Kedua tiang pantograf itu tampaknya tak peduli akan keramaian di jalan Rajawali yang mengitari mereka setiap harinya. Tak terlihat pula tanda-tanda akan menyerah pada perubahan jaman. Kedua tiang itu hanya berdiri kokoh di sana. Setelah 44 tahun tak dialiri listrik, tiang pantograf itu menjadi satu dari sedikit peninggalan kejayaan trem uap dan trem listrik yang pernah malang-melintang di kota Surabaya sejak lebih dari satu abad silam. Tiang yang pernah menjadi penyalur listrik untuk trem ini menjadi titik awal cerita tentang trem di masa lalu, yang akan ditelusuri melalui peningalan-peninggalan yang masih ada.
Kepulan asap di Jalan Diponegoro
Trem uap adalah trem yang pertama hadir di Surabaya sekaligus yang terakhir ditutup pada tahun 1975. Trem ini berangkat dari stasiun trem Wonokromo melewati jalan-jalan yang sekarang bernama Jalan Diponegoro – Jalan Arjuno – Pasar Turi – Kebun Rojo – Cantikan – Ampel – Benteng dan berakhir di Pangkalan AL Ujung. Sedangkan jalur ke selatan mengarah ke Gunungsari hingga Karangpilang dan berakhir di Tarik, Mojokerto. Di Karangpilang terdapat satu-satunya halte trem yang masih utuh di Indonesia. Sebuah bangunan memanjang minimalis bergaya art nouveau yang sekarang menjadi toko jual pulsa HP dan toko meracang(toko kelontong).
Trem uap masih cukup banyak ditemui peninggalannya. Sebuah areal luas di bilangan Waringin dekat Terminal Joyoboyo adalah bekas depo trem uap dan trem listrik. Sebuah bangunan besar seperti gudang dengan dinding beton yang mulai tergerus lumut itu adalah tempat dimana trem uap diperbaiki. Satu bangunan lagi, dengan tulisan “ANNO 1913” adalah tempat trem uap beristirahat setelah seharian bekerja melayani penumpang. Suara pukulan palu dan desis las para mekanik trem telah berganti menjadi kesunyian diantara mobil-mobil pribadi warga sekitar yang areal luas ini sebagai lahan parkir berbayar.
Dua pasang rel ukuran R25 tampak menyembul di atas sebuah gorong-gorong di Jalan Diponegoro 50 meter dari Rumah Sakit RKZ. Baut-baut dan mur nya masih lengkap seperti masih yakin mampu dilewati lokomotif B12 yang salah satunya masih bisa terlihat sebagai monumen di Stasiun Pasar Turi. Kepulan asap B12 yang khas tak pernah terlihat lagi di sepanjang jalan Diponegoro hingga Jalan Arjuno, jalur rel itu telah berganti dengan jalur hijau dan sebuah jembatan layang di Pasar Kembang.
Trem uap masih terus melaju melalui Jalan Semarang, Pasar Turi, Kebun Rojo, Semut hingga Ampel dan berakhir di Ujung. Teringat juga sesaknya gerbong trem oleh rombongan para santri dan kiai yang akan ziarah ke makam Sunan Ampel saat bulan puasa atau cerocos kasar para pelaut Belanda yang baru tiba di pangkalan Ujung. Dimana-mana terdapat bekas rel yang masih menyempul dari timbunan aspal seperti di dekat Bank Mandiri Kebon Rojo, Jalan KH Mas Mansyur dan di jalan masuk Lantamal Ujung. Rel-rel itu masih ada di sana, menunggu untuk dilewati trem uap lagi….
Membelah Jalan Darmo menuju Jembatan Merah
Stasiun trem Wonokromo Kota adalah ground zero bagi sejarah transportasi trem di Surabaya. Di sebuah bangunan berbentuk panjang khas stasiun kereta api yang berada tepat di seberang utara Terminal Joyoboyo, adalah satu-satunya tempat dimana trem uap dan trem listrik berbagi tempat selama masa aktifnya. Dari Wonokromo Kota ini dimulai Lyn 1 trem listrik yang melayani rute Wonokromo – Jembatan Merah.
Jalur Wonokromo – Jembatan Merah merupakan jalur tersibuk dan terpanjang dari semua jalur trem listrik yang ada. Jalur ini dilayani oleh 13 pasang wagon trem listrik. Satu pasang terdiri dari 2 wagon trem dan terkadang ditambahkan satu gerbong terbuka untuk angkutan pedagang ke pasar di pagi hari. Hiruk-pikuk penumpang dari kalangan pemerintahan, pegawai swasta, anak sekolah, pedagang semua berdesakan dalam wagon trem setiap harinya.
Pada masa kolonial, penumpang trem dibagi menjadi kelas 1 untuk warga Belanda, dan kelas 2 untuk warga pribumi. Setelah diambil alih pemerintah RI, kelas penumpang trem listrik hanya dibagi berdasarkan harga tiket. Tiket untuk kelas 1 seharga 15 sen, dan kelas 2 seharga 10 sen.
Saksi bisu dari jalur ini terlihat pada sisa-sisa rel berpenjepit khas trem listrik yang tampak di sepanjang Jalan Kepanjen tepat di seberang Gereja Katedral dan Sekolah Katolik Frateran. Rel ini lalu berbelok ke arah Jalan Veteran, yang lengkungan relnya masih terlihat di samping Mapolwiltabes Surabaya.
Satu spot unik dari jalur ini ada di Kebun Rojo, mengingatkan kita pada Bumi Manusia, buku pertama trilogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer. Di sini jalur kembar ini harus berpisah lagi. Satu jalur jalan lurus ke Jalan Veteran dan yang satu membelok ke depan Kantor Pos Kebun Rojo (bekas sekolah HBS), tempat Minke dari Bumi Manusia bersekolah dulu. Di sinilah jalur trem listrik dan trem uap bersilangan. Bayangkan betapa eloknya pemandangan kota jika keduanya masih aktif. Persilangan ini dahulu diatur oleh seorang petugas. Uniknya tak pernah satupun terjadi tabrakan antara trem uap dan trem listrik di sini.
Bezoek ke CBZ naik trem.
Tak ada yang tersisa dari halte Goebeng Boulevard. Halte yang kini berada di depan restoran Ayam Goreng Suharti itu telah berubah jadi taman bermain anak-anak. Tak banyak bekas trem listrik yang bisa ditemukan di Jalan Gubeng selain jalan raya yang cukup lebar yang dulunya pernah mengakomodasi jalur trem di tengahnya.
Halte di depan Stasiun Gubeng telah berubah menjadi restoran makanan Jepang. Selanjutnya trem berjalan di atas jembatan kokoh rancangan arsitek C.Citroen yang sekarang dikenal sebagai Jembatan Monkasel. Lyn ini adalah rute yang dilalui oleh para dokter, perawat dan keluarga pasien yang akan berkunjung (bezoek) ke Rumah Sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis). Seperti juga jalur trem di depannya, rumah sakit ini juga telah hilang berganti dengan pusat perbelanjaan bernama Surabaya Plaza.
Lyn 2 yang berjalan dari Gubeng ke Jembatan Merah ini akhirnya menyatu dengan Lyn 1 di perempatan Jalan Pemuda dan Jalan Panglima Sudirman, untuk kemudian jalan terus ke Jembatan Merah.
Cara membedakan trem listrik dari rute yang berbeda cukup dapat dibedakan dengan membaca papan nama yang berada di bagian depan dan belakang trem. Cara penggunaan nama di bagian depan dan belakang juga istilah “lyn” konon diwariskan pada transportasi bemo di Surabaya hingga sekarang.
Ke Perak
Hingga tahun 1990-an di jalur hijau sepanjang Jalan Perak Barat dan Jalan Perak Timur ini masih terlihat double track dari jalur trem listrik Lyn 4 yang melayani Jembatan Merah – Tanjung Perak. Sekarang yang ada tinggal sepotong rel yang menggantung di atas selokan dekat pos polisi dan dua tiang pantograf di Jalan Rajawali yang diceritakan di awal tulisan tadi.
Para penumpang di jalur Lyn 4 kebanyakan adalah penumpang kapal laut yang akan berangkat naik kapal di Pelabuhan Tanjung Perak. Ramainya penumpang di jalur ini terjadi saat pagi dan siang hari. Para penumpang yang memenuhi trem di jam-jam tersebut adalah para pekerja galangan kapal dan pelabuhan Tanjung Perak. Wajah-wajah lelah para pekerja pelabuhan, pegawai PELNI dan para buruh angkut yang memenuhi bus DAMRI jurusan Perak di setiap sore seakan menjadi cerminan dari kondisi penumpang trem listrik Lyn 4 di masa lalu.
Rute ini memiliki keunikan karena berpotongan dengan rel kereta api di tiga titik sepanjang jalurnya. Persilangan – persilangan seperti ini menunjukan betapa Surabaya di masa lalu adalah sebuah kota yang disaling-silang oleh ular besi nyaris di semua sudut kota. Bahkan dapat dikata sendi kehidupan Surabaya bergantung pada aktivitas yang berlalu lalang di atas sabuk-sabuk besi ini.
Pulang ke Rumah di Sawahan
Dua bangunan besar memanjang di ujung Jalan Tidar itu masih menunjukkan keperkasaannya walau kini telah dipadati pemukiman di sekelilingnya. Masih dapat pula kita temukan tulisan stensil “SOERABAIA” pada dinding asbes bangunan ini. Dua bangunan berbentuk gudang besar itu sejatinya adalah Depo Trem Sawahan, tempat semua armada trem listrik memulai hari-hari sibuk di jam 5 pagi setiap harinya dan kembali jam 10 malam. Depo trem ini pada masa jayanya memiliki 12 jalur untuk perawatan dan perbaikan. Semuanya kini tak berbekas berganti menjadi gudang penyimpanan usaha yang konon berstatus sewa ke PT KAI.
Sawahan juga menjadi titik awal dari jalur Lyn 3 yang melayani Stasiun Gubeng – Sawahan. Rute ini berada satu jalur dengan Lyn 1 dan 2 sebelum akhirnya berpisah di persimpangan Tunjungan – Embong Malang. Tumpukan rel diantara lapak-lapak tukang stempel dan stiker di Jalan Embong Malang menjadi bukti adanya jalur trem pernah lewat di jalan ini dahulu kala.
Persilangan dengan jalur trem uap di Jalan Arjuno sudah lama tiada. Tak ada tanda-tanda yang nampak di sepanjang Jalan Tidar, walau terkadang lubang jalan di tengah jalan kala musim hujan terkadang memunculkan kembali rel-rel ini. Tiang-tiang pantograf yang sempat menjadi tiang lampu jalan paska trem listrik dihentikan operasionalnya juga telah lenyap. Antrean anak-anak sekolah Don Bosco yang menunggu trem di Halte Tembok Doekoeh digantikan antrean mobil mewah pribadi yang mengantar mereka.
Rumah-rumah bergaya art deco dengan papan bertanda “ASET PT KAI” di sekitar Depo Trem Sawahan menjadi petunjuk bahwa di sana terdapat peninggalan penting dari PT KAI. Batangan-batangan rel yang telah beralih fungsi sebagai akses masuk rumah di atas selokan menjadi penjelas dari keberadaan Depo Trem Sawahan.
Sang penjaga nyala api
Jejak kejayaan trem listrik di masa lalu tak hanya diceritakan melalui peninggalan-peninggalan benda mati yang tersebar di kota Surabaya. Masih banyak keluarga atau keturunan dari pelaku trem listrik yang tinggal di pemukiman tepat di sisi timur Depo Trem Sawahan. Tidak banyak yang tahu bahwa diantara penduduk itu ada saksi hidup yang tak pernah lelah bercerita tentang masa jaya trem listrik.
Sosok itu bernama Abdul Azis. Cara beliau bertutur membuat kita tak percaya bahwa ia telah berusia 90 tahun. Bapak Abdul Azis adalah satu-satunya motoris atau pengemudi trem listrik yang masih hidup. Bagi generasi sekarang yang tak pernah mengalami era trem listrik, Pak Abdul Azis dan trem listrik bagaikan satu kesatuan. Sebagian besar bahan dalam tulisan ini berasal dari cerita pengalaman Pak Abdul Azis.
Pak Abdul Azis masih mengingat saat harus menghalau copet dari trem. Para pencopet itu sering naik dari Toko Metro di Jalan Tunjungan. Pak Abdul Azis selalu memaksa para pencopet turun dari trem sebelum sempat beraksi. Pak Azis juga masih ingat cara mengemudi trem dan cara mengerem yang mengeluarkan suara dengungan khas trem kala itu. Beliau juga mengenang bahwa trem listrik tak pernah sekalipun mengalami kekurangan pasokan listrik.
Pak Abdul Azis memiliki pengalaman tak terlupakan saat trem yang dikemudikannya menabrak sepeda motor sespan Harley Davidson yang dikemudikan seorang polisi lalu lintas. Kejadian di Lyn 4 Jalan Perak ini membuat sang polisi terpental bersama sepeda motornya masuk ke selokan. Insiden ini sempat membuat Pak Abdul Azis dipanggil atasan sang polisi di Mapolwiltabes Surabaya. Bukannya mendapat teguran, Kepolisian malah meminta maaf karena tindakan ceroboh anggotanya.
Sesekali Abdul Azis menitikan air mata mengenang rekan-rekan sesama motoris trem yang kini semua telah tiada. Sesekali beliau geram mengingat banyaknya fasilitas bangunan dan jalur trem yang telah dijual PT KAI dan telah beralih fungsi menjadi bangunan lain. Beliau juga sedih saat trem akhirnya harus diberhentikan dan kereta tremnya dibesituakan.
Rupanya Pak Abdul Azis masih ingin menyelamatkan beberapa benda dari trem untuk mengenang eksistensi trem listrik di Surabaya. Terdapat dua pintu kamar dalam rumah Pak Abdul Azis yang sejatinya adalah pintu trem listrik yang beliau ambil saat trem dibesituakan. Melihat dua pintu ini serasa seperti melihat gerbang dari mesin waktu. Saat berada di depan pintu dan membukanya, terasa suasana riuh penumpang trem…
Mereka berdesakan di pintu, bergantungan tangan dan duduk saling berhadapan. Plafon di atas tempat duduk dipenuhi iklan-iklan Unilever, Pamolive atau Lindeteves Stockvis. Kondektur berjalan diantara penumpang menarik karcis. Baru saja trem meninggalkan pertigaan Tunjungan –Genteng Besar. Di depan tampak Pak Abdul Azis di kursi pengemudi, kali ini ia tampak 58 tahun lebih muda. Tangan kanannya bersiap di tangkai rem, bersiap menggunakannya saat berhenti di halte Siola.
This post is also available in: English