Dreaming & Droning: Renjana Tur 2014

Rabu dan Silampukau tampil mengisi pikiran
masyarakat urban Surabaya di tengah-tengah
euforia nonton bareng debat capres dan Piala Dunia 2014.

Musik · 9 July 2014 · Keywords: ·
Rabu-Renjana-Tur-C2O

Rasanya perlu menahan perasaan berharap lebih saat menanti kehadiran Rabu di Surabaya pada tanggal 22 Juni 2014 malam, satu perhentian dari rangkaian tur promo album mereka yang pertama, “Renjana”. Mendengarkan lagu-lagu band duo bernama unik ini sebelum gig berlangsung, seperti mengkhianati kejutan yang diharapkan akan muncul saat Rabu hadir pertama kali di kota ini. Rabu datang ke Surabaya dalam rangkaian tur bertajuk Renjana Tur 2014, dan C2O library & collabtive, melalui SUB/SIDE LIVE, sangat beruntung menjadi tuan rumah penyedia ruang bagi kugiran noir-spiritual folk asal Yogyakarta ini di Surabaya. Dalam gig pertama mereka di Surabaya kali ini, Rabu ditemani duet folk asal Surabaya, Silampukau.

Tak banyak memang yang bisa dikulik dari band ini terkecuali rekam jejak vokalisnya, Wednes Mandra, yang sebelumnya pernah mendirikan proyek noise rock Asangata sekaligus pemilik netlabel Pati Rasa Records. Album pertama mereka, “Renjana,” dirilis pada Desember 2013 lalu, menampilkan kemasan fisik berupa kotak anyaman (atau dalam bahasa Jawa, besek), yang memuat tidak hanya cakram padat (CD) album mereka, tapi juga sebatang rokok klobot dan sebalok menyan dalam kantong belacu. “Packaging-nya kayak tempat peuyeum,” seloroh Omuniuum, distributor CD Renjana. Sebuah ajakan untuk lebih dari sekedar menggunakan indera pendengaran kita dalam menikmati musik mereka.

C2O-RabuRenjanaTur

Renjana Tur 2014 di C2O, 22 Juni 2014. Foto: Erlin Goentoro

Satu hal menarik adalah gig ini tidak gratis seperti kebanyakan acara yang diadakan SUB/SIDE LIVE dan C2O umumnya, tapi penonton diminta membayar secara sukarela—pay as you wish. Venue terdapat di halaman belakang perpustakaan yang kecil, dilatari lembar terpal putih yang sering digunakan untuk layarpemutaran film. Di panggung kecil itu, hanya ada dua kursi diatas sebuah karpet. Pencahayaan hanya didukung oleh dua standing lamp dan beberapa lampu downlight standar rumah. Sunyi dan intim.

Silampukau dan lagu-lagu tentang kehidupan sehari-hari

Silampukau membuka acara. Foto: Erlin Goentoro

Silampukau membuka acara. Foto: Erlin Goentoro

Minggu malam, empat jam sebelum kick off pertandingan Piala Dunia 2014 antara Belgia melawan Rusia, dan satu jam sebelum debat capres, acara pun dimulai. Silampukau membuka pertunjukan malam itu pada jam 7 lewat 16 menit. Mengawali setlist mereka dengan Sambat Omah, band yang beranggotakan Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening ini tampak kembali pada format duo gitar akustik. Mungkin sebagai penyesuaian dengan tema dan kondisi acara, format duo gitar akustik tanpa band pengiring ini mengembalikan ingatan ketika mereka tampil di kafe Blackbird (saat masih di Jalan Imam Bonjol) tahun 2011 silam.

Lagu Balada Harian terlantun kemudian, lagu yang mungkin akan menjadi lagu signature Silampukau andai mereka berkesempatan menikmati perjalanan karir bermusik yang panjang ke depan. Liriknya bercerita tentang rutinitas sehari-hari dengan aransemen berbasis musik akustik yang melompat-lompat nan lucu dalam lagu; membawa pesan optimistis dalam menjalani hidup.

Silampukau melanjutkan set mereka malam ini dengan Puan Kelana. Selang-seling vokal Kharis dan Ekki yang beda timbre kala menyanyikan lirik lagu serta variasi petikan gitar akustik mereka berhasil menciptakan komunikasi dengan penonton—walau mungkin juga beberapa dari mereka belum hapal lirik lagu Silampukau.

Lagu Doa 1 menjadi lagu keempat—bagaikan sebuah lagu tribute bagi banyak scenester musik indie di kota Surabaya, yang mungkin beberapa dari mereka hadir di lokasi Renjana Tur malam itu. Dalam lirik lagu ini Silampukau seakan bercerita dengan terkekeh-kekeh tentang harapan seorang musisi indie dalam usahanya menggapai keberhasilan walau harus melampaui banyak tahapan konyol dalam hidupnya.

Silampukau: Eki Tresnowening & Kharis Junandharu. Foto: Erlin Goentoro

Silampukau menuntaskan sesi mereka dengan lagu Sampai Jumpa, sebuah lagu perpisahan bernada riang yang sekali lagi dibangun atas pondasi permainan harmonisasi vokal Ekki dan Kharis serta variasi dinamis petikan gitar akustik keduanya.

Peran Silampukau sebagai band pembuka cukup menghangatkan suasana dalam venue, mengingat atmosfer mistis dan temaram yang akan dihadirkan oleh penampil utama, Rabu, yang akan keluar kemudian.

Rabu yang temaram

Rabu-C2O-01

Foto: Erlin Goentoro

Atmosfer di lokasi gig mulai bergeser menjadi agak temaram. Dua standing lamp yang tadinya mengarah ke stage sekarang diarahkan ke terpal putih yang menjadi backdrop panggung mini tempat Rabu akan main. Dua personel Rabu, Wednes Mandra (gitar, vokal) dan Judha “Tempe” Herdanta (gitar) masuk ke panggung kecil ini, menduduki dua kursi yang sebelumnya ditempati dua anggota Silampukau. Wajah mereka hanya terlihat sekilas dari pantulan cahaya standing lamp yang menjadi dekorasi panggung.

Nomor instrumental Dru menjadi pembuka penampilan Rabu. Petikan statis bertempo lambat dari gitar akustik Wednes disusul iringan single string dari gitar listrik Judha perlahan membangun ruang imajiner yang seakan memanjang dari panggung kecil tempat mereka tampil. Tanpa jeda, Rabu me-medley Dru dengan Baung, sebuah lagu bernuansa gelap yang diawali ritme gitar akustik Wednes dilanjutkan balutan nada-nada mencolok gitar listrik Judha yang menggema menguatkan bentuk ruang imajiner yang telah terbangun. Terkejut juga tatkala suara bariton dengan tone rendah Wednes hadir, “…Baung memanggil malam, mendamba gelap….” Lantunan Wednes seperti kesalahan atau dosa masa lalu yang siap menerkam siapapun di masa kini dan nanti.

Rabu meneruskan perjalanan astral mereka dengan Semayam, dimana lick gitar Judha di lagu ini mengingatkan kita pada permainan Michael Schenker dari MSG atau Michael Weikath (Helloween) dari era kejayaan melodic metal act di akhir 80-an dan 90-an. Semayam adalah sebuah pernyataan spiritual dari Rabu, yang cukup kuat hingga membuat hampir semua mata audience tertuju pada dua anggota Rabu. Tak banyak band yang mampu membangun komunikasi dan aura seperti itu. Dalam Tidur menjadi selingan yang catchy dengan petikan gitar akustik Wednes yang tampil ke depan. “Dalam tidur aku mendengar, suara suara makhluk tersesat…” Vokal Wednes seperti Nick Cave saat mengarungi kejayaan bersama The Bad Seeds akhir 1980-an.

Rabu-Renjana-c2o01

Foto: Erlin Goentoro

Aura astral yang dibangun Rabu semakin menampak saat intro Doa Renjana dimainkan, suara bariton rendah Wednes dibalut alunan gitar Judha yang mengambil ritme gamelan memulai sebuah doa spiritual di tengah keremangan venue. Doa Renjana adalah highlight dalam pertunjukan ini, dimana pesan kerendahan diri manusia di depan Sang Pencipta terbaca jelas. “…Kepada Gusti Sendika Dawuh, menjaga hidup harmoninya, panjatkan doa……” Rabu mengajak penonton merenung di lagu yang hanya ada di format CD album “Renjana”.

Lagu instrumental Kereta Terakhir seperti mendengarkan Barclay James Harvest atau Nektar tanpa vokal. Duet gitar Wednes dan Judha yang dinamis dengan efek delay seakan membawa penonton mendengar langkah kereta api berjalan di atas rel.

Rabu sebenarnya adalah proyek yang lahir secara tidak sengaja ketika Wednes Mandra membuat beberapa komposisi baru dengan gitar akustik di tahun 2013.

Rabu: Judha dan Wednes. Foto: Erlin Goentoro

Rabu: Judha dan Wednes. Foto: Erlin Goentoro

“Waktu itu saya sedang bosan membuat musik baru,” cerita Wednes, “bahkan saya sempat menjual efek gitar yang sering dipakai untuk efek noisy di Asangata dulu, hasil penjualannya saya belikan Playstation.” Wednes lalu berkolaborasi dengan Judha Herdanta di tahun 2013.

“Kalo aku dasarnya metal, aku sering mainin Iron Maiden, Helloween, Yngwie Malmsteen,“ ujar Judha menjelaskan roots musiknya.

“Ketemu Wednes yang punya latar noise rock ya gini jadinya,” lanjut Yudha seraya menunjuk pada kolaborasi mereka di Rabu. Tak hanya di Rabu, Wednes dan Judha juga memiliki proyek bareng beraliran free jazz bernama Kultivasi.

Adalah Wok The Rock, penggiat scene indie Yogyakarta dan pendiri netlabel Yes No Wave Music yang memerhatikan karya-karya Wednes Mandra sejak di Asangata. Kesempatan untuk bekerja sama datang setelah Rabu mulai merilis beberapa demo mereka.

“Mas Wowok langsung menawari kami untuk membuat full album,” cerita Wednes, “dan kami langsung menyanggupi.” Nama Rabu pun semakin dikenal saat Wok The Rock mengajak mereka menjadi opening act ketika Frau main di Yogyakarta.

Rabu-Renjana03

Foto: Erlin Goentoro

Suasana perenungan kembali hadir saat Rabu memainkan Kemarau, Bunda dan Iblis. Vokal Wednes menjadi lebih lantang walau masih memasang mimik wajah yang dingin sembari berseru “….Jalanan panjang, Dibunuh sadis, Ayunkan parang….” Di lagu ini masih terlihat pengaruh noise rock, tatkala Wednes coba memainkan gitar akustiknya dengan gaya shredding untuk menggantikan layer efek suara dalam versi aslinya. Karya opus suite Rabu berjudul Lingkar menjadi lagu terakhir sebelum encore. Membawa aura mistik-spiritual dari komposisi drone-experimental folk berdurasi delapan menit ini ke sebuah live gig tidaklah mudah, tapi Rabu cukup mampu melakukannya, walau permainan slide pada gitar listrik Judha agak miss tempo mengikuti rhythym gitar akustik Wednes di awal lagu. Paduan gitar Wednes dan Judha seperti dialog lirih seru antara dua orang yang menjadi latar kala Wednes bernyanyi. Aksi duet ­dronning gitar listrik Judha dan gitar akustik Wednes sepanjang tiga setengah menit menjadi klimaks dari show ini, dan penonton masih tertegun pada dua sosok minim ekspesi yang duduk di depan mereka kala lagu Lingkar berakhir dengan satu kalimat dari Wednes, “…Dan lahirlah engkau peradaban….”.

Nomor instrumental nan anggun Telaga Kasih menjadi encore yang manis dari perjalanan perenungan supranatural bersama Rabu. Umpama sebuah bangunan, Rabu membangun sebuah ruang imajiner bernama “Renjana” di C2O Library malam itu, tahap demi tahap, mulai lagu pertama hingga terakhir. Petikan halus gitar Wednes memainkan nada-nada bertempo sedang diiringi efek gema dari gitar listrik Judha dalam Telaga Kasih memperjelas bentuk akhir dari ruang imajiner yang terbangun melalui gaya bermusik yang jujur.

Akhirnya cukup jelas juga mengenal sosok Rabu dan rancangan astral yang mereka namai “Renjana”, walaupun pemahaman lagu demi lagu masih terasa enigmatis hingga sekarang. Memahami musik Rabu dapat diandaikan ketika kita memerlukan soundtrack kala menjelajahi lorong-lorong gedung yang sepi atau hall besar di Museum Bank Indonesia – De Javasche Bank Surabaya. Spiritual adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Rabu dalam penampilan mereka di Renjana Tur 2014 malam itu.

Silampukau dan Rabu. Wednes, Kharis, Judha, Eki. Foto: Swandi Ranadila

Silampukau dan Rabu. Wednes, Kharis, Judha, Eki. Foto: Swandi Ranadila


Terimakasih Rabu dan Silampukau untuk malam penuh renjana dan dupa. Bagi yang kelewatan, CD Rabu dapat dibeli di C2O denan harga Rp. 45.000. Bagi yang ingin mendapatkan kaos Silampukau (edisi terbatas), hubungi mereka di twitter @Silampukau.