Lebaran untuk Ibu: ingatan dari Pasar Klewer

Menjelang Lebaran, banyak cerita—terkadang merayakan, terkadang mengkritik—mengenai persiapannya, barang-barang yang ditawarkan, hingga meningkatnya tingkat konsumsi di bulan puasa dan lebaran. Tapi bagaimanakah cerita di balik produksi dan konsumsi barang-barang tersebut? Berikut adalah kenangan seorang pekerja di Surabaya membantu bapak ibunya berdagang batik menjelang lebaran di Pasar Klewer, Solo.

Kerja, Pasar · 30 July 2013 · Keywords: ·
Pengrajin-Batik-Cap

“Ayo, anterin ibu nagih…”

Wajah Ibu nongol di pintu kamarku. Hari terakhir puasa siang itu, cukup terik. Agak bersungut, akupun  bangkit dari tempat tidurku. Tapi tak berani menolak. Aku tahu ke mana aku akan pergi mengantar dan untuk apa.

Dengan vespa PX ku, kuantarkan ibuku ke Pasar Klewer. Tidak seperti saat ini yang sudah punya beberapa saingan, saat aku remaja kala itu, pasar ini menjadi satu-satunya pusat perdagangan batik di kota Solo. Bagi orang tuaku yang mata pencahariannya sebagai pengrajin batik, maka pasar itu juga menjadi gantungan hidup buat kami sekeluarga. Bapak ibuku memang tidak memiliki kios di dalamnya; terlalu mahal untuk kami. Tapi kami menyetor produksi batik kami ke beberapa kios di sana.

Pengrajin kecil seperti orang tuaku, harus bisa mengikuti selera pasar yang berganti dengan cepat, dengan modal pas-pasan.  Setiap ganti trend, dibutuhkan proses uji coba yang seringkali tidak mudah. Ibu perlu membeli barang yang jadi trend setter itu dari si empunya kios. Jika pemilik kiosnya baik hati, terkadang ibu dipinjaminya tanpa harus membeli. Kain contoh itu kemudian akan dianalisanya bersama bapakku. Bagaimana kira-kira proses pembuatannya, menggunakan pewarna apa saja. Tanpa ada perlindungan hak cipta, motif baru yang muncul di pasar boleh dijiplak siapa saja. Dengan harga jual yang lebih murah. Begitulah hukumnya.

Setelah berdiskusi dengan bapak, ibu akan menghubungi tukang pembuat cap untuk memesan cap yang ia inginkan. Setelah cap selesai dibuat, barulah dimulai proses pengerjaannya oleh pegawai kami. Mengecap, mewarna, terkadang lilinnya perlu diremukkan dengan teknik tertentu agar pewarnaannya menjadi bagus. Jangan harap sekali coba bisa berhasil menjiplak sesuai contoh. Beberapa kali aku melihat, kegagalan yang terjadi berulang membuat bapak atau ibuku frustrasi.

Setelah akhirnya produk tersebut jadi sesuai keinginan pemilik kios, barulah kami menyetorkan padanya.  Karena kami tidak memiliki mobil saat itu, biasanya produk jadi tersebut kami angkut dengan menggunakan jasa becak langganan. Jarak rumahku dengan pasar Klewer cukup jauh, sehingga harga jasa becak juga lumayan mahal. Setelah proses serah terima, jangan dibilang kami bisa mendapatkan langsung pembayaran produk. Paling cepat baru sebulan setelahnya; separo pembayaran. Terkadang baru lunas setelah beberapa kali cicilan pembayaran. Itu bisa makan waktu dua-tiga bulan lamanya. Kami harus rajin-rajin datang ke pasar Klewer untuk menagih cicilan agar nota cepat lunas dan dapur tetap mengepul. Biasanya aku sering diminta ibu mengantarnya menagih agar menghemat uang becak. Naik angkutan kota memang murah, tapi sangat lama sampai di tujuan. Sebagai anak tertua, aku lah yang sering ia andalkan membantu mengantarnya ke pasar.

Saat kami sampai di pasar siang itu, suasana agak berbeda. Belum lewat tengah hari, tapi sudah beberapa pemilik kios menutup tempatnya.  Pasar yang biasanya bejubel penuh menjelang akhir puasa, siang itu malah agak sepi. Kios pertama yang dituju ibuku, berakhir dengan gelengan kepala pemiliknya.

Pewarna dan peluruh malam. Foto: Ayos Purwoaji, hifatlobrain.net

Pewarna dan peluruh malam. Foto: Ayos Purwoaji, hifatlobrain.net

“Maaf ya Bu, ndak ada sisa, nih. Saya butuh buat lebaran besok…” katanya ringan.

Tapi bukan hanya dirimu yg akan merayakan lebaran besok, gerutuku dalam hati. Kami sekeluarga juga akan merayakannya. Kalau ibuku tidak punya uang untuk menghidupi kami besok, lalu bagaimana nasib kami? Berhutang pada siapa?

Di kios kedua, pemiliknya mencatatkan cicilan pembayarannya di nota kumal yang dibawa ibuku. Aku tidak tahu berapa banyak cicilannya saat itu, tapi paling tidak, ada sedikit uang untuk kami bawa pulang.

Kios ketiga ternyata sudah ditutup oleh pemiliknya yang pulang lebih awal. Ibu mendesah kecewa melihat kios yang telah terkunci rapat itu. Aku bersedih diam-diam untuknya. Aku bisa merasakan kecewanya. Oh, ayolah Tuhan, bantu kami dengan sedikit rejeki untuk merayakan lebaran besok….

Kios keempat yang kami singgahi ternyata masih buka. Diam-diam, aku berharap  riang.

Pemiliknya ramah dan banyak bicara. Ia mengajak ibuku bicara panjang lebar sebelum meminta nota tagihan yang dibawa ibu.

“Saya tuliskan segini ya, pasar lagi sepi ini… Dianggap lunas saja ya…” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang berikut notanya kembali pada ibuku.

Ibu membaca notanya sebentar. “Lho, kan masih kurang…” protes ibuku kemudian.

“Ahh… lunas saja laah… pasar lagi sepi ini, mbakyu…. Sudahlah…” kata si pemilik kios, enteng. Senyum lebar menghiasai wajahnya, tanpa rasa salah.

Sekarang mendidih darahku mendengarnya. Jahatnya, orang ini!  Dan yang ia perlakukan dengan jahat itu adalah ibuku! Ibuku yang sedari tadi berkeliling mencarikan uang untuk menghidupi kami semua agar bisa merayakan lebaran esok pagi. Dan orang ini, begitu entengnya mengurangi rejeki yang menjadi hak kami sekelurga, sekaligus melanggar komitmen dagangnya sendiri!

Dengan muka panas menahan marah, aku akhirnya menyelutuk geram, “Kalau Ibu tidak mau memberikan semuanya, maka sisa yang masih Ibu simpan itu akan menjadi uang haram !”

“Tuh, bu… anakku yang tidak ikhlas tuh…” kata ibuku menimpali ucapanku.

Tapi si pemilik kios cuma tersenyum ringan dan tetap cuek. Pasrah, ibuku akhirnya pamitan pergi. Sepertinya ia mau mampir lagi ke kios lain, tapi semakin banyak yang tutup. Semua nampaknya sibuk bersiap menyambut lebaran. Semua nampaknya sudah mencukupi dirinya dengan rejeki masing-masing; kecuali kami. Ada getir yang mengiris hatiku, tapi tak terucapkan.

“Kok gitu sih..?” kataku pelan sambil berjalan gontai di sebelah ibu, melewati gang-gang pasar yang sempit dan makin sepi.

“Ya itulah kenyatannya…” jawabnya.

Tidak ada kalimat kekecewaan yang diucapkannya di depanku. Sudah berapa kali kah hal ini kau hadapi, bu? Sudah sering kah? Kalau sisa uang yang tak dibayarkan itu adalah keuntungan dagangmu, maka kau dan bapak, bekerja keras sekian bulan lamanya hanya untuk menerima uang modalmu kembali. Sama persis jumlahnya; tanpa laba.

Beberapa kali sebelumnya ibu sempat melontarkan pada kami anak-anaknya, agar di antara kami tidak ada yang berkeinginan menjadi pengrajin batik seperti dirinya. Aku tahu kini, bagaimana sulitnya mengais rejeki dari sana.

Tahun-tahun di mana kemudian aku telah menikah dan merantau mengikuti penempatan dinas suamiku, seringkali kenangan ini muncul kembali. Jika kemudian setiap  bulan puasa kami sibuk berdesak-desakan mengikuti arus belanja di akhir bulan puasa, aku tahu kenapa. Di manapun aku tinggal berjauhan dari orang tuaku, lebaran akan terus membawaku pulang rumah.


Nur sayang sekali tidak memiliki foto dari masa kecilnya ini. Untuk artikel ini, foto (CC BY-NC-SA) dari Ayos Purwoaji, hifatlobrain.net.