“Rumah Sakit Kelamin Indrapura” atau “Bekas Rumah Sakit Kelamin”, dua nama tersebut rupanya jauh lebih dikenal orang awam—khususnya supir taxi—daripada nama resminya sekarang, yaitu kantor Badan Litbang Kementrian Kesehatan atau Museum Kesehatan di Jalan Indrapura 17. Lebih lagi, masih pula ada beberapa orang yang mengira bahwa lokasi tersebut masih berfungsi sebagai rumah sakit kelamin.
Sejarah pendirian tempat ini dipengaruhi oleh prevalensi penyakit kelamin yang tinggi pada saat itu. Data Rumah Sakit CBZ pada tahun 1938-1940 menyatakan bahwa di Surabaya telah terdapat 3810 pasien syphilis, di mana 1261 pasien di antaranya berada pada stadium menular (P3SKK, 2008). Selain itu, penelitian yang dilakukan pada poliklinik-poliklinik pelabuhan di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung pada tahun 1937-1941 dan 1950 juga menunjukkan kesimpulan yang sama. Penelitian terus dilanjutkan sampai tahun 1956 di dua kriteria lokasi, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa angka penularan di Jawa 3-4 kali lebih tinggi daripada di luar Jawa, dengan kasus terbanyak pada penyakit syphilis (Depkes, 1980).
Berdasar hasil-hasil penelitian tersebut, tahun 1950, Menteri Kesehatan dr. J. Leimena menugaskan Prof. Dr. Soetopo, seorang dokter ahli penyakit kulit dan kelamin, untuk menangani suatu penelitian dan pemberantasan penyakit kelamin.
Dari empat kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Surakarta), dipilihlah lokasi di Surabaya. Ada empat alasan kenapa Surabaya dipilih: (1) data penderita yang cukup tinggi, (2) Surabaya sebagai kota pelabuhan besar, (3) keberadaan masyarakat yang homogen yang juga memperbesar resiko penularan, dan (4) Prof. Dr. Soetopo sendiri adalah arek Suroboyo.
Gedung ini kemudian dibangun pada tahun 1951 dan diresmikan tahun 1953 sebagai “Lembaga Pusat Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Kelamin (LP4K)”. Lembaga ini tidak hanya bertugas sebagai Venerisch Hospitaal (Rumah Sakit Kelamin) tapi juga menjalankan peran preventif, penyuluhan, penelitian, dan pendidikan.
Pada perkembangannya, lembaga ini tidak hanya menghadapi penyakit kelamin tapi juga beberapa masalah kesehatan masyarakat yang terus bermunculan dan berkembang, seperti campak, kusta, gizi, dan lain sebagainya. Seiring dengan semakin luasnya ruang lingkup penelitian, LP4K berubah menjadi Lembaga Kesehatan Nasional (LKN) yang diresmikan pada tanggal 14 Februari 1965. LKN ini kemudian dikembangkan menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tingkat nasional yang terdiri dari beberapa pusat penelitian di beberapa daerah di Indonesia.
Sekarang Rumah Sakit Kelamin ini menjadi kantor salah satu pusat badan litbang, yaitu Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat (PHKKPM) yang juga memiliki Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH, museum kesehatan satu-satunya milik Kementrian Kesehatan.
This post is also available in: English