Di balik sebotol sambal Bu Rudy

Bu Rudy

Bernama asli IE Lani Siswadi, lahir pada 1953 di Madiun, dan merantau ke Surabaya pada tahun 1970.

Sambal udang yang masyhur

Berawal dari mengolah umpan menjadi udang kering jika Pak Rudy pulang memancing tanpa membawa ikan. Sambal pelengkap dibuat berupa potongan bawang, cabai, garam, dan minyak.

Suasana depot Bu Rudy

Bu Rudy saat itu ditemani sang suami dan cucunya yang kembar tiga, duduk di belakang kasir sambil menyapa sejumlah pembeli terakhir hari itu.

Selalu terlihat segar

"Saya sehatnya luar biasa. Saya jarang makan buah, tidak suka jamu, olahraga juga tidak, tapi hati ini selalu senang.  Setiap hari pukul 05.30 saya sudah ada di sini."

Menjaga kesegaran makanan

"90% saya turun tangan langsung untuk mempersiapkan 40 macam menu yang disajikan di sini. Saya belanja kebutuhan pokok di Pasar Keputran, udang dari supplier di Gresik, dan cabai dari Kediri, semuanya fresh."

Suasana dalam depot

Tetap ramai menjelang jam tutup Depot Masakan Khas Bu Rudy di Jalan Dharmahusada 140.

Menjadi pusat oleh-oleh tanpa embel-embel

"Kalau enak saya berani ngambil, sekarang ada 300 supplier . . . Supplier datang dari berbagai kota di Jawa Timur, Bandung, Solo, dan Yogyakarta."

Rencana ke depan

"Sekarang umur saya sudah tua, jadi anak-anak dan menantu yang akan meneruskan usaha ini. Anak laki-laki yang punya bakat masak seperti saya."

Depot Masakan Khas Bu Rudy di Jl. Dharmahusada 140

Lima cabang lainnya: Raya Kupang Indah 31, Anjasmoro 45, Pasar Atom Tahap I Lt 4 Food Court, Mall Pasar Atom Lt 5 Blok H18, dan Pusat Grosir Surabaya Lt 4 Food Court.

Para pelancong, mengenal Surabaya akan citarasa masakannya yang pedas. Mulai dari rujak cingur, sego bebek, hingga lontong balap. Maka tak heran, sambal kemasan menjadi oleh-oleh otentik yang bisa dibawa pulang oleh pelancong. Sambal kemasan yang paling masyhur dari Surabaya adalah Sambal Udang Bu Rudy.

IE Lani Siswadi, yang lebih dikenal sebagai Bu Rudy, lahir di kota Madiun. Suatu sore di Surabaya Timur menjelang jam tutup Depot Masakan Khas Bu Rudy di Jalan Dharmahusada 140,  Bu Rudy saat itu ditemani sang suami dan cucunya yang kembar tiga, duduk di belakang kasir sambil menyapa sejumlah pembeli terakhir hari itu.

Panganan, Profil · 8 April 2015 · Keywords: ·

Bagaimana dengan masa kecil Bu Rudy di Madiun?
Saya lahir di kota Madiun pada tahun 1953. Masa kecil saya sangat susah di zaman itu. Saya dituntut untuk mencari nafkah, membiayai orang tua dan adik-adik karena aku anak tertua. Dengan Kejadian 1965 membuat kota Madiun tetap sulit setengah mati. Saya putus sekolah. Tahun 1966 Bapak saya meninggal. Semuanya kelabu. Saya bekerja apa saja, bantu-bantu tetangga, memasak, belanja ke pasar. Masa kecil tidak ada masa indah, sulit. Ketidakmampuan itu membuat saya giat bekerja.

Sejak kapan Bu Rudy merantau ke Surabaya?
Tahun 1970 saya merantau ke Surabaya, naik bis jam setengah dua malam, berangkat dengan restu orang tua dan hanya dengan membawa dua baju. Ada saudara di Surabaya yang mengajak saya bekerja di sana. Saya berangkat hanya berbekal tenaga karena hanya sekolah sampai kelas 4 SD. Di Surabaya saya jual tenaga, ikut orang, apapun saya kerjakan asal saya dapat gaji, dan gaji itu saya kirim ke orang tua di Madiun. Saya tinggal di Kapasan Dalam, rumah saudara saya. Saya bekerja sebagai kuli sekaligus bagian penjualan di sebuah toko di Pasar Turi, Pada tahun 1978 Pasar Turi terbakar. Pada tahun yang sama terbakarnya Pasar Turi yaitu 1978, saya menikah di Surabaya dengan Rudy Siswadi, lalu kontrak rumah di Jalan Pandean. Setelah menikah dan mempunyai satu anak, saya kembali bekerja ikut orang di Pasar Turi. Hingga tahun 1983, saya usaha sendiri buka toko sepatu di Pasar Turi. Namun Pasar Turi terbakar hebat untuk kesian kalinya pada tahun 2007.

Bagaimana memulai usaha depot masakan madiun?
Sejak tahun 2000 saya juga buka usaha di pinggir Jalan Manyar Kertoarjo, jualan nasi pecel madiun, seminggu sekali ada menu tambahan yaitu nasi udang yang menjadi menu andalan hingga saat ini. Saya orang Madiun jadi mengembangkan produk Madiun, saya tidak akan melupakan kota kelahiran saya. Karena Pasar Turi ludes terbakar pada tahun 2007, saya fokus untuk mengembangkan usaha depot masakan Madiun. Saya pindah dari jalan untuk kontrak tempat, hingga sekarang ada lima cabang (Raya Kupang Indah 31, Anjasmoro 45, Pasar Atom Tahap I Lt 4 Food Court, Mall Pasar Atom Lt 5 Blok H18, dan Pusat Grosir Surabaya Lt 4 Food Court).

Bagaimana Sambal Udang Bu Rudy bisa muncul?
Pak Rudy, suami saya, suka memancing. Jika tidak dapat ikan, umpannya berupa udang kecil dibawa pulang, lalu saya masak jadi udang kering, Saya membuat sambal sebagai pelengkap udang kering, Sambal berupa potongan bawang, cabai, garam, dan minyak, ternyata cocok. Lalu saya mulai jual nasi udang dengan sambal, ternyata digemari oleh pembeli. Lalu saya mulai jual sambal udang dalam kemasan, ternyata laris.

Apa keunggulan masakan khas Madiun?
Sejak kecil di Madiun saya makan tahu tempe dan ikan asin. Masakan Madiun adalah makanan orang kampung. Di Surabaya menjadi besar karena orang kota lama tidak makan masakan seperti ini. Mereka setiap ke sini carinya lodeh terong, lodeh tewel, lodeh rembung, bukan ayam goreng. Pelanggan saya yang orang Chinese maupun orang Jawa heran kok saya orang Chinese pinter masakan Jawa. Masakan dijamin enak karena 90% saya turun tangan langsung untuk mempersiapkan 40 macam menu yang disajikan di sini. Saya belanja kebutuhan pokok di Pasar Keputran, udang dari supplier di Gresik, dan cabai dari Kediri, semuanya fresh.

Bagaimana proses pencarian menu baru?
Menu terbaru adalah nasi bakar sejak bulan puasa tahun lalu. Biasanya di bulan puasa penjualan menurun, jadi saya putar otak, akhirnya membuat menu baru nasi bakar ayam, nasi bakar udang, dan nasi bakar cumi, ternyata laris. Setiap menu baru yang saya buat selalu disukai orang. Prosesnya spontan, saat saya makan nasi bakar di suatu restoran, saya menemukan kekurangan rasa. Di rumah saya benahi bumbu-bumbunya, saya coba masak, pegawai-pegawai saya suka semua, jadilah nasi bakar Bu Rudy. Si Hitam Manis—pisang goreng madu—diajari oleh teman saya di Jakarta, saya coba bikin ternyata laris.

Dengan kemunculan beragam sambal dalam kemasan botol, apa yang membuat Sambal Bu Rudy tetap diminati?
Rasa tidak bisa menipu. Tapi saya tidak pernah bilang kalau sambal Bu Yanti, Bu Indra, atau Bu Yeti itu tidak enak, itu terserah si pembeli. Saya tidak menjelekkan merek lainnya karena itu masalah selera, ada khasnya sendiri, baunya saja beda kok. Sambal saya sambal tradisional, mesin dirubah sendiri sesuai kebutuhan oleh Pak Rudy. Sambal selalu fresh tanpa bahan pengawet, bisa bertahan selama 10 hari dalam suhu ruangan.  Saya paling bangga saat seorang pembeli datang ke tempat ini dan kehabisan sambal. Saya bilang ke dia untuk menunggu sebentar, paling lama 10 menit, karena sambal yang masih hangat akan segera datang. Sambal yang baru datang, saya ambil satu botol lalu saya sentuhkan ke tangan pelanggan, masih terasa hangat.

Ada orang yang langsung membeli 100 botol, lalu saya tanya untuk apa, jika untuk dijual lagi sebaiknya tidak usah ambil banyak-banyak, secukupnya saja, besok kalau habis bisa beli lagi, biar sambalnya selalu segar. Sambal saya banyak dijual di toko oleh-oleh di Pasar Genteng juga di supermarket Bilka. Saya turut senang karena pelanggan saya bisa mendapatkan Sambal Bu Rudy jika jam operasional depot  telah berakhir. Karena tidak semua orang luar kota bisa meraih tempat ini, mereka lebih mudah menjangkau Pasar Genteng sebagai pusat oleh-oleh.

Saya tidak punya kekhawatiran dengan kemunculan beragam sambal kemasan. Namun yang saya heran ada seorang yang sudah kaya raya membuat  pabrik sambal kemasan, bukan industri rumahan tapi pabrik.

Kesuksesan Bu Rudy sudah ditangan, bagaimana mempertahankannya?
Kuliner saya sukses di Surabaya, dari kalangan kecil sampai Presiden semuanya tahu Bu Rudy. Saya tidak pernah memasang iklan, iklan yang mencari saya. Publikasi selalu ada baik di media nasional maupun lokal bahkan media menengah ke atas. Saya mempertahankan kualitas, jangan sampai ada yang complain masakan saya bau. Untuk promosi via Twitter dikelola oleh menantu, saya tidak paham dengan Twitter. Kritik pelanggan juga saya perhatikan karena itu yang membangun kesuksesan saya.

Bagaimana dengan desain kemasan Sambal Bu Rudy?
Desain saya tidak macam-macam, sederhana, kalau aneh-aneh keluar banyak biayanya. Desain saya hanya di botol dan seal dengan logo Sambal Bu Rudy. Pada awalnya pabrik botol langganan saya mengeluarkan desain baru, lalu saya melakukan perjanjian eksklusif dengan pabrik tersebut untuk hanya menjual botol dengan desain itu hanya ke Bu Rudy. Jadi botol saya tidak ada yang menyamai lagi. Saya minta sekalian ke pabriknya untuk membuatkan logo Sambal Bu Rudy.

Saya memberikan wejangan kepada pelanggan untuk hati-hati dalam membeli Sambal Bu Rudy. Jika membeli Sambal Bu Rudy bukan di saya atau cabang, sebaiknya memperhatikan produknya, mulai dari segel dengan logo Sambal Bu Rudy sampai ke desain botol yang berbeda dengan botol sambal lainnya.

Satu yang berkesan dari Bu Rudy adalah foto Bu Rudy yang terpasang sebagai bagian dari logo Bu Rudy. Tolong ceritakan mengenai foto tersebut.
Foto itu diambil saat saya berumur 40 tahun. Waktu itu sedang zamannya foto studio. Saya ke studio di Delta. Hasilnya saya suka dan saya pakai untuk usaha saya.

Tempat ini selalu penuh dengan pengunjung dan barang yang dijual, bagaimana Bu Rudy menata ruang-ruang disini?
Ini memang seperti pasar, saya tidak ada rasa takut dicuri orang, enjoy setiap hari bisa bertemu customer. Kadang customer bukan tidak mau membayar, tetapi lupa. Dekorasi juga asal-asalan, tidak ada desain khusus. Dapur khusus sambal ada di rumah saya karena harus lebih streril, tidak boleh kena air.

Bu Rudy selalu terlihat sehat bugar, apa resepnya?
Saya sehatnya luar biasa. Saya jarang makan buah, tidak suka jamu, olahraga juga tidak, tapi hati ini selalu senang.  Setiap hari pukul 05.30 saya sudah ada di sini. Saya sangat suka dengan pekerjaan ini, bangga sekali. Saya bisa kenal dengan artis, pejabat. Orang bodoh bisa dikenal seperti itu. Saya punya teman banyak, kemana pun saya pergi dikenal sama orang. Minimal 10 orang yang menyapa jika saya pergi ke mall. Itu yang membuat hati saya senang. Apa yang saya mimpikan telah saya raih karena keuletan dan ketekunan. Saya sudah lebih dari cukup sekarang.

Selain sebagai depot masakan, Bu Rudy juga menjual beragam snack dan oleh-oleh, malah menjadi pusat oleh-oleh tanpa embel-embel “toko oleh-oleh”. Bagaimana seleksi supplier dilakukan?
Kalau enak saya berani ngambil, sekarang ada 300 supplier. Yang saya ambil langsung dari Madiun adalah sambal pecel dan kerupuk puli (beras). Saya bilang ke supplier harus jaga kualitas dan selama ini supplier saya semuanya kualitasnya baik dan terjaga. Saya menerima titipan makanan dan minuman karena ingin membuka peluang kerja yang lebih luas. Supplier datang dari berbagai kota di Jawa Timur, Bandung, Solo, dan Yogyakarta.

Bagaimana dengan kuliner khas Surabaya?
Saya suka makanan Surabaya. Lontong balap, rujak cingur, tahu campur, soto, sate ondomohen, semuanya enak. Tapi kekurangannya adalah kita harus tahu tempatnya dimana. Orang luar kota kan susah carinya karena kebanyakan ada di kampung. Saya orang desa, sukanya makanan kampung, lebih lahap makannya. Saya cari makanan yang cocok dengan lidah.

Apa rencana Bu Rudy untuk 10 tahun kedepan?
Sekarang umur saya sudah tua, jadi anak-anak dan menantu yang akan meneruskan usaha ini. Anak laki-laki yang punya bakat masak seperti saya. Ya sampai sekarang saya pikirannya bekerja dan bekerja, sampai kekuatan saya berakhir. Saya juga punya pegawai yang sudah bekerja 10 tahun lebih, mereka jadi andalan saya. Mereka sudah bisa jalan sendiri tanpa saya perintah. Kekurangan saya cuma satu, produk saya belum ada logo halal dari MUI. Jika ada pelanggan yang bertanya mengenai isu sambal saya memakai minyak B2, saya menjawab itu tidak benar. Saya berani dituntut di depan pengadilan hari ini juga jika saya memang memakai minyak B2.

Pesan untuk generasi muda?
Saat diundang ke seminar-seminar di kampus, saya sering berpesan, “Kamu lebih pintar dari aku, kamu harus lebih sukses daripada aku”. Dan jangan malas bekerja, seandainya saya bisa kembali menjadi umur 30, maka 20 jam dalam sehari saya gunakan untuk bekerja.