Artikel ini dibuat sebagai bagian dari #PerakProject, yang mengajak berbagai kanca-kanca muda Surabaya untuk melihat, mendokumentasikan, dan membuat karya mengenai hubungan manusia dan tempatnya di Perak dan Surabaya. Selengkapnya: http://ayorek.org/perakproject/
Awal kemunculan permata ekonomi di timur Nusantara
Perak yang terkenal akan pelabuhannya, menjadi urat nadi perekonomian di Indonesia—setelah Pelabuhan Tanjung Priok tentunya—setelah dirasa perlunya pelabuhan yang mampu memfasilitasi bongkar muat kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil alam yang didapat dari Jawa Timur seperti kopi, gula, nila, teh dan buah-buahan. Terlebih setelah penerapan Hukum Tanam Paksa di tahun 1830. Tahun 1870, Terusan Suez dibuka, perdagangan laut menjadi lebih mudah, dengan demikian arus kedatangan kapal di Surabaya pun semakin sering daripada tahun-tahun sebelumnya.
Hingga pelabuhan modern mulai dibangun di tahun 1916, cara pengiriman barang dari dan ke kapal besar di Surabaya adalah melalui mekanisme estafet. Kapal besar akan berlabuh di muara Kali Mas, dan mengirimkan barang ke kapal-kapal kecil yang akan berkayuh dengan tenaga dayung melalui Kali Mas ke gudang-gudang dagang yang terletak di daerah yang sekarang bernama Kali Mas Timur dan Kali Mas Barat hingga Jembatan Merah. Dari sini dapat kita lihat alasan mengapa Kali Mas pernah menjadi pelabuhan sungai yang ramai. Ketiadaan pelabuhan yang memiliki kemampuan bongkar-muat serta fasilitas reparasi kapal membuat pengiriman barang harus dilakukan di sungai yang dekat dengan pusat kota walaupun harus melalui proses yang panjang untuk mengantar barang.
Awalnya pada 1897, sebuah pelabuhan direncanakan akan dibangun di timur muara Kalimas, bersebelahan langsung dengan Marine Establishment (Pangkalan AL Belanda Ujung, sekarang Pangkalan Armatim TNI-AL). Rencana yang diajukan ditolak pemerintah kolonial karena menghalangi perluasan Pangkalan AL Ujung. Pemerintah pun mendirikan Komisi Pelabuhan di tahun 1903 untuk mengurus pembangunan Pelabuhan Perak. Berbagai cetak biru pelabuhan pun dibuat, hingga akhirnya sebuah desain pelabuhan yang terhubung dengan rel kereta api, kompleks pergudangan yang luas, ship mooring basin dan fasilitas bongkar muat barang yang sanggup melayani barang dalam bentuk dan berat berapapun, terpilih sebagai desain Pelabuhan Tanjung Perak.
Desain karya insinyur W.B.Van Goor ini akan berada di sisi barat muara Kali Mas, berseberangan dengan Pangkalan AL Ujung, sebuah lokasi yang masih ditempati hingga saat ini. Rancangan Van Goor di tahun 1910 ini segera dibangun secara bertahap hanya dalam setahun setelah rancangan disetujui oleh Komisi Pelabuhan. Pembangunan ini dilakukan oleh perusahaan kontraktor bangunan Hollandsche Aaneming-Maatschapiij (HAM) di tahun 1913 hingga tahun 1925, sedangkan pengoperasian pelabuhan sudah dibuka mulai 1920. Perak pun berkembang menjadi sebuah pelabuhan besar yang melayani perdagangan internasional di Surabaya.
Tanjung Perak menjadi pintu masuk dan keluar utama perdagang Indonesia di masa lalu, jalur ekspor impor utama di era 1850-an hingga akhirnya pelabuhan modern dibangun di tahun 1916. Hal ini membuat kemajuan yang pesat bagi perekonomian kota Surabaya. Di dekade 1900-an saja, perusahaan produsen lokomotif KA Obberheim und Koppel, sepeda motor BSA hingga produsen mobil kampiun General Motors membuka cabang mereka di Surabaya. Semua ini terjadi sebagai efek kemampuan pelayanan ekspor dan impor barang melalui Pelabuhan Tanjung Perak.
Sempat sejenak terkena dampak Depresi Besar 1930, pelabuhan yang nama dan pembangunannya sempat disinggung Pramudya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia ini tetap menjadi urat nadi perniagaan. Perang Dunia II sempat membuat operasional Pelabuhan Perak menurun karena hampir seluruh aktivitas Pelabuhan Perak digunakan untuk keperluan perang penjajah Jepang. Tak hanya itu, karena diduduki Jepang, Pelabuhan Perak juga ikut dibom Sekutu pada 17 Mei 1944. Setelah ditinggalkan akibat Pertempuran Surabaya di tahun 1945, pada tahun 1949 pemerintah Indonesia kembali mengambil alih Pelabuhan Perak dan mengoperasikannya seperti sedia kala.
Pemerintah kala itu mendapat bantuan dana dari Jepang dan Belanda sendiri memperbaiki dermaga, fasilitas bongkar muat hingga akhirnya Pelabuhan Perak berhasil mencapai tingkat pencapaiannya di tahun 1930-an. Pelabuhan yang pernah memiliki tiga dok kering apung ini—salah satunya terbesar di Indonesia—menjelma menjadi pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Kehidupan masyarakat di sekitar Perak pun juga ikut terangkat secara ekonomi dan membuat Perak sempat menjadi wilayah yang ramai dengan interaksi manusia, bahkan di luar aktivitas pelabuhan. Fenomena ini berlangsung setidaknya hingga awal 2000-an, ketika pusat kota Surabaya mulai bergeser ke selatan dan barat kota.
Lepas landas dari lapangan udara Perak
Lapangan udara? kita membicarakan Perak yang terkenal pelabuhannya kan ? Ya, benar Perak terkenal pelabuhannya, tapi ada masa di mana Perak memiliki sebuah lapangan terbang. Perluasan area Perak memungkinkan Angkatan Darat dan Laut Belanda untuk memiliki lapangan terbang untuk pesawat-pesawat militer mereka di Surabaya. Akhirnya di lahan di barat daya pelabuhan pada tahun 1925 dibangun Lapangan Udara Tanjung Perak (Vliegveld Tandjoeng Perak). Lapangan Terbang ini terkoneksi dengan Morokrembangan Air Station yang merupakan pangkalan pesawat amfibi.
Singkat kata pesawat amfibi jika akan lepas landas dari air akan berangkat melalui Bozem Morokrembangan, sedangkan jika ingin berangkat dari darat melalui landasan Lanud Tanjung Perak. Pada masa setelah kemerdekaan, lapangan udara ini diambil alih oleh TNI-AL. Suara mesin khas pesawat amfibi Dornier X dan Dornier 24 era 1930-an, tergantikan oleh pesawat Fairey Gannet, Catalina dan raungan jet IL-28. Lapangan Terbang Perak menjadi saksi kejayaan Satuan Penerbangan TNI-AL di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tapi laju perubahan zaman tak dapat dihindari, pangkalan udara TNI-AL pindah ke Lanud Juanda di tahun 1964 dan Lapangan Terbang Perak pun ditutup. Lahan area bekas lapangan terbang ini kini berubah menjadi pemukiman, terminal peti kemas dan jalan tol Surabaya – Malang.
Pada masa setelah kemerdekaan, lapangan udara ini diambil alih oleh TNI-AL. Suara mesin khas pesawat amfibi Dornier X dan Dornier 24 era 1930-an, tergantikan oleh pesawat Fairey Gannet, Catalina dan raungan jet IL-28. Lapangan Terbang Perak menjadi saksi kejayaan Satuan Penerbangan TNI-AL di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tapi kemajuan Jaman tak dapat dihindari, pangkalan udara TNI-AL pindah ke Lanud Juanda di tahun 1964 dan Lapangan Terbang Perak pun ditutup. Lahan area bekas lapangan terbang ini kini berubah menjadi pemukiman, terminal peti kemas dan jalan tol Surabaya – Malang.
Urat nadi perdagangan
Letak kota Surabaya secara geografis sangat strategis dalam jalur pelayaran internasional. Kedekatan Surabaya dengan wilayah Indonesia Timur dan jarak yang relatif terjangkau dengan Selat Karimata, Selat Makassar dan jalur laut lain membuat Tanjung Perak sebagai pelabuhan strategis. Tanjung Perak juga menjadi pintu masuk perniagaan tingkat lokal di Surabaya dan Jawa Timur, dengan adanya pelabuhan berstandar internasional di Perak, warga Surabaya dan seluruh Jawa Timur tak harus menunggu barang lama dari Jakarta.
Perak memiliki area Storage BBM kota besar yang terbaik pelayanannya sekaligus proses maintenance nya di Indonesia Timur (Pertamina, 1992). Area bongkar muat peti kemas merupakan yang terbesar di seluruh Indonesia Timur. Dengan fasilitas-fasilitas ini Perak mampu melayani kapal – kapal dagang bertonase besar di pelabuhannya.
Perak hingga tahun 1967 penuh dengan lalu lalang rel kereta api dan trem listrik. Walau trem listrik sudah tak aktif, rel KA di Perak masih aktif hingga sekarang, meski kondisinya mati suri. Fasilitas penunjang pelabuhan seperti ini bisa disebut lebih baik dari pelabuhan lain di Indonesia. Keberadaan rel KA ini bahkan hingga menggeser lokasi Klenteng Mbah Ratu dari Perak ke Dupak hingga sekarang.
Pemukiman: yang mengintip di antara trailer dan peti kemas
Selama ini Perak dikenal karena aktivitas perdagangan dan pelabuhan besarnya. Tapi banyak yang lupa bahwa Perak juga memiliki kawasan pemukiman. Keberadaan pemukiman ini nyaris terlupakan, tertutup oleh kepadatan truk, trailer dan tumpukan peti kemas. Di Perak, dapat kita temui, rumah-rumah berarsitektur era kolonial Belanda tahun 1930an di sepanjang jalan raya Perak Barat dan Jalan Perak Timur. Banyak dari mereka ini yang sudah pindah dan rumahnya beralih menjadi tempat usaha atau kantor.
Di jalan-jalan kelas 2, perumahan tersebar di sekitar Perak. Kalangan menengah ke atas dan menengah yang tinggal di areal pemukiman rumah berukuran sedang dan besar yang jalannya saling terkoneksi di sisi barat Jalan Perak Barat. Area pemukiman ini terbagi menjadi tiga sub-area : Area jalan rumah berawalan “tanjung”, area jalan rumah berawalan “teluk” dan area jalan rumah berawalan “ikan”. Pemukiman ini banyak didiami oleh pejabat instansi PT Pelindo, Pertamina dan perwira TNI. Sebagian juga pensiunan dari instansi-instansi tersebut.
Perkampungan menengah ke bawah yang tersebar di berbagai bagian Perak, baik di sisi timur maupun barat daerah Perak. Perkampungan dari kalangan menengah ini berdampingan dengan pemukiman jalan berawalan “Tanjung”, awalan “Teluk” maupun awalan “Ikan”. Penduduk di kampung-kampung ini adalah orang-orang yang bekerja di pelabuhan, tempat-tempat usaha di sekitar Perak dan juga pensiunan TNI-AL.
Pemukiman kumuh tersebar di dua tipe latar wilayah, di gudang-gudang yang tak terpakai dan di sekitar rel KA yang saat ini jarang sekali digunakan. Pemukiman kumuh ini menempati berbagai tempat yang tak terpakai di penjuru Perak, mulai dari area sekitar rel kereta api, gudang-gudang yang tak terpakai hingga tanah-tanah kosong di antara Jalan Perak Timur dan Jalan Kalimas Baru.
Kawasan Perak dilewati oleh rel kereta api jurusan Stasiun Semut / Pasar Turi – Masigit – Kalimas – Dermaga Intan (Perak). Dahulu bahkan pernah ada jurusan dari Stasiun Kalimas ke Pelabuhan Perak yang sekarang sudah mati dan jalur relnya digunakan oleh bangunan RS PHC.
Urbanisasi membuat banyak masyarakat dari seluruh Jawa Timur (bahkan juga dari propinsi lain di Indonesia) mencari kerja di Surabaya. Kawasan Perak sebagai urat nadi niaga di Surabaya menjadi daya tarik masyarakat kelas buruh untuk menjadi buruh pelabuhan atau kerja di perusahaan-perusahaan yang bertebaran di kawasan Perak.
Bergesernya urat nadi perdagangan di Perak ke wilayah kota yang lebih ke selatan di dekade 1990-an hingga saat ini membuat banyak pedagang menutup usahanya dan berpindah ke tempat yang lebih ramai di selatan atau barat kota Surabaya. Tutupnya beberapa toko dan gudang usaha membuat banyak tempat kosong digunakan warga kelas bawah sebagai pemukiman semi permanen.
Rel KA di Perak yang kini dari Kalimas sedang tidak aktif – kalah oleh moda transport truk besar dan trailer – menjadi pilihan bagi para warga menengah bawah untuk menempati lahan rel untuk tempat tinggal semi permanen ini. Hingga saat ini masih belum ada solusi untuk merelokasi mereka, dengan kondisi pemerintah pusat akan mengaktifkan rel Perak pada 2016.
Saat ini, Perak rawan dengan populasi trailer yang padat, kemacetan, kecelakaan, dan kriminalitas. Aktivitas perniagaan di Perak berlangsung padat pagi hingga sore. Setelah jam 8 malam, boleh dikata Perak selalu sepi, hanya lalu lalang trailer yang masih terlihat. Jika di tahun 1970-1990an Perak dikenal sebagai tempat plesir untuk warga (terutama anak-anak) untuk melihat kapal laut berlalu lalang, kini banyak tempat di Perak terbatas untuk kalangan umum (karena alasan keamanan), termasuk menara syahbandar.
Nadi kehidupan baru terasa ketika kita berbelok ke arah Ampel atau ketika berbelok ke Jalan Rajawali, yang penuh dengan kantor-kantor, spot-spot kuliner dan pusat perbelanjaan. Kecuali rumah sakit, nyaris tak ada tempat yang bisa digunakan oleh warga lokal Perak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka harus pergi agak jauh dari Perak hanya untuk sekedar membeli baju. Hadirnya Jembatan Suramadu juga membuat penyeberangan ke Madura berkurang jumlahnya, dan secara tak langsung mengurangi frekuensi orang berkunjung ke Perak.
#PerakProject
Artikel ini dibuat sebagai bagian dari #PerakProject, yang mengajak berbagai kanca-kanca muda Surabaya untuk melihat, mendokumentasikan, dan membuat karya mengenai hubungan manusia dan tempatnya di Perak dan Surabaya. Selengkapnya: http://ayorek.org/perakproject/