Inem Pelayan Sexy 2

Film ini mungkin adalah film sekuel pertama yang mengambil lokasi di kota Surabaya. Digambarkan pembangunan terminal Tanjung Perak sebagai konsekuensi pembangunan infrastruktur kala itu. Tak hanya itu, dialog-dialog, parikan, kidungan serta bahasa-bahasa prokem dekade '70an ala komedi Surya Group menjadi bumbu pemanis dalam film arahan Nyak Abbas Akup, sutradara asal Malang yang boleh dikatakan sebagai Bapak Film Komedi Indonesia.

Film · 16 February 2015 · Keywords: ·
Poster film

Pemutaran film Inem Pelayan Sexy 2
Senin, 16 Februari 2015, pk. 18.30
di Wisma Jerman
Jl. Taman AIS Nasution 15, Surabaya
(peta lokasi)
Gratis, tempat terbatas 20 orang
INFO: Ipung 08563132432

Artikel ini dibuat sebagai bagian dari #PerakProject, yang mengajak berbagai kanca-kanca muda Surabaya untuk melihat, mendokumentasikan, dan membuat karya mengenai hubungan manusia dan tempatnya di Perak dan Surabaya. Selengkapnya: http://ayorek.org/perakproject/


Dari banyak sekian film Indonesia yang pernah dibuat di Surabaya, film ini mungkin yang menjadi film sekuel pertama yang mengambil lokasi syuting di kota Pahlawan, hingga detik ini.

Sebenarnya saya benar-benar tak menyangka film komedi sensasional Inem Pelayan Sexy ini pun memilih Surabaya sebagai lokasi penggarapan kelanjutannya. Film besutan Nyak Abbas Akup ini dibuat sekuelnya hingga 3 seri. Tak berbeda jauh dengan film sebelumnya (Inem Pelayan Sexy 1), film ini masih bercerita tentang sosok Inem yang diperankan secara apik oleh alm. Dorris Callebaute, dan juga Brontoyudo yang diperankan oleh salah satu seniman komedi besar asal Surabaya, alm. Ayub Abdul Djalal atau biasa dikenal dengan panggilan Djalal.

Film Inem Pelayan Sexy 1 bisa dikatakan merupakan pionir dalam pembentukan film komedi satir Tanah Air. Nyak Abbas Akup. alumnus University of Southern California (USC) Amerika Serikat, hadir dengan film-film yang boleh dibilang cukup menampar sekaligus jujur dalam mengekspresikan realitas masyarakatnya. Film Inem Pelayan Seksi (1976) besutannya, yang dilanjutkan dengan Inem Pelayan Seksi 2 dan Inem Pelayan Seksi 3, merupakan satir yang sarat dengan muatan kritik sosial, termasuk kritik terhadap Persatuan Bangsa-bangsa (lewat PBB yang diartikan sebagai Partai Babu-babu, partai yang didirikan Inem). Pada masa itu film tersebut menjadi hits dan meraih sukses komersial yang luar biasa.

Kisah dimulai dengan Brontoyudo (Jalal), direktur sebuah perusahaan yang berawal dari usaha jualan sate, yang jatuh cinta pada pelayan, Inem (Dorris Callebaute). Inem bekerja pada keluarga Cokro (Aedy Moward-Titik Puspa), pegawai Pak Bronto. Tentu keadaan jadi terbalik-balik dan lucu. Istri-istri pegawainya bergunjing, sementara Inem sendiri juga jadi serba salah. Dipertunjukkan pula bagaimana rumah-rumah gedongan tanpa pelayan, hingga para nyonya tidak bisa melakukan aktivitas sosialnya dan para tuan tidak bisa menelorkan gagasan brilian untuk pekerjaannya. Sindiran sosialnya tetap ada seperti gaya Nyak Abbas, hanya kadang-kadang terlalu ditonjolkan, hingga mengganggu adegan di sana-sini.

Bisa jadi sepanjang karirnya, film inilah yang paling berhasil dan mungkin merupakan puncak pencapaiannya. Bagaimana tidak? Film ini pun menjadi film terlaris di Jakarta pada tahun 1977 dengan menyedot perhatian sebanyak 371.369 penonton, menurut data Perfin, untuk itu film ini pun mendapatkan Piala Antemas pada Festival Film Indonesia di tahun 1977.

Merasa tertantang, apalagi dengan respon pasar yang cukup baik, untuk membuktikan bahwa ini bukan film komedi murahan, Nyak Abbas pun membuat sekuelnya pada tahun 1977 dengan langsung memproduksi 2 film sekaligus (Inem Pelayan Sexy 2 dan Inem Pelayan Sexy 3).

Pada film Inem Pelayan Sexy 2 diceritakan bahwa Inem sudah jadi nyonya besar, tapi gunjingan terus berjalan. Inem kebetulan ketemu bekas suaminya. Brontoyudo cemburu sampai linglung, melihat Inem masih intim dengan bekas suaminya. Ny. Cokro mendorong-dorong suaminya untuk menyelesaikan masalah ini. Tindakan pertama adalah membuka lamaran babu-babu baru. Maka berduyunlah yang melamar. Babu pilihan disodorkan pada Bronto, tapi Inem seperti tak kenal cemburu. Di akhir film baru tampak keintiman Inem dengan bekas suaminya: Inem mendirikan sekolah asrama yatim piatu dan lain-lain.

Pemilihan kota Surabaya sebagai lokasi syuting pun cukup beralasan. Selain Nyak Abbas “pulang kampung” ke Jawa Timur, dia ingin benar-benar menunjukkan pada Indonesia bahwa Jawa Timur khususnya Surabaya memiliki potensi tersendiri dalam mewarnai perfilman Tanah Air.

Yang menarik di film ini, ikon-ikon kota pun ditampilkan lugas. Mungkin ia hanya ingin memperkenalkan bahwa inilah Indonesia, tapi dengan sentilan-sentilan cukup mengena. Misalnya seperti pengambilalihan swasta (privatisasi), meskipun sekedar urusan menyeberang dari Surabaya ke Madura sebagai tempat kelahiran Brontoyudo melalui pembangunan terminal Tanjung Perak sebagai konsekuensi pembangunan infrastruktur kala itu. Tak hanya itu, dialog-dialog, parikan, kidungan serta bahasa-bahasa prokem dekade ’70an ala komedi Surya Group menjadi bumbu pemanis dalam film arahan sutradara asal Malang tersebut. Walaupun tak selaris yang pertama, film Inem jilid 2 ini cukup memberikan warna tersendiri bahwa film komedi pun dapat peka jaman.

Siapa Nyak Abbas Akup?

Nyak Abbas Akup

Nyak Abbas Akup

Dalam perfilman nasional, nama Nya Abbas Akup tak bisa dilupakan walaupun sineas kelahiran Malang, 22 April 1932 ini tak pernah mendapatkan Piala Citra. Satu-satunya penghargaan yang pernah diraihnya adalah Piala Antemas untuk film terlaris 1978, Inem Pelayan Sexy (1977) dan Piala Bing Slamet untuk film komedi terbaik pada Festival Film Indonesia 1991, Boneka Dari Indiana.

Meski piala untuk Akup adalah penghargaan khusus—mirip sineas Alfred Hitchcock yang sepanjang kariernya juga tak pernah mendapat Piala Oscar—anak didik Usmar Ismail yang mengawali kariernya sebagai asisten sutradara dalam film Kafedo (1953) ini seperti kurang diakui juri Piala Citra lantaran penghargaan ini kebanyakan diraih oleh film-film drama. Walau filmnya berbobot dan sukses menghasilkan laba, sosok pendiam yang jauh dari kesan lucu ini seperti tenggelam dibandingkan nama besar Usmar Ismail, Sjuman Djaja, Teguh Karya, Wim Umboh, Arifin C. Noer dan Asrul Sani.

Salim Said, pengamat politik yang juga kritikus film, menjulukinya “tukang ejek nomor wahid” atas kiprahnya “menampilkan sesuatu yang baru di tengah sejumlah komedi konyol gaya sandiwara” (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991). Bila Usmar Ismail dapat disebut sebagai “Bapak Film Nasional”, maka Nya Abbas Akup, pria berdarah Aceh yang wafat pada 14 Februari 1991, dapat menyandang julukan “Bapak Film Komedi Indonesia”.

Suasana syuting Inem Pelayan Sexy

Suasana syuting Inem Pelayan Sexy

Ia memang pantas menyandangnya, lantaran generasi film komedi yang dipelopori pelawak kondang Bing Slamet, Benyamin S., Djalal, Ateng, sampai duet Kadir-Doyok-yang pertama kali dipertemukan dalam film Cintaku Di Rumah Susun (1987)–lahir dari tangannya. Akup juga dinilai menyegarkan aspek bertutur film komedi di tengah komedi konyol slapstick.

Hampir semua sub genre film komedi juga disentuh Akup. Sebutlah Drakula Mantu (1974, a.ka. Benyamin Kontra Drakula) yang menyajikan horor komedi. Dalam Tiga Buronan (1957) ada black comedy dan komedi aksi. Sedangkan di Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) ada parodi ketika di masa itu Indonesia sedang tergila-gila pada popularitas film koboi Django, Lone Ranger dan Bonanza. Lalu ada komedi musikal Dunia Belum Kiamat (1971) sampai kritik sosial dalam Inem Pelayan Sexy (1976) yang menjadi masterpiece-nya.

Sumber info dan foto: Sinematek Indonesia dan Perpustakaan Nasional RI