Anda mungkin mengenal nama ini, mungkin juga tidak. Buat orang kesenian, Slamet Abdul Sjukur bukan nama asing, bahkan seperti mitos. Ia adalah pemusik paling berpengaruh di Indonesia. Slamet merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas istilah dan praktik “musik kontemporer” di Indonesia. Lahir pada 1925, tapi ia sering bilang ia memalsukan umurnya lebih muda 10 tahun demi bisa bersekolah ke Prancis. Ya, ia mengaku kalau lahir pada 1935. Saya tidak tahu pasti versi mana yang benar.
Saya sendiri mengenalnya pertama kali lewat buku-buku sejarah musik. Sampai suatu saat main ke rumahnya di Cipinang. Saya bahagia bukan main bisa bertemu tokoh yang ada dalam buku sejarah. Setelahnya, kami menjadi dekat. Saya belajar banyak darinya. Ia bukan saja guru saya, tapi guru bagi banyak orang.
Beberapa kali kami sempat konflik kecil. Tapi sangat cepat baikkan, seolah tidak ada sesuatu terjadi. Pernah ia sendirian naik taksi menjenguk saya ke rumah ketika saya sakit selama dua bulan yang membuat kaki saya lumpuh. Ia bawakan saya beberapa buah naga.
Mas Slamet orangnya sangat halus, tapi bila kesal atau benci dengan sesuatu, ia akan sungguh-sungguh membencinya. Seperti ia benci bila dipanggil “Bapak”. “Jangan ikut-ikut Orde Baru”, katanya beralasan.
Saya pelit mengatakan seseorang sebagai “legenda hidup”, “maestro”, “guru”, atau semacamnya. Tapi Mas Slamet sungguh seorang legenda yang masih hidup hari ini, dan tak pernah berhenti berkarya. Dalam sebulan ia masih bolak-bolak Jakarta-Surabaya dengan kereta. Sendirian. Untuk mengajar, menulis komposisi, atau datang ke diskusi atau komunitas kecil sekadar untuk memprovokasi mereka.
Dua minggu lalu ia jatuh. Pangkal pahanya terlepas. Ia dilarikan ke rumah sakit. Hemoglobinnya turun, tensinya naik. Mas Slamet menolak dioperasi. Diam-diam ia tandatangani surat dengan pihak rumah sakit bahwa “ia menolak dioperasi dan menanggung segala risikonya”. Tapi bukan Slamet Abdul Sjukur bila tak bikin kejutan: mendadak ia bersedia dioperasi.
Tapi kelegaan belum selesai, karena ada masalah biaya. Sejauh ini, biaya rumah sakitnya (belum termasuk jasa dokter) sudah mencapai 17 juta. Ini juga belum ditambah biaya operasinya. Karena itu, beberapa kawan menggalang dana untuknya, yang sejauh ini sudah terkumpul 27,5 juta.
Di rumah sakit, Slamet ingin tetap mendengar musik. Ia minta diputarkan musik dari Bach.
DONASI:
Penggalangan dana ini dikelola oleh murid Slamet, yaitu Gema Swaratyagita (08179319262) dan Jeanne Christine (08155197223)
- BCA a/n Jeanne Christine 5200148811
- Mandiri a/n Jeanne Christine 142.000.564.9867
- BNI a/n Gema Swaratyagita 0046108230
Harap konfirmasi [ke masing-masing pihak] jika akan menyumbang atau sudah mentransfer. Kami akan laporkan perkembangannya ke teman-teman sekalian. Seluruh hasil donasi akan langsung diserahkan ke keluarganya. Salam.
Tautan terkait:
Catatan Roy Thaniago di Facebook, 22 Maret 2015
Catatan Gema Swaratyagita perihal kesehatan Slamet A. Sjukur, 13 Maret 2015, 16 Maret 2015