Kota Kreatif: sejarah dan tantangannya

Apa sih itu kreatif? Bukankah semua orang dan industri pada dasarnya (harus) kreatif untuk bertahan hidup? Lantas dari mana embel-embel "kreatif" ini muncul dan ditampol di industri, ekonomi dan kota "kreatif"? Sebelum kita menelan ataupun menolaknya mentah-mentah, ada baiknya kita memahami sedikit konteks munculnya tema kreatif ini, dan berbagai tantangan yang dihadapinya.

Desain, Kota · 5 August 2013 · Keywords: ·
IMG_2011

Sekitar dasawarsa terakhir ini, semakin banyak kita dengar gema tema kreatif: kota kreatif, industri kreatif, ekonomi kreatif. Di Surabaya, dengar-dengar konsep ini pun sedang dalam proses diterapkan, meski mungkin bukan untuk pertama kalinya diupayakan. Tapi sebenarnya apa sih itu kreatif? Di tengah hingar bingar kampanye, slogan, konferensi, iklan ataupun keluhan tentang konsep “kreatif” ini, ada baiknya kita menelusuri sejarah asal usul konsep ini. Tulisan ini bermaksud memberi gambaran secara garis besar, sejarah asal-usul tema industri, ekonomi dan kota kreatif dan tantangannya untuk memberi pemahaman yang (sedikit) lebih jernih, tanpa bermaksud membuatnya sebagai yang paling benar. Silakan mengomentari, bertanya, memberi masukan di kolom di bawah!

Sejarah

1944 – Industri Budaya

Dipopulerkan di kalangan akademisi melalui kritik Adorno dan Horkheimer The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception (1944). Dari culture industry, ini kemudian berubah menjadi cultural industries, untuk menunjukkan kemajemukannya.

Juga karena muncul pergeseran wacana yang dikembangkan akademisi lain seperti Walter Benjamin dan Bernard Miège, yang mengatakan bahwa penyatuan budaya dalam kerangka kapitalis itu adalah suatu ajang tanding dan negosiasi, bukan sekedar kekalahan atau kooptasi pada kapitalisme. Kapitalisme, dengan sumber daya dan teknologi, dapat mendukung proses kreatif.

Akhir 1980 – Kota Kreatif

Charles Landry, satu pendiri think tank Comedia di Inggris, menelurkan istilah Kota Kreatif dengan bukunya The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators. Baginya, Kota Kreatif adalah “kota yang menciptakan lingkungan yang mendukung orang untuk memikirkan, merencanakan, dan bertindak dengan imajinasi dalam memanfaatkan kesempatan dan masalah kota, mengubah kesempatan menjadi pemecahan.”

Menurut Landry, yang penting adalah keberadaan “piranti keras” (infrastruktur) dan “piranti lunak” (tenaga kerja yang dinamis, fleksibel dan memiliki kemampuan tinggi).

1997 – adopsi pemerintah Inggris

Pemerintah Inggris mengadopsi konsep industri budaya menjadi industri kreatif untuk diterapkan dalam salah satu sektor kebijakan utama mereka

2000an – perluasan dan penerapan masal kebijakan Kota Kreatif

Kota kreatif dan kelas kreatif menjadi populer dan mendunia dengan publikasi Richard Florida The Rise of the Creative Class (2002). Sepengetahuan saya, ini salah satu sumber yang paling sering dikutip-kutip dan dijadikan landasan penerapan kebijakan Kota Kreatif, termasuk di Indonesia. Idenya sendiri sangat catchy dan mudah dicerna. 3T = Teknologi, Talenta, dan Toleransi.

Pada penerapan kebijakan, sering kali muncul dalam bentuk-bentuk tertentu:

  • Peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
  • “Revitalisasi” (atau gentrification) kota tua
  • Branding kota yang menekankan gaya hidup, budaya, dan pusaka (heritage).

Di Indonesia, semenjak 2011, Kementrian Pariwisata dan Budaya diubah menjadi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dengan rujukan utama kebijakan Inggris. Meskipun kebijakan ekonomi kreatif dan Pekan Produk Kreatif Indonesia, sepertinya —kalau tidak salah—sudah mulai digulirkan sejak 2005. Lengkapnya, dokumen kebijakan Kemenparekraf dapat diunduh di http://indonesiakreatif.net


Tantangan

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya label ekonomi/industri/kota kreatif itu permasalahan penerapan kebijakan. Bukan tentang individu, kelas ataupun kota itu sendiri. Tanpa diembel-embeli pun mereka bisa jadi sudah kreatif (atau kata teman saya, kere aktif). Nah, dalam proses penerapannya sejauh ini, ada beberapa kritik terhadap ekonomi, industri dan kota kreatif, yang secara mendasar dapat dirangkum seperti di bawah ini.

1. Ketidakjelasan: apa itu sebenarnya industri kreatif?

Tidak ada konsensus yang jelas sektor apa saja yang termasuk dalam industri kreatif

Yang diterapkan di Indonesia adalah 14 subsektor berdasarkan kategori yang dibuat oleh pemerintah Inggris, meski kemudian kategori kuliner ditambahkan, yaitu: (1) Arsitektur, (2) Desain, (3) Fesyen, (4) Film Video dan Fotografi, (5) Kerajinan, (6) Kuliner (sejak 2008), (7) Teknologi Informasi, (8) Musik, (9) Pasar Barang Seni, (10) Penerbitan dan Percetakan, (11) Periklanan, (12) Permainan Interaktif, (13) Riset dan Pengembangan, (14) Seni Pertunjukan, (15) Televisi dan Radio.

Jika industri kreatif dilandasi oleh kreatifitas untuk menghasilkan produk kreatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan hak milik intelektual dan keuntungan ekonomi:

  • Kenapa mayoritas industri kreatif adalah industri budaya dan media, tapi jarang sekali melibatkan bidang “keras” seperti pengobatan, penambangan, penelitian dan sains?
  • Apakah kreatifitas yang dimaksud di sini adalah budaya, estetika, dan media, bukan teknologi dan ilmiah?
  • Sedikit paradoks: Industri yang bergerak di bidang budaya dan estetika dikuantifikasikan, sementara yang bergerak di bidang teknologi dan ilmiah malah tidak begitu diperhitungkan di dalam kategori ekonomi kreatif.
  • Pada akhirnya, tidakkah semua industri memerlukan kreatifitas untuk bertahan hidup, jadi tidak terbatas pada orang-orang yang ada dalam profesi kreatif saja?

2. Seberapa menguntungkan secara ekonomis “industri kreatif” ini?

Industri kreatif seringkali dikatakan menyelamatkan dan meningkatkan pendapatan. Pertanyaannya adalah, darimana perhitungan keuntungan itu didapatkan? Bagaimana pendapatan ini diukur, ketika subsektornya sendiri tidak jelas? Siapa saja yang pemasukannya diukur di sini?

Mari kita lihat statistik yang dicantumkan pemerintah dalam Studi Industri Kreatif 2007:

Industri kreatif ini memberikan kontribusi PDB pada urutan ke 7 dari 10 sektor yang dianalisis, yaitu rata‐rata sebesar 104,638 Triliun Rupiah pada tahun 2002‐2006, di atas rata‐rata kontribusi sektor: pengangkutan dan komunikasi, bangunan, dan Listrik, gas, dan air bersih. Pada periode 2002‐2006 industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja dengan rata‐rata sebesar 5,4 juta pekerja di atau dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8% serta dengan produktivitas tenaga kerja mencapai 19,5 juta per pekerja tiap tahunnya. Produktivitas tenaga kerja pada sektor ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang hanya mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahunnya.

Jumlah perusahaan yang bergerak di sektor ini hingga tahun 2006 mencapai 2,2 juta, berkisar 5,17% dari jumlah perusahaan yang ada di Indonesia. Pada tahun 2006 ini pula, industri kreatif telah melakukan ekspor sebesar 81,5 triliun rupiah mencapai hingga 9,13% dari total ekspor Nasional.

Angka-angkanya luar biasa, memang. Pertanyaannya: ini dapat angka-angkanya dari mana? Bagaimana mengukur pemasukan desainer? Mau dari desainer yang diliput di majalah-majalah gaya hidup, sampai yang kerja jadi penata letak (layouter) di warnet? (“Cetak murah, desain gratis”?) Siapa saja yang masuk kuliner—mulai dari Farah Quinn sampai PKL? Ya ngga heran aja kalau terlihat tinggi, tapi apa itu menggambarkan nilai pendapatan rata-rata subsektornya?

Selain itu, kita juga cukup familiar dengan masalah “oversupply”—banjir jurusan dan mahasiswa desain, arsitek, fesyen, dsb. Semua diarahkan menjadi entrepreneur atau creativepreneur. Bikin produk wah, kilap-kilap dan mahal. Nah, tapi sehabis lulus, mau kerja di mana? Apakah siap lapangan kerja yang ada untuk menyerap, dan menggaji sesuai ekspektasi utopia kelas kreatif ini? Seberapa banyak pasar mampu menyerap produk-produk tersebut?

3. Apakah kebudayaan malah jadi terabaikan, dan kreatifitas malah terkungkung?

Kita tidak bermaksud menaruh seni dan kebudayaan di menara gading, terpisah dari ekonomi.

Tidak dapat disangkal, sudah semenjak jaman baheula, ada hubungan yang erat antara seni, kebudayaan dan ekonomi. Seniman, budayawan, sebagai “representasi” pelaku seni dan budaya, selalu mengambil bagian dalam sistem pasar, entah sebagai tukang, artisan, ataupun produser budaya dan seni—yang dapat bekerja untuk kepentingan kelas tertentu.

Masalahnya adalah ketika agenda di balik pembangunan sektor kreatif sepenuhnya dibuat berlandaskan perhitungan ekonomi

Kerangka, tujuan kebijakan dan pengukur keberhasilan sepenuhnya dilandasi analisis dan pertumbuhan ekonomi. Kebudayaan dan kesenian kemudian hanya dihargai ketika dapat dipastikan membangun keuntungan ekonomi. Pembangunan industri budaya difokuskan pada yang paling menguntungkan secara ekonomi, dan seringkali malah mengekang dan mengabaikan potensi pertumbuhan sosial dan budaya.

4. Apakah “tenaga kerja kreatif” menjadi utopia yang akhirnya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri?

Konsep tenaga kerja “kreatif” seringkali dibingkai secara sangat utopia, dikaitkan dengan ketangguhan dan kelincahan anak muda, mampu bekerja sendiri, fleksibel, memiliki berbagai kemahiran dan mobilitas tinggi, dengan portfolio yang mengagumkan.

Tapi perlu juga diperhatikan bahwa penekanan pada karakter “kreatif” ini kemudian bisa menjadi bumerang, antara lain:

  • membuat kerentanan atau hilangnya jaminan kerja, pemasukan stabil, akses yang makin berkurang pada pensiun, tanggungan kesehatan, eksploitasi, dan hilangnya perlindungan dari syarikat
  • Kondisi ini tidak terlalu menciptakan masalah bagi tenaga kerja yang memiliki banyak koneksi, jaringan atau modal ekonomi yang baik, tapi bisa makin mengisolasi mereka yang tidak memiliki akses tersebut.
  • Kerja kreatif seringkali membutuhkan mobilitas, jaringan sosial (pertemanan dan kenalan) dan akses informasi. Masalahnya kita tahu sendiri bagaimana buruk dan tidak meratanya infrastruktur transportasi dan komunikasi umum di Indonesia.
  • Utopia wacana “kreatif” yang menekankan “kreatifitas individu” sadar tidak sadar malah mengalihkan perhatian dari kebijakan struktural seperti ketimpangan kondisi hidup, ketimpangan kondisi kerja, dan kesemrawutan fasilitas umum mendasar seperti air bersih, listrik, transportasi, dsb. Padahal ini masalah mendasar yang perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan.

5. Apakah kebijakan industri kreatif mendukung perusahaan besar (dan ahli eksternal) atau mendukung usaha kecil-sedang (dan budaya lokal)?

  • Seringkali, dalam proses pencitraan (branding), orientasi masih pada ahli-ahli dan perusahaan-perusahaan ternama dari luar. Ahli-ahli dari luar seringkali diundang (dan dibayar sangat mahal) untuk menerapkan sesuatu—entah kebijakan ataupun pembangunan—yang tidak peka pada konteks penerapannya
  • Bagaimana dengan ahli-ahli dan perusahaan-perusahaan di kota itu sendiri? Sumber dalam kota seringkali kehilangan platform untuk tampil karena tidak mendapat penghargaan ataupun sumber yang mumpuni di kota sendiri, dan akhirnya hijrah ke kota lain (brain drain)
  • Dampaknya, jika tidak diimbangi,dapat menghilangkan pemahaman dan dukungan terhadap tenaga dan hasil kerja lokal

6. Apakah kreatifitas untuk inovasi dan ekonomi, atau untuk kualitas dan keadilan budaya dan sosial?

Strategi kelas kreatif bisa jadi kurang cocok diterapkan untuk menghidupkan kota yang masih memiliki banyak permasalahan dan ketimpangan sosial ekonomi, karena kebijakan ini seringkali tidak memperhitungkan masalah struktural seperti kemiskinan, kurangnya (atau terbatasnya) lapangan kerja, segregasi etnis, dsb.

Kalimas

Penciptaan ruang-ruang untuk “kelas kreatif” juga memerlukan OB, pembersih toilet, pemulung, PKL, penjaga warung, yang seringkali kurang mendapat tempat dalam pembahasan mengenai kelas kreatif. Yang terjadi malah seringkali warung dan pekerjaan-pekerjaan informal “dibersihkan” karena dianggap tidak sesuai dengan paradigma keindahan kota kreatif. Perlu dipertimbangkan bagaimana pekerjaan-pekerjaan informal ini dapat tertampung dalam kebijakan ekonomi kreatif. Foto: sepanjang Kalimas, oleh Erlin Goentoro

Malah, seringkali kebijakan ini memperparah ketimpangan dengan memperbesar jurang perbedaan antara “Kelas Kreatif” dan “Kelas Jasa” bergaji rendah (low-wage service underclass). Jangan lupa, penciptaan ruang-ruang untuk “kelas kreatif” juga memerlukan OB, pembersih toilet, pemulung, PKL, penjaga warung, yang seringkali kurang mendapat tempat dalam pembahasan mengenai kelas kreatif. Yang terjadi malah seringkali warung dan pekerjaan-pekerjaan informal “dibersihkan” karena dianggap tidak sesuai dengan paradigma keindahan kota kreatif. Perlu dipertimbangkan bagaimana pekerjaan-pekerjaan informal ini dapat diakomodasi dalam kebijakan ekonomi kreatif.

Kebijakan ekonomi kreatif seringkali dibuat dengan harapan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan sosial ekonomi di luar pembangunan ekonomi itu sendiri. Di Indonesia, kalau kita lihat lagi dari perencanaan pengembangan ekonomi kreatif, yang ditargetkan mulai dari pengentasan pengangguran, kemiskinan, hingga pemanasan global, perubahan iklim, dan sebagainya. Tapi bagaimana kita mau mengukur keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah ini hanya dari pemasukan ekonomi dan pariwisata dari city branding?

Jadi mungkin ada baiknya mempertimbangkan parameter yang berbeda dalam mengukur economic returns dan social returns. Industri boleh satu kategori, tapi bedakan—atau lengkapi—alat ukur kreatifitas untuk peningkatan ekonomi dengan alat ukur kreatifitas untuk pengembangan hubungan sosial dan peningkatan kualitas budaya.

7. Dapatkah Kota Kreatif diciptakan?

Konsep Kota Kreatif sedikit banyak menjadi populer karena tulisan Richard Florida The Rise of the Creative Class. Acapkali ini dipahami sebagai area perkotaan di mana kreativitas, pengetahuan dan inovasi berkembang karena adanya lingkungan dan teknologi, terbuka pada perbedaan, dan meningkatkan toleransi. 3T = Teknologi, Toleransi, untuk menarik Talenta.

Tapi kondisi 3T di atas tidak otomatis menarik individu untuk datang. Pertanyaannya, tidakkah orang akan pergi ke kota di mana ada prospek lapangan kerja, bukan sekedar karena keindahan kotanya? (Kecuali kalau untuk keperluan wisata.) Kota seharusnya memfokuskan pada penyediaan kesempatan kerja yang berkualitas dan setara daripada sekedar menjadi kota yang “keren” dari branding dan kulitnya saja. Misalnya dengan:

  • Meningkatkan pertumbuhan ekonomi mendasar
  • Meningkatkan kemampuan (skill), keterhubungan (connectivity) dan akses ke pasar dan lapangan kerja dengan lebih merata
  • Memastikan warga dapat mengakses kesempatan-kesempatan baru
  • Meningkatkan layanan publik utama, seperti transportasi, tempat tinggal, air bersih, sanitasi, listrik
  • Dukungan pendidikan dan pengembangan kemampuan

Kita lihat contoh paling konkrit saat ini: kota Bandung. Bandung sudah dikenal menelurkan berbagai industri dan individu kreatif yang luar biasa. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, apa yang kita saksikan? Warganya pun mengeluh, kota Bandung menjadi semrawut, macet luar biasa menjelang akhir pekan dibanjiri oleh wisatawan Jakarta maupun mancanegara, trotoar dan transportasi tidak terurus, listrik suka mati. Distro-distro yang awalnya dibangun industri-industri kecil mulai hilang, kalah bersaing dengan distro-distro yang dibuat bisnis besar. Banyak pekerja “kreatif”—mulai dari desainer butik hingga desainer pedagang kain di pasar—yang rentan terkena malpraktik seperti hasil karyanya dicuri dan tidak dibayar oleh bisnis yang lebih besar.

Ada baiknya kita memulai dengan membangun pemahaman dinamika industri kecil, menengah, dan besar dahulu untuk memastikan kompetisi, kerjasama dan daya tawar yang lebih sehat, setara dan lestari.

Pada akhirnya, sebagai sebuah kategori, industri kreatif cenderung latah dan kurang membantu karena yang dimasukkan begitu luas, semuanya bisa kreatif tanpa batas, tapi akhirnya malah tidak memiliki parameter analisis ataupun praktis yang jelas. Mau diganti nama pun—menjadi “smart city“, misalnya—percuma, kalau pemahamannya tidak diperjelas dahulu. Akhirnya cuma mengganti kulit dan nama saja tanpa membenahi isinya.

Namun, ini bukan berarti kita harus menolak industri/ekonomi/kota kreatif mentah-mentah. Kalau kita hanya berhenti pada tahap menolak, kita malah mundur, karena kritik seperti ini pun sudah dilakukan seabad yang lalu, bahkan mungkin lebih lama. Sekali lagi, jika Kota Kreatif adalah permasalahan penerapan kebijakan, ada baiknya kebijakan itu memulai dengan memfokuskan pada penciptaan kondisi ekologi dan infrastruktur yang mendukung kreatifitas dan penciptaan kondisi lapangan kerja yang baik. Kalau kita mau mengibaratkan dengan kesehatan manusia, percuma kota mau dibedakin, dipoles, di-branding sebagai kota kreatif, kalau urat nadi dan pembuluh darahnya—atau kebutuhan dasarnya—tidak sehat, dicekoki macet dan ketimpangan sosial ekonomi.