Slamet yang Tetap Slamet Selamanya

Slamet menggemari falsafah Timur, buku dan pengetahuan, yang ia wujudkan dalam laku kesehariannya. Sederhana, penuh ketakterdugaan, sekaligus mendalam.

Slamet yang tetap Slamet Selamanyaa

Dunia musik Indonesia berduka. Slamet Abdul Sjukur (79), komponis legendaris Indonesia, baru saja dipanggil Sang Kuasa (Surabaya, 24/3) karena sakit. Namun, ia sendiri sudah meramalkan takdir itu. Biasanya, menurut sebagian kepercayaan, orang ampuh selalu diberi firasat untuk mengetahui kapan dirinya harus “kembali”. Seperti dituturkannya secara langsung kepada saya di Surabaya, saat kami berkegiatan bersama dua mingguan yang lalu: “Mas, sudah tiga bulan ini, saya rasanya berada di antara hidup dan mati. Mau mati hidup lagi. Gitu terus. Bingung saya…”

Begitulah Slamet. Dikenal banyak sahabat sebagai orang yang humoris, bahkan hingga menjelang kepergiannya, disamping tentu ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, yang setiap orang belum tentu menandinginya. Slamet turut menginspirasi banyak komponis dan musisi dengan debut yang tak bisa dibilang remeh: Tony Prabowo, Franki Raden, Gilang Ramadhan, Diddi AGP, hingga generasi baru semacam Gema Swaratyagita, Joko Porong, dan seterusnya. Belum lagi para guru piano yang belajar langsung kepadanya. Slamet dikenal teliti dalam hal ilmu, jujur dalam berkarya, sekaligus penuh perhatian kepada yang benar-benar mau belajar. Itulah sumber magnet yang menjadi inspirasi banyak orang.

Lebih dari limapuluh karya sudah ia buat dalam rentang puluhan tahun, dipentaskan di berbagai Negara, dan ia mendapatkan belasan penghargaan dari dalam maupun luar Negeri atas jasanya bagi musik alternatif yang jarang diperhatikan di Indonesia. Pergulatan intelektualnya juga dituangkan dalam banyak tulisan yang tersebar di berbagai media, lantas kemudian menjadi dua buku, “Virus Setan: Risalah Pemikiran Musik Slamet Abdul Sjukur” (2012), dan “Sluman Slumun Slamet: Esai-esai Slamet Abdul Sjukur 1976-2013” (2014).

Memang tak massif yang mengenal Slamet Abdul Sjukur, sosok yang mendalami musik di Perancis selama 14 tahun ini. Ia bukan berada di wilayah industri musik spektakuler yang penuh glamor dan semu. “Saya memilih menempuh jalan sunyi, jauh dari yang normal,” begitulah Slamet menyebut dirinya. Ia sosok yang tak peduli dengan keterkenalan. Ia sendiri, sepi, dan mencari hakikat paling terdalam dari laku hidup manusia. Dan ia percaya musik menjadi jalan tempuh paling efektif untuk mencapai apa yang ia harapkan. Cita-citanya itu berhasil. Manusia selalu diukur dari jasanya selama hidup, dan apa yang ia wariskan kemudian. Slamet membuktikan hal itu tanpa berhenti sedikitpun.

Slamet: Spiritualis dan nJawani

Jika saya bertemu beliau, saya selalu berbincang menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat Kromo Alus. Ini lebih melekatkan hubungan kami, sekaligus mencitrakan bahwa Slamet tetap menjadi Jawa dengan berbagai parameternya, meskipun ia mengalami bersentuhan langsung dengan dunia Barat cukup lama. Itu tak berpengaruh bagi sikap hidupnya. Slamet tetap menjadi Jawa dengan kerendah-hatian yang bukan basa-basi. Jiwanya sangat spiritualis dan pertapa, pandai menyerap inti-sari, serta tahu mengalah pada saat ia harus mengalah.

Tak banyak yang mengetahui, selain jabatan formalnya sebagai komponis, ia juga seorang peramal dan ahli filosofi. Slamet menggemari falsafah Timur, memiliki banyak koleksi buku dan pengetahuan. Ia mewujudkan wawasan itu untuk laku kesehariannya. Sederhana, penuh ketakterdugaan, sekaligus mendalam. Ia bersahabat mesra dengan kosmos, yang selalu ia percayai turut membentuk dirinya. Slamet menghormati semua yang ada di dunia ini.

Yang musti dilanjutkan

Maka, terlampau banyak dikatakan untuk seorang Slamet, terlepas dari segala kekurangannya sebagai manusia biasa yang jauh dari ukuran kenabian. Banyak yang pernah berguru padanya tetapi kemudian mengambil jarak, karena hanya melihatnya dari satu-sisi: Kekurangannya. Padahal, Slamet percaya penuh pada keseimbangan, pada falsafah yin-yang. Beberapa murid yang memiliki kesabaran merasa betah berhubungan dengannya, dan merasakan faedah ilmu yang berguna bagi hidup. Beberapa yang lain merasa harus lepas begitu saja, tak sedikit yang membencinya. Ini wajar sebagai dialektika kehidupan.

Pada puncaknya, Slamet Abdul Sjukur adalah sejarah itu sendiri, yang wajib kita catat sebagai bukti perjuangan tanpa henti, bahkan hingga menjelang kepergiannya. Ketika terbaring di rumah sakit ia masih meminta untuk didengarkan musik Bach, dan ia masih mampu melakukan analisa terhadapnya. Pikirannya masih melesat, tetapi raganya tidak mendukung. Pada hari-hari terakhir hidupnya, ia juga berpesan kepada murid-muridnya, untuk terus merawat Pertemuan Musik Surabaya, yang sudah ia dirikan sejak 1950-an, dan Pertemuan Musik Jakarta, yang muncul belakangan. Dua pertemuan musik itu adalah warisan yang ada secara konkrit, dan harus terus dihidupi atas niat baik. Selamat jalan, Mas Slamet. Doa kami menyertaimu.

Erie Setiawan
Direktur Pusat Informasi Musik
Art Music Today, Yogyakarta,
dan Sahabat Slamet.