Setelah hujan mereda, penonton berkerumun maju, berhimpitan menunggu Float tampil. Sebagian fotografer yang hendak berburu mulai berbaris tepat di bibir panggung, mengecek eksposur dan menimbang lensa apa yang akan dipilih. Malam itu, Float menjadi semacam obyek langka yang patut diabadikan.
Float adalah sebuah kelompok musik beraliran folk yang didirikan oleh Hotma “Meng” Roni Simamora (vokal), Windra “Bontel” Benyamin (gitar), dan Raymond Agus Saputra (bass). Pada gelaran Folk Music Festival (FMF) 2014 kemarin, merupakan kali kedua bagi Float manggung di Surabaya. Sebelumnya mereka pernah bermain dalam sebuah gig kecil dengan penonton terbatas, itu pun sudah lama sekali. Kali ini, Float kembali sebagai penampil utama yang menyedot banyak pengunjung. Lagu-lagu Float yang berlirik sederhana membuat pengunjung FMF bernyanyi bersama dalam sebuah koor massal. Mulai dari nomor lawas “Stupido Ritmo”, “Surrender”, “Sementara” hingga yang terbilang anyar “Songs of Seasons”. Hampir seluruh lagu andalan Float dimainkan dan penonton pun bubar dengan damai.
“Nggak nyangka, Surabaya berhasil menjadi pionir dari acara musik folk di Indonesia. Yang kami tahu, event musik ‘gila’ lebih sering tercetus dari Jakarta. Sedangkan Surabaya lebih terkenal dengan musik cadas ala Powermetal, Andromeda, dan musik rock lainnya,” kata Bontel. “Ini keren, ini berani, dulu Surabaya adalah kota barometer rock, bisa jadi setelah ini Surabaya menjadi kota barometer folk,” lanjut Meng.
Pandangan bahwa Surabaya adalah kota musik cadas memang sudah melekat kuat di benak banyak orang. Tidak lain, ini merupakan imbas dari keberhasilan Log Zhelebour dalam melejitkan pamor musisi rock di era 70-an, antara lain Rollies, SAS, God Bless, Power Metal hingga generasi sesudahnya seperti Boomerang, Jamrud, dan Andromeda. Perusahaan rekaman Logiss Record milik Log yang berada di Surabaya menambah kesan bahwa Surabaya adalah inkubator musik cadas terbaik di Indonesia.
Namun, bila ditilik ulang, sebetulnya Surabaya juga menjadi lahan subur bagi perkembangan musik folk yang berakar balada. Sebut saja Franky Sahilatua, Leo Kristi, hingga Gombloh yang menjadi penanda awal munculnya folk di Indonesia. Dengan semangat trubadur, mereka membawakan kisah-kisah tentang kehidupan masyarakat kelas bawah, lingkungan hidup, hingga semangat kebangsaan dengan lirik yang sederhana.
Hari ini, Surabaya kembali diramaikan oleh berbagai musisi yang mengangkat folk dan variannya sebagai gaya bermusik. Kelahiran kembali folk di Surabaya ini tampaknya yang direspon oleh SATS COOP. divisi kreatif dari Soledad & The Sisters Co. untuk membuat FMF yang dihelat di Surabaya Town Square pada tanggal 15-16 Maret 2014 lalu.
Dengan menggandeng Institut Français Indonesia (IFI) mereka juga mendatangkan Brigitte. Band asal Prancis yang beranggotakan Aurelie Saada dan Sylvie Hoarau ini lebih spesifik bermain pada genre indie folk dan chansons francaise, salah satu genre yang kental dengan ciri khas musik Prancis. Sedangkan penampilan mereka sepertinya mendapat pengaruh gaya jazz era 50-an dan disko gemerlap ala Saturday Night Fever. Meski tidak mudah bagi penonton untuk mencerna musik francophone, tapi melihat penampilan mereka saja rasanya sudah senang. Terutama bagi penonton pria.
Sebelum Brigitte, panggung FMF hari pertama sudah dibuka terlebih dahulu oleh Ajèr dan Silampukau. Keduanya merupakan kelompok musik folk yang terdepan di kotanya masing-masing. Ajèr berasal Malang yang nuansa bluegrass-nya selalu mengingatkan saya kepada Mumford And Sons. Single mereka seperti “Pena Hitam” dan “Screen on My Cellphone” sangat menarik untuk disimak.
Setelah penampilan Ajer, malam semakin larut dan Silampukau bertandang. Ya, band folk asal Surabaya yang beranggotakan Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening saat ini sedang bangkit dari masa vakumnya. Penampilan mereka melepas kangen para penggemar yang sudah menunggu lama. Selain membawakan lagu lama, Silampukau juga menampilkan beberapa gubahan baru. Salah satunya adalah “Doa 1” yang merupakan materi baru untuk mengisi album mereka yang bakal rilis. Lagu tersebut bercerita tentang nasib musisi dan cita-cita yang tak kunjung dipeluk dewi fortuna.
Malam akhirnya ditutup dengan penampilan dari Angsa dan Serigala yang makin liar memainkan nada-nada. Band yang berasal dari Bandung ini tidak mengolah irama Sunda yang meninabobokan, tapi musik easy listening yang mudah diikuti oleh para pengunjung. Angsa dan Serigala mampu menutup FMF hari pertama dengan sangat megah dan gema yang susah dilupakan.
Hari kedua FMF tak kalah seru, penampilan pertama dibuka dengan band folk manis asal Surabaya yaitu Senandung Sore. Dilanjutkan dengan penampilan Taman Nada, band folk yang akhir tahun lalu mengadakan tur keliling Jawa bersama Cotswolds ini hadir dengan lagu andalan mereka berjudul “Pulang”. Di mana versi rekamannya mengingatkan kita pada hangatnya minum teh di beranda rumah ketika senja tiba.
Tapi, penonton tak segera beranjak pulang. Karena setelah hangatnya suara Taman Nada, giliran Tigapagi yang membuai telinga para penggila folk yang hadir di Surabaya Town Square malam itu.
Nama Tigapagi sebenarnya diambil ketika beberapa personil mereka selalu mendapatkan inspirasi sesaat menjelang pagi, yaitu sekitar jam tiga pagi. Pemikiran yang logis dan manis. “Inspirasi kami datang ketika mendengar suara alam, musik klasik, dan eksplorasi musik instrumen, banyak mah kita, semua inspirasi mencuat pada jam-jam galau yaitu pukul tiga pagi”, ujar Sakti sebagai bassist dan gitaris Tigapagi. Band yang baru saja merilis album bertajuk “Roekmana Repertoire” ini membawakan tujuh lagu bersama Tesla Manaf sebagai gitaris, salah satu lagu andalan mereka adalah “Erika” dan “Alang-Alang”. Saat Tigapagi diatas panggung, hujan rintik mulai datang, membuat suasana semakin syahdu dan penonton semakin rapat mendengar lagu dari Tigapagi. Sayangnya kesyahduan Tigapagi agak terganggu dengan teriakan para penggemar Chelsea yang malam itu juga memenuhi Surabaya Town Square.
Di sela-sela acara juga terdapat Record Store Day yang dikurasi oleh Aldo Samola dan Gagah Diorama. Acara ini melibatkan beberapa kawan dari Surabaya, Malang, bahkan Yogyakarta. Record Store Day dimaksudkan untuk merayakan budaya record store yang dikelola secara independen. Tanpa membentuk sebuah perusahaan yang besar sebenarnya masyarakat sudah dapat membuat record store sendiri. Hal ini mengingatkan saya terhadap fenomena toko CD Aquarius yang jatuh bangkrut beberapa tahun silam.
Bersebelahan dengan areal Record Store Day, dipajang pula lima karya ilustrasi yang menjadi partisipan dalam Folk Art Exhibition. Mereka adalah Rosiana Ayu, Elang Cakra, Erwan Priyadi, Oldy Pandu Nugraha, Bagussatya Nasyid Mahendra, dan Diah Asri Safitri. Masing-masing perupa membuat karya yang mewakili atau terinspirasi dari sebuah lagu folk. Salah satunya adalah milik Rosiana Ayu yang karyanya memvisualisasikan sebauh lagu milik Bon Iver, band beraliran folk/southerns rocks dari Amerika Serikat.
Pertunjukan di atas panggung dilanjutkan oleh Stars and Rabbit asal Yogyakarta. Penampilan mereka selalu minimalis namun dinamis dan tentunya menggemaskan. Apalagi dengan ditambahnya suara Elda yang imut ala Emilia Torrini seperti candu bagi telinga untuk terus mendengar suaranya. Kali ini Stars and Rabbit tampil lebih anggun dan dramatis dengan beberapa tambahan efek field recording, keyboardist, dan bass drum yang dimainkan oleh Adi Widodo sebagai gitaris.
Sebagai festival pertama yang merayakan musik folk, FMF patut sekali diapresiasi. Terutama karena Surabaya memiliki sejarah yang panjang terkait dengan perkembangan musik folk di Indonesia. Sudah sepantasnya bahwa festival ini perlu dipikirkan keberlanjutannya, sehingga tidak hanya menjadi ajang bersemangat one hit wonder. Sekali berarti, sudah itu mati. [dby/ap]