“Umur saya 89 tahun, saya kelahiran 1925”
“Wah, hebat ya…bapak awet muda sekali. Apa rahasianya?”
“Agak berat juga memang rahasianya….setiap jumat malam saya selalu menyisihkan waktu untuk bertapa, meditasi, dengan minum air bunga 7 rupa”
(takjub)
“Itu benar ya pak? Masih dilakukan terus sampai sekarang?”
“Ya, ya tentu saja”
(mereka terkagum-kagum)
Anda percaya? Atau bahkan pernah mendengar gaya percakapan ini sebelumnya? Sebaiknya percaya, supaya anda bisa mengenal sosoknya. Ya, seorang komponis Indonesia, itulah Slamet Abdul Sjukur. Sosoknya usil, menggelitik, tidak mudah diterka, namun mengandung muatan yang di luar dugaan, pun saat melihat karya-karyanya.
Hanya perihal umur dan tahun kelahiran, bahkan ia mampu membuat saya dan sejumlah teman berdebat keras mengenai hal itu. Berdebat mengenai kepastian umurnya, “79 atau 89”. Haruskah kami menyebutkannya “89 thn Slamet Abdul Sjukur” ataukah “79thn Slamet Abdul Sjukur”? Pasti salah satu diantara anda semua masih percaya salah satu pilihan umur tersebut.
Saat itu beliau memberikan alasan yang menurut kami sangat masuk akal. Begini alasannya“Ketika saya mengajukan beasiswa ke Prancis, saya harus ‘memanipulasi’ umur saya 10 tahun lebih muda, maka saya tuliskan di KTP bahwa tahun kelahiran saya 1935 supaya bisa daftar”. Ya, begitu pula yang kemudian banyak ditulis di berbagai buku dan artikel, bahwa tahun kelahirannya, 1935.
Alasan itu logis, tapi apa mungkin itu benar? Lebih muda 10 tahun? Sayangnya saya masih belum bisa percaya, hingga satu waktu saya bertemu pak Musafir Isfanhari. Beliau sampaikan sebuah cerita, untuk meyakinkan bahwa Slamet Abdul Sjukur memang akan berusia 79 tahun bukan 89 tahun. Mengapa? Mereka berdua (Slamet dan Isfanhari), adalah kawan sejak masih kecil di Surabaya, para ibu mereka adalah kawan baik. Umur mereka berdua terpaut sekitar 10 tahun. Begini penjelasannya, “Rasanya tidak mungkin sekali jika beliau kelahiran 1925, lha masa’ umur kami jadi terpaut 20 tahun? Ibu kami berdua juga pasti berumur tidak jauh beda satu sama lainnya. Mas Slamet itu ada-ada saja… haha…”
Anda bisa percaya ataupun tidak. Bisa saja hal ini benar, atau juga tidak. Anggap saja ini teka teki ala Slamet Abdul Sjukur. Sekalipun masih menjadi teka-teki, namun akhirnya saya sampaikan kisah dari pak Isfanhari ke beliau, sambil senyum jahil kemudian ia berkata “Yah, ketahuan deh saya…,” dan kami tertawa bersama, bagian yang menjadi tanda bagi saya untuk yakin melanjutkan rencana acara ini dengan “79thn Slamet Abdul Sjukur”
***
Perbincangan santai, obrolan tak berstruktur, mozaik-mozaik ide, perpaduan ilmu pengetahuan dan spiritual dari beberapa kepala, menjadi satu energi baru yang menyatukan para satria merangkai acara ini.
Ini bukan kisah perwayangan, tapi hampir sama dengan cerita legenda tentang kisah para satria yang tidak memiliki cukup banyak senjata untuk bertarung, tidak memiliki badan yang besar untuk sekadar menakut-nakuti musuh, tapi mereka memiliki kemampuan menjadi siluman, yang mampu mengendap, tanpa diketahui keberadaannya, menyelinap di segala sudut yang memungkinkan, serta melogiskan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin. Semangat gerilya, berjuang yang tidak kasat mata, tidak muncul di permukaan, bahkan tidak dengan persiapan yang ideal, itu bukan halangan untuk bertahan dan terus memperjuangkannya bukan? Inilah spirit Sluman Slumun Slamet, bahwa kami percaya kekuatan kami akan membuat segalanya menjadi mungkin, membawa kami slamet sampai tujuan.
Pertemuan Musik Surabaya adalah salah satu hasil dari proses sluman slumun slamet yang didirikan SAS 57 tahun lalu, salah satu wujud perjuangannya untuk musik, sebuah gerilya musik para pecinta musik Surabaya yang kemudian pada tahun 2013 lahirlah Pertemuan Musik Jakarta. Spirit itulah yang kami usung di dalam acara Sluman Slumun Slamet, perayaan 79 tahun Slamet Abdul Sjukur, bukan sekadar sebuah perayaan ulang tahun, namun lebih dalam lagi pada sosok dan pemikiran beliau yang sangat inspiratif untuk segala kalangan.
****
Slamet A. Sjukur (SAS) itu orang hebat! Tapi kenapa beliau tidak terkenal seperti para selebritis tanah air? Jadi dosen saja dipecat, dianggap komunis karena bilang bahwa agamanya musik, dianggap aneh dan nyentrik dengan sikap dan pemikirannya, sosoknya seperti jauh dari hingar bingar dunia industri yang mengejar kemewahan. Beliau sangat sederhana, minimaks, gak neko-neko, begitu damai tinggal di sebuah kampung daerah Keputran Surabaya, masuk ke dalam gang, di lingkungan yang banyak anak-anak kecil main bola dan masak-masakan, ibu-ibu setengah baya yang doyan cari kutu dan bergosip, warung dan tempat jualan makanan kampung yang bersahabat, becak yang selalu melambai di setiap sudut, juga bercampur kebisingan suara langgar yang selalu berkicau. Tapi beliau bahagia, hidup berpindah Surabaya dan Jakarta setiap bulannya, di usianya yang hampir 79 tahun, untuk mengajar, mengarang, dan menikmati sisa hidupnya.
Saya tidak suka berbicara mengenai umur seseorang. Biarlah ada yang mengatur tentang panjang usia seseorang. Yang kami lakukan sekarang ini adalah sebuah bentuk penghormatan kami para murid, sahabat dan teman beliau, atas segala dedikasi, kejujuran dan ketulusan yang luar biasa terhadap musik dan ilmu pengetahuan yang selama ini dilakukannya. “Pendekar bunyi,” dengan tongkat kesayangan yang sudah berkeliling dunia, kaki yang ringkih namun sekuat baja, mampu menjangkau bunyi apapun melalui telinganya. “Musik itu bukan masalah siapa yang bikin, melainkan soal kepekaan, kepedulian dan kemampuan menangkap makna yang terkandung dalam bunyi,” begitu ujarnya.
Jika mereka para kaum raksasa tidak mampu dan mau benar-benar menjangkau sosok Slamet Abdul Sjukur, ijinkan kami yang mempersembahkan seluruh rangkaian acara ini untuk lebih dalam mengenal sosoknya, pemikirannya, perjalanannya, perjuangannya dan karya-karyanya.
Saya sampaikan terima kasih yang luar biasa kepada seluruh donator yang bersedia membantu dan mendukung hingga acara ini bisa terlaksana. Terima kasih kami sampaikan juga untuk STKW, Perpustakaan Bank Indonesia dan Wisma Jerman yang berkenan memberikan atapnya untuk penyelenggaraan acara ini. Juga tidak lupa terima kasih kepada seluruh sponsor pendukung, media partner, para musisi (Ensamble Kyai Fatahillah dan Ika Sri Wahyuningsih) dan tentu saja seluruh panitia pendukung acara ini bersama tim Ayorek! yang bersedia menyisihkan kesibukannya sejenak untuk mewujudkan ini semua, saya sampaikan terima kasih banyak yang tak terhingga.
Kumpulan essai Sluman Slumun Slamet tidak akan diterbitkan jika seorang Erie Setiawan bersama tim Art Music Today tidak menggarap marathon buku ini. Kehadiran Suka Hardjana juga menambah spirit luar biasa, dengan ceramah marathonnya tentang SAS ; para sahabat SAS, Gatot Danar Sulistiyanto, Iwan Gunawan, Hanafi dan Natalini Widhiasi yang akan berbagi pengalaman dan pandangannya mengenai SAS, juga mas Piet Hein yang selalu setia mendukung kami dan SAS dalam banyak hal, Terima kasih!
Saya sampaikan selamat datang di acara Sluman Slumun Slamet : 79 thn Slamet Abdul Sjukur. Menikmati pemikiran yang mendahului jamannya, membaca bunyi yang mampu berbicara sendiri melebihi maknanya.
Selamat ulang tahun Eyang, hormat dan sayang kami selalu…
Tulisan ini dibuat untuk perayaan Sluman Slumun Slamet: 79 th Slamet Abdul Sjukur, yang digelar selama 15 – 21 Juni 2014 di Wisma Jerman, Perpustakaan BI, dan STKW Surabaya. Untuk jadual dan informasi acara, kunjungi: http://ayorek.org/playground/SlumanSlumun