Cotswolds adalah Windrata Faizal (vokal/gitar), Farras Fauzi (drum), Dwiki “Gruwok” Putra (gitar) dan Wing Wisesa (bass). Sebuah EP bertajuk selftitled berisikan empat lagu resmi mereka rilis awal bulan Maret lalu secara unduh cuma-cuma melalui kanal netlabel Yes/No Wave.
Windrata Faizal dkk bercerita bahwa pertemuan mereka dengan netlabel Yes/No Wave adalah berkat salah seorang kawan mereka yang merupakan seorang vokalis band cult asal Surabaya. Meskipun telah membuktikan keseriusan mereka dengan merilis EP namun sebelumnya mereka sama sekali tidak pernah berpikir untuk merilis rilisan apapun.
“Kita sebenarnya nggak ada rencana buat (bikin) EP, hanya mau rekaman satu lagu aja. Cuman karena nanggungya sudah sekalian tiga lagu aja semua,” ungkap Dwiki alias Gruwok ketika ditemui Praoto di salah satu cafe di bilangan Surabaya Pusat.
“Itu juga mendadak banget kok. Itu soalnya Faraz mau kembali lagi ke Bandung buat kuliah. Daripada nunggu enam bulan lagi buat rekaman, jadi ya udah nekat aja rekam semuanya,” tambah Faizal alias Tedy. Wawancara saat itu pun praktis tanpa kehadiran sang drummer, Farras yang ternyata kini berdomisili di Bandung.
“Apalagi kita baru main sekali, itu pun di acara private gig [tertawa],” celetuk Gruwok yang menguatkan bahwa sebenarnya band ini tidak terlalu serius untuk berindustri ketika awal mula terbentuk.
Ditanya lebih lanjut tentang nama Cotswolds, Sesa menyampaikan bahwa itu adalah nama yang ia temukan secara tidak sengaja di mesin pencari maha bisa, Google. Setelah dilakukan penelusuran Cotswolds ternyata adalah salah satu obyek wisata di Britania Raya yang berarti pondok yang tandus.
“Awalnya itu kita bingung cari nama. Iseng-iseng googling, ketemu nama Cotswolds yaitu salah satu obyek wisata di Inggris. Waktu dicari, tidak tahunya arti Cotswolds sendiri adalah pondok yang tandus. Dan nama itu cocok banget dengan konsep dari band kita,” tutur Sesa.
Di dalam proses kreatif pembuatan lagu-lagunya Cotswolds mengaku dipengaruhi oleh band-band post punk rilisan dua label era pergerakan indie pop akhir 70-an dan awal 80-an, Sarah Record (Inggris), Postcard Record (Skotlandia). “Makanya Cotswolds menyajikan lagu-lagu bernuansa kelam, tapi nggak galau,” ujar Gruwok.
Tak ada hal khusus yang ingin disampaikan dalam musik mereka. Lirik-lirik Cotswolds ditulis secara meaningless, abstrak dan disesuaikan dengan suasana lagu mereka. Seperti single “Plasticity” misalnya yang berisi kisah ketika para personil Cotswolds bermushroom ria.
Band yang terbentuk akibat ulah bejat game sepak bola di konsol Play Station bernama bernama “Fifa 2012” akhir tahun lalu ini ingin lebih mematangkan konsep bermusik mereka untuk ke depannya.
“Sudah ada gambaran untuk project selanjutnya sih. Kita masih tetap berada di jalur shoegaze tapi cuman akan lebih konsisten. Dari EP kemarin yang dirasa masih kurang singkron, banyak yang bilang kalau aliran kita itu post-punk, shoegaze, bahkan ada yang bilang post-rock. Nah, dari situ kita mau lebih mematangkan konsep kita,” kata Gruwok.
“Tawaran untuk main kita juga banyak, cuman sayangnya di luar kota semua, bahkan luar negeri ada. Tapi ya kita ingin eksis di dalam kota dulu biar entar waktu di luar kotanya tidak sia-sia,” harap mereka untuk panggung-panggung mereka selanjutnya.
“Band dunia maya ini sebenarnya. Nggak pernah ada wujudnya. Lama-lama jadi kayak Gorillaz. Nggak keliatan orangnya [tertawa],” celetuk Gruwok. (abr/zaq)
Album ini menggunakan lisensi Creative Commons BY-NC-SA. Anda bebas untuk mengunduh, mengolah-ulang dan membagikannya secara gratis asal mencantumkan sumber materi ini, tidak mengambil keuntungan komersial dan wajib menggunakan lisensi yang sama. Unduh dari YES NO WAVE MUSIC.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Praotozine, Surabaya’s DIY Music Zine
Foto: Last.fm Cotswolds
This post is also available in: English