku. Bass yang berisik, tempo yang terkadang kejar-kejaran dari sample asli-nya, ketukan yang super berantakan dannoise yang membumbui. Kebingungan kami diselamatkan lagi dari nuansa jungle di tracksesudahnya, “Rindu Berat” dari Erma Farany. Di sini malah terdengar suara MC, “ayo, Mang!” yang merupakan sapaan wajib untuk memprovokasi para kuli dan tukang bakso yang sedang berpesta di panggung-panggung kampung. Beberapa dari anda pasti juga suka melakukannya saat berkaraoke bersama teman-teman sekantor/sekampus saat membawakan anthem-anthem dangdut di Inul Vista.
Erma Farany‘s “SMS” di-remix menjadi tipikal drum and bass yang ajeg. Kalau intensitas bass dan ketukannya dikencangkan, akan terlihat aroma Hospital Records di pembuka lagu ini. Namun seperti Phleg ingin membiarkan track ini seperti aslinya, hingga beat 4/4-nya tidak begitu se-jungle dan se-breakcore yang lainnya. Bedanya hanya di sound drum. Baru pada di menit terakhir TerbujurKaku merusaknya lewat beat khas jungle. Sepertinya ini menjadi sesi cooling down untuk para junglist yang dari tadi tidak berhenti bergoyang.
Hanya berjarak 2 menit 44 detik, TerbujurKaku meneruskan penginjilan jungle-nya ditrack “Bang Toyib” dari Ade Irma yang di Indonesia berhasil menjadi salah satu peringkat Ring Back Tone tertinggi. Bassline-nya lebih besar daripada yang lain. Kalau di UK ada radio dangdut, track ini kami jamin akan menjadi heavy rotation mereka di playlist, dan menjadi lagu wajib Ali G di film In Da House selain “Incredible” dari M Beat. Mixtape ini diakhiri dengan lagu “Jablay” dari Tuty Wibowo yang kembali membawa kenangan kami pada waktu-waktu emas happy hardcore. Seperti mengencingi “Out of Space” dari The Prodigy, sekaligus merusak sudut pandang Goldie sang pelopor drum and bass bahwa musik tersebut selalu cool di tangan dia.
Walau ditulis dengan subtitle Koplo Goes to Breakcore, mixtape ini malah lebih terasa jungle. Seperti seri-seri Funk Mundial dari Man Recordings yang “memodernkan” musik Baile funk di Brazil, mixtape ini juga mampu membayar nostalgia seluruh junglistsIndonesia yang kini sudah beralih menjadi steppa (sebutan untuk pecinta musik dubstep,future garage, dan future dub) juga menjadi sebuah tempat ideal di mana junglists dan mas-mas pekerja pabrik, kuli, supir truk, dan tukang bakso berkumpul dan bergoyang bersama. (Gembi/WastedRockers)
Jangan lewatkan, penampilan TerbujurKaku pada ELECTRO:WORK 4.0 Sabtu 30 November 2013 nanti, pk. 19.00, di Balai Pemuda.
Untuk merayakan dan juga melengkapi akses musik TerbujurKaku, SUB/SIDE atas izin Phleg merilis ulang album pertama yang ia rilis secara mandiri di tahun 2010, Megamix Album: Koplo goes to Breakcore. Dilengkapi dengan tulisan Gembi yang diterbitkan di WastedRockers.
Album ini menggunakan lisensi Creative Commons BY-NC-SA. Anda bebas untuk mengunduh, mengolah-ulang dan membagikannya secara gratis asal mencantumkan sumber materi ini, tidak mengambil keuntungan komersial dan wajib menggunakan lisensi yang sama. Unduh lagu dan sampulnya dari archive.org.