Beberapa band memang ditakdirkan untuk punya pesona tersendiri. Kau bisa menyebut banyak nama. Mulai dari The Doors, The Beatles, The Rolling Stones, Led Zeppelin, Guns N Roses, Motley Crue, Slank, hingga nama band bawah tanah macam Pure Saturday atau Mocca.
Waktu mendengar band-band tersebut untuk pertama kali, ada rasa tergetar. Lalu sekujur bulu kuduk meremang. Ini adalah band-band terpilih. Mereka punya pesona. Tak semua band punya pesona macam itu.
Perasaan itu juga saya alami waktu menonton Silampukau untuk pertama kali. Kala itu Surabaya sedang hangat seperti biasa. Kedai kopi Blackbird menjadi saksi bisu pertemuan saya dengan Silampukau untuk pertama kalinya. Saat menonton penampilan live Kharis Junandaru dan Eki Trisnowening, saya langsung merasa bahwa band ini spesial.
Ayos Purwoaji jadi orang pertama yang berjasa mengenalkan indahnya musik Silampukau pada saya. Saat itu, di pertengahan tahun 2010, Ayos memberitahu tentang band ini. Silampukau? Nama yang aneh. Syahdan, Silampukau sendiri adalah kosakata Melayu kuno yang diambil dari sebuah manuskrip tua mengenai Laksamana Cheng Ho, artinya Kepodang, spesies burung yang suaranya merdu.
Ia pun menunjukkan laman Myspace Silampukau. Ah, hanya ada satu lagu disana. Band tidak niat, pikir saya waktu itu. Tapi ketika didengar, alamak, mendingan Bob Dylan saya suruh cuci piring saja daripada menyanyi. Lagu berjudul “Berbenah” saat itu begitu membius. Menghipnotis. Dengan lirik yang halus tapi metaforis, renyah sekaligus sendu. Musiknya sederhana, hanya berbaju gitar akustik, dengan sedikit aksen akordeon. Tapi, dibalik kesederhanaan musiknya, terkandung kekuatan besar. Hal yang sama terjadi pada lagu-lagu Bob Dylan atau Iwan Fals saat mereka muda.
Seketika, saya merasa yakin bahwa Silampukau bukan sekedar band biasa. Liriknya mudah dicerna tapi berhasil menguak banyak kisah. Musiknya pun tak kalah bersahaja, tapi tetap bernuansa elegan.
Ada banyak alasan untuk jatuh cinta dengan Silampukau. Kesederhanaan menjadi salah satunya. Kau bisa bercanggih-canggih bermain alat musik; menarikan jemari secepat mungkin di atas fret gitar; atau melengkingkan suara hingga memecah gendang telinga. Namun, seringkali kesederhanaan juga lah yang akan memukaumu. Kurang sederhana apa lagu “Imagine” atau “Blowing in the Wind”?
Ya, sesederhana itu musik mereka. Hanya berbekal gitar akustik, Eki dan Kharis berdendang dan membuat orang terpana.
Musik mereka banyak dipengaruhi oleh The Dubliners, band veteran dari Irlandia, dan lirik lagu Silampukau banyak terinspirasi dari kisah hidup sehari-hari kaum urban. Saya jadi ingat kata-kata teman saya, Oo Zaky yang pernah mengatakan, “Kaum urban adalah kaum yang selalu gelisah.” Mungkin itu sebabnya, lirik-lirik Silampukau banyak bercerita mengenai problematika dan kegamangan hidup masyarakat kota.
Secara jujur, melalui liner note ini saya harus membuat pengakuan: saya merupakan penggemar berat lirik-lirik berbahasa Indonesia buatan Kharis Junandaru. Saya mulai memperhatikan beberapa lirik karyanya sejak ia tergabung dalam band Greats. Menurut saya, Kharis merupakan salah satu penulis lirik terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia bisa menulis lirik lagu dalam dua bahasa dengan sama baiknya.
Ini serius. Bukan sekedar jilatan seorang fans pada musisi idolanya. Kau bisa mencari siapa orang Indonesia yang bisa menulis lirik Indonesia dengan bagus. Mungkin bisa dihitung oleh kesepuluh jari. Apalagi kecenderungan band-band bawah tanah masa kini adalah menulis dalam lirik bahasa Inggris.
Menulis lirik berbahasa Inggris dianggap lebih keren. Namun, sebetulnya ada sebuah kesusahan yang tak terperi untuk menghindari jebakan-jebakan klise saat harus menulis lirik dalam bahasa Indonesia. Menulis lirik bagus dan tak biasa dalam bahasa Indonesia adalah tantangan yang sangat berat. Hasilnya hanya ada dua: bagus atau norak. Dan Kharis masuk golongan bagus, tentu saja. Yang norak? Coba simak lirik lagu bahasa Indonesia dari Gugun and Blues Shelter.
Ehm. Tapi otak di balik dalam album Sementara Ini bukan hanya Kharis seorang. Eki pun merupakan penggubah lirik jagoan. Bila Kharis banyak menggunakan frasa baru, majas yang elok, dan kosakata yang nyaris tak pernah dipakai, maka Eki lebih banyak menggunakan metafor kehidupan sehari-hari untuk bercerita. Dalam lirik buatannya, Eki banyak mengangkat problem kehidupan masyarakat kota namun disikapi dengan kepala tegak dan tidak menye-menye.
Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis
Lirik balada tersebut lantas digenapi oleh timbre suara Eki yang sangat khas. Kombinasi ini adalah perpaduan yang nyaris sempurna.
Saya pikir, dalam hal mengolah lirik, mereka berdua pantas disejajarkan dengan Arian Arifin, Otong Koil, Eka Annash, Jimmy Multhazam, dan Ahmad Dhani sewaktu masih di Dewa 19 dan belum jadi sampah peradaban non daur ulang.
Tapi setiap apapun pasti punya dua sisi. Band dengan musikalitas bagus, bisa mempesona banyak orang, toh bisa dengan mudah mematahkan hati para penggemarnya. Beatles pecah karena masalah-masalah sepele. Axl Rose kembali jadi brengsek, membuat kompatriotnya minggat satu persatu dan menyisakan ia yang sudah berbotox sendirian.
Begitu pula Silampukau. Saya patah hati sewaktu mereka menyatakan diri buyar pada tahun 2011. Menyedihkan betul ketika menyadari bahwa Silampukau adalah band hebat dengan umur pendek. Padahal, saat itu mereka baru sempat mengeluarkan satu EP “Sementara Ini” sebelum akhirnya bubar jalan. Perpisahan ini sepertinya mudah saja dinubuatkan. Eki dan Kharis adalah dua orang dengan kemampuan yang sama hebatnya, namun dengan karakter yang sama sekali berbeda. Duo macam ini memang rawan sekali menghadirkan konflik hebat yang berujung pada bubarnya band. Seperti Lennon dan Mc Cartney; Jagger dan Richards; Axl dan Slash; hingga Dhani dan Ari Lasso.
Sementara para penggemar mencoba berbesar hati, Surabaya terus mengeluarkan musisi folk generasi berikutnya. Salah satunya Taman Nada, yang dengan terang-terangan mengaku terbentuk karena inspirasi dari Silampukau. (Catatan redaksi Ayorek!: EP self-titled Taman Nada juga telah dirilis dan dapat diunduh di SUB/SIDE.)
Tapi nothing last forever, even cold November rain.
Bubarnya Silampukau pun tak abadi. Kabar baik berhembus. Sejak awal 2014, Silampukau manggung lagi. Kepodang kembali bernyanyi. Sepertinya, Eki dan Kharis sudah berhasil menuntaskan semua aral. Mereka pun kembali menguarkan energi dan pesona yang sama seperti saat pertama kali mereka terbentuk dulu. Masih sederhana namun tetap memukau.
Waktu-waktu senggang pascabubar pun memberikan ruang yang lebih lapang bagi Kharis dan Eki untuk menulis beberapa komposisi baru. Ingatan penggemar pun kembali segar. Lagipula mereka memang butuh dopamin berupa lagu-lagu anyar setelah ditinggal cukup lama oleh Silampukau. Bahkan, menurut kabar angin dari sumber A1 yang saya dapatkan, beberapa materi baru akan dipersiapkan untuk LP yang sedang mereka garap.
Sementara ini, dengarkan dulu EP versi remastered yang ada, sembari menanti kado yang layak ditunggu dalam waktu yang tak lama lagi: album baru Silampukau!
Album ini menggunakan lisensi Creative Commons BY-NC-SA. Anda bebas untuk mengunduh, mengolah-ulang dan membagikannya secara gratis asal mencantumkan sumber materi ini, tidak mengambil keuntungan komersial dan wajib menggunakan lisensi yang sama. Unduh lagu dan sampulnya dari archive.org.
Pingback: SILAMPUKAU RILIS ULANG “SEMENTARA INI” |()
Pingback: Musik Kota: Silampukau « Rujak()
Pingback: SUB/SIDE Rilis Ulang EP Silampukau – Ronascent Webzine()
Pingback: Sementara Menunggu | Foi Fun!()
Pingback: Dosa, Kota, & Kenangan Dari Surabaya | LeonHonggo()