Artikel ini merupakan bagian dari penelitian untuk pengembangan arsip Harjono Sigit, yang akan dipamerkan 1-8 Mei 2015 di Wisma Jerman. Diselenggarakan bekerjasama dengan Kami-Arsitek-Jengki (KAJ) dengan kurator Ayos Purwoaji.
Rumah sederhana di Kampung Peneleh itu terlihat suwung dan biasa saja. Atapnya berbentuk joglo dan pagarnya terbuat dari kayu. Pintunya dikelir tosca dengan aksen kuning muda. Tapi, siapa sangka, pada rumah mungil ini, gagasan tentang Indonesia merdeka dirumuskan dan diendapkan pada jiwa-jiwa muda yang mudah terbakar. Di rumah milik Haji Oemar Said Tjokroaminoto, para pemuda tanggung macam Semaoen, Alimin, Muso, Kartosuwiryo dan Soekarno pernah menumpang indekos. Secara langsung dan tidak langsung, mereka mendapat ajaran melalui sikap dan ideologi bapak semangnya yang sejak lama mengambil sikap mbalelo kepada penguasa kolonial Hindia Belanda. (Film Guru Bangsa Tjokroaminoto akan diputar di seluruh bioskop tanah air pada hari ini, 9 April 2015.)
Pada titik tersebut, kita dapat menyebut HOS Tjokroaminoto sebagai pembaharu, seorang modernis. Ia menyiapkan sebuah generasi yang kelak akan menjadi garda depan dalam perjuangan menuju tanah merdeka melalui pendidikan dan pemikiran yang kritis.
Sikap sebagai seorang pembaharu ini ternyata juga mengalir pada diri Harjono Sigit, anak keenam dari Oetari, putri sulung HOS Tjokroaminoto. Lima puluh tahun yang lalu, Harjono menjadi salah satu orang yang memulai pendidikan arsitektur pertama di Surabaya dan karya-karyanya pun patut dicatat sebagai tonggak awal dalam perkembangan arsitektur modern di Surabaya.
Lahir di Madiun pada tanggal 21 September 1939, mula-mula ia hanya memiliki nama satu kata, Harjono saja. Sedangkan nama belakang “Sigit Bachroen Salam” baru ditambahkannya setelah lulus kuliah. “Itu sebetulnya nama bapak saya,” kata Harjono. Meski begitu, orang-orang di sekelilingnya justru lebih banyak memanggilnya Pak Sigit.
Harjono menghabiskan masa kecil hingga tamat SMA di kota kelahirannya. Sesekali waktu, ia mengunjungi rumah saudara di Surabaya. Sebuah kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung bertingkat tiga atau empat yang megah dan indah. Harjono mengingat, pada masa itu ada beberapa biro arsitek yang sudah membuka praktik di Surabaya, seperti NV. Tiekind dan Architecten Ingenieur Aannemer (AIA). Kekaguman terhadap rupa bangunan, ditambah kegemarannya menggambar sejak kecil, menuntun Harjono Sigit untuk mengambil kuliah di bidang arsitektur selepas SMA. Pilihan untuk bersekolah arsitektur saat itu pun hanya satu, yaitu Technische Hoogeschool te Bandoeng yang sekarang berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung.
Selama berkuliah, Harjono Sigit mendapat pendidikan tentang arsitektur modern, sebuah gaya yang saat itu memang sedang mengemuka dan menjadi wabah di seluruh dunia. Namun di sisi lain, ia juga mendapat pendidikan tentang pentingnya arsitektur tropis yang mengindonesia.
“Dahulu, yang paling menekankan tentang pentingnya arsitektur tropis adalah Prof V.R. Van Romondt,” ingat Harjono. Van Romondt adalah seorang dosen berkebangsaan Belanda yang juga pengarsip arsitektur Nusantara. Ia berambisi untuk menciptakan “Arsitektur Indonesia”, yaitu sebuah gaya yang berakar pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Kelak pada penyatuan kedua pemikiran tersebut, modern-tropis, akan melekat dan mewujud dalam gagasan berarsitektur Harjono Sigit.
Mendirikan Arsitektur ITS
Selepas lulus sarjana pada bulan Maret tahun 1964, Harjono lekas kembali ke Jawa Timur. Pertimbangan utamanya saat itu adalah kebutuhan akan profesi arsitek di Surabaya sangat tinggi. “Arsitek saat itu dicari-cari pekerjaan, bukan arsitek yang mencari pekerjaan,” kata Harjono. Maka, ia pun berkongsi dengan kakaknya untuk mendirikan sebuah biro konsultan perancangan dengan nama CV. Bina Wisma yang saat itu berkantor di Jl. Pucang Anom Timur no. 11.
Pada saat yang sama, tawaran lain datang dari rekan sejawatnya di ITB, Ir. Djelantik, yang saat itu mengemban tugas dari Rektor ITS sebagai ketua Panitia Pendirian Fakultas Teknik Arsitektur ITS. Harjono menerima tawaran untuk masuk sebagai tim formatur yang bertugas untuk menjajaki kemungkinan diselenggarakannya pendidikan arsitektur pertama di Surabaya. Mereka pun bergerak gesit, menghimbau para arsitek muda yang bekerja di berbagai jawatan pemerintah seperti PU Bina Marga, PU Cipta Karya, Pelabuhan Tanjung Perak, kepolisian, dan kantor pendaftaran tanah, untuk ikut mengajar.
Setelah mendapat kesanggupan dari para calon pengajar, maka usulan pendirian Fakultas Teknik Arsitektur ITS pun segera dilayangkan pada Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Sembari menunggu turunnya surat keputusan, Harjono dan kawan-kawan sudah memulai menjalankan aktifitas pendidikan arsitektur sejak tanggal 1 September 1965.
Saat itu, mereka menempati Gudang PT. IMACO di Jalan Undaan Kulon yang sangat sederhana sebagai lokasi mengajar. Harjono ingat betul bagaimana kondisi kelas perkuliahan pada saat itu. “Pada siang hari, udara di dalam kelas bisa menjadi sangat gerah karena atap gudang yang terbuat dari seng mudah menyalurkan panas. Dinding kelas pun terbuat dari anyaman bambu dengan alas lantai berupa plesteran semen,” kisah Harjono. Belakangan, turut bergabung pula Ir. Johan Silas, Ir. Setiadi, Ir. Sunjoyo dan Ir. Harry Winarno Kwari sebagai tenaga pengajar dan kemudian diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun, belum sampai sebulan mengajar, pecahlah peristiwa G30S/PKI (Gestok). Kegiatan perkuliahan angkatan pertama pun terganggu dan harus dilaksanakan selama satu setengah tahun.
Karya Arsitektur
Sebagai seorang arsitek, Harjono dikenal gemar melakukan eksperimentasi bentuk dan struktur. Karya-karyanya mewakili arus besar gaya arsitektur paruh pertama 1970an dan banyak dipengaruhi oleh arsitek Amerika Latin. Ciri-cirinya, nampak dari dominasi penggunaan brise-soleil (sunscreen), geometri yang tegas, dan repetisi pada fasad bangunan. “Pada saat itu, saya banyak mendapat pengaruh dari arsitek modern seperti Le Corbusier, Oscar Niemeyer, Marcel Breuer, atau Mies Van der Rohe,” kata Harjono. Dan pengaruh tersebut menjadi lebih kaya setelah Harjono mengikuti kursus singkat STAGE di Perancis pada tahun 1970.
Salah satu karya Harjono yang dekat dengan masyarakat Surabaya adalah Pasar Atum yang dirancang pada tahun 1977. Pada rancangan pasar modern ini, Harjono melibatkan beberapa inovasi struktur yang belum pernah ada di Surabaya sebelumnya.
Pada pintu masuk Pasar Atum, Harjono membuat sebuah atap berstruktur payung hypar (hiperbolic paraboloid) yang diinspirasi oleh arsitek Meksiko, Felix Candela. Perhitungan struktur atap ini dikerjakan sendiri oleh Harjono dengan sangat cermat dan sempat membuat bingung para kontraktor yang mengerjakannya. Kebingungan mereka muncul karena pada masa itu desain payung hypar terasa asing dan belum pernah ada di Surabaya. Bagaimana bisa dua buah tiang balok yang ramping mampu menanggung atap payung beton yang lebar?
Sebetulnya, enam tahun sebelumnya Harjono sudah mencoba membuat eksperimentasi yang sama, dengan membuat struktur payung hypar di muka Kampus ITS Baliwerti. Saat itu ukurannya jauh lebih kecil, hanya 6×6 meter saja. Karena terbukti berhasil, maka ia pun tertarik untuk membuat yang lebih besar pada pintu masuk Pasar Atum.
Sedangkan di sisi sebelah utara Pasar Atum, Harjono merancang sebuah tangga menggantung berbentuk petir. Tangga ini sangat menarik karena Harjono melakukan permainan struktur yang bisa membuat tangga ini terlihat menggantung. Seakan melayang tanpa perlu disangga. Bisa jadi, desain tangga ini diinspirasi oleh rancangan Maison Dom-Ino (1914) karya Le Corbusier. Sayangnya, rancangan Maison Dom-Ino hanya selesai di atas kertas dan tidak pernah terwujud hingga perancangnya meninggal dunia. Di Surabaya, ribuan mil dari Swiss, Harjono menerjemahkan gagasan Le Corbusier di Pasar Atum. Ia memodifikasi desain dan strukturnya sehingga terasa lebih canggih. Pada tangga Maison Dom-Ino, anak tangga masih ditopang oleh tiang yang menyatu dengan struktur bangunan, namun pada tangga Pasar Turi, Harjono benar-benar membuatnya melayang, berhadapan dengan struktur gedung. Kemiringan tangga Pasar Atum pun memiliki sudut lebih tajam, sehingga kemungkinan terjadinya robek struktur jauh lebih tinggi.
Selain dikenal atas eksperimentasinya, Harjono juga dikenal sangat rasional dalam berarsitektur layaknya para arsitek modernis. Hal tersebut yang mendorongnya untuk membangun sebuah kolam renang di puncak Pasar Atum. Tujuan utamanya, justru bukan sebagai elemen hiburan, melainkan cadangan air yang dapat digunakan bila sewaktu-waktu terjadi kebakaran.
“Saat itu, Pasar Turi sudah beberapa kali ludes dilalap api, padahal lokasinya sangat dekat dengan markas pemadam kebakaran,” kata Harjono. Dengan alasan itulah, ia mengambil langkah preventif dengan membuat tandon air yang sekaligus berfungsi sebagai kolam renang. “Selain itu, saya juga menghitung radius beberapa kilometer dari Pasar Atum saat itu belum ada kolam renang, jadi ya sekalian saja,” ujar Harjono enteng.
Karya lain yang menjadi pencapaian seorang Harjono Sigit, barangkali adalah Gedung Pusat Penelitian Semen dan Auditorium milik Semen Gresik. Harjono mengerjakan desain gedung ini tepat setelah ia lulus sarjana dan selesai dibangun pada tahun 1965. Bentuknya sangat menarik; berupa dua buah balok massa yang digantung pada sebuah struktur busur bentang lebar. Sebuah pertaruhan yang berani dari seorang arsitek muda yang baru kelar kuliah.
Rancangan busur beton ini bisa jadi memiliki DNA desain dari Palace of the Soviets, sebuah konsep arsitektur yang diajukan Le Corbusier saat mengunjungi Uni Soviet pada tahun 1928. Lagi-lagi desain ini tidak pernah bisa beranjak dari kertas dan tidak pernah dibangun. Harjono, sebagai penggemar Le Corbusier pun akhirnya membuat versi cover-nya. Kebetulan, desainnya cocok dengan kebutuhan yang diinginkan oleh Semen Gresik, yaitu sebuah auditorium yang mampu menampung ratusan orang di dalamnya.
Mendesain sebuah auditorium yang megah bukanlah hal mudah. Seorang arsitek perlu mengeliminasi penggunaan kolom di dalam ruangan agar pandangan bisa lega, di sisi lain, ia harus merancang struktur yang bisa menopang atap gedung yang luas. Harjono memecahkan masalah itu dengan menggunakan struktur busur sebagai penggantung atap auditorium. Selain fungsional, busur beton tersebut juga mengandung unsur estetis yang mempercantik fasad bangunan. Apalagi, bangunan auditoriumnya disangga oleh kolom berbentuk V yang manis, seperti pada bangunan Interbau Apartment House-nya Oscar Niemeyer.
Selain dua bangunan tersebut, sebetulnya Harjono Sigit masih memiliki berbagai macam karya yang menarik untuk ditengok kembali. Seperti Gedung Laboratorium Penelitian Kimia, Jagir (1967), Kantor penggilingan padi PT Mentras, Pasuruan (1967), hingga guest house Perhutani di Jatirogo (1972). Semuanya memiliki tipologi arsitektur tropis yang diolah dalam bentuk modern. Sayangnya, gagasan tersebut tidak banyak dijumpai hari ini. Tidak banyak arsitek yang mau dan mampu menerjemahkan bentuk impor agar sesuai dengan iklim tropis. Klien maunya cepat, yang mirip majalah, yang simpel dan lagi hits. Dan kita segera merindukan ketekunan dan ketukangan dari masa lalu.