(Untuk) Apa dan Siapa kah Media Alternatif?

Perdebatan apa yang alternatif vs mainstream, intelektual vs pretensius masih sering kita jumpai, tapi seringkali tidak disertai landasan pengetahuan, sejarah dan posisi diri, terutama dalam konteks lokal.

Karena itu, mari bekerja sama membangun isu, wacana, gagasan, praktek, berbagi sumber, hingga kegiatan/acara apa yang nantinya bisa dibongkar-pasang, dipadu-padankan sesuai dengan kebutuhan bersama maupun kelompok. Dengan demikian, kita dapat saling membantu dan memahami berbagai tantangan dan peluang yang terkadang tak kasat mata.

Media · 6 May 2015 · Keywords: ·
Processed with VSCOcam with lv03 preset

Alternatif itu apa, dan untuk siapa? Alternatif dibandingkan apa? Apakah hanya sekedar alternatif variasi di tengah banyaknya media yang juga mendaku diri sebagai yang “alternatif”?

Ini adalah pertanyaan yang paling sering dihadapi dan membuat gamang bagi siapapun yang mendaku bergerak di apa yang kita sebut sebagai “media alternatif”. Sementara hampir semua yang “alternatif” memiliki potensi untuk jatuh dalam sekedar euforia, atau terserap dalam arus utama (mainstream) dan kehilangan kekuatannya.

Dan itulah pertanyaan yang dilontarkan Hizkia Yosie Polimpung sebagai pemantik diskusi pada saat The Protester diluncurkan. Belum lagi, pilihan nama The Protester, nama yang dianggap seperti sekedar suara nyaring; bergema, tapi tak cukup sebagai bahan bakar untuk bergerak, apalagi yang melibatkan orang banyak. Pertanyaan ini disampaikan Yosie sambil mengutip Ulrike Meinhof dari Red Army Faction yang tersohor, “Protest is when I say this is something I don’t like. Resistance is when I put an end to what I don’t like. Protest is when I say I refuse to go along with this anymore. Resistance is when I make sure everybody else stops going along too.”

Dua isu mendasar yang langsung mengena kepada kami, The Protester, sebagai media alternatif belia yang menamai dirinya secara agak heroik dengan nada protes. Bagaimanapun, the Protester didirikan dengan kepercayaan bahwa media masih dapat memberikan ruang dan harapan untuk menciptakan bentuk baru kehidupan (dan perlawanan?). Menurut saya, media alternatif adalah—meminjam istilah dari Judith Butler—sebuah excitable speech: laku yang merujuk kepada politik performatif, yaitu aktifitas yang memungkinkan pelakunya untuk mempermainkan bahasa sebagai reaksi atas peristiwa yang terjadi.

Lalu mengapa aktifitas permainan bahasa yang dianggap “remeh-temeh” itu dikaitkan dengan aktifitas yang bermuatan politis? Menurut saya, proses menulis yang dituangkan melalui media merupakan tindakan politik itu sendiri, bukan sekedar ekses dari residu emosional yang dikeluarkan sesudahnya. Jadi seremeh-temeh apapun protes atau variasi alternatif media, “kerja intelektual”-nya adalah bentuk dari performa politik. Selain itu, media alternatif memiliki potensi dan kemampuan untuk merangsek, dalam menghadirkan basis politis dari hasil jurnalistik media itu sendiri.

Nu’man Zeus Anggara—salah satu perawi kebudayaan yang tersohor, yang kini hidup zuhud dan menjauhi aroma keduniawian dengan meninggalkan rokok, tapi menggantinya dengan vape—mengingatkan bahwa perdebatan media alternatif atau mainstream sebagai pola gerak informasi yang menandai zaman baru, seharusnya tidak terus direproduksi agar tidak kontra-produktif dengan semangat awalnya. Ia mengingatkan, bahwa media alternatif pun bisa menjadi media mainstream bagi pembaca yang memang selalu memiliki rujukan untuk mengetahui sesuatu atau kecenderungan pilihan wacana yang dihadirkan oleh media alternatif tersebut. Hematnya, energi untuk perdebatan itu digunakan untuk membongkar alasan pemilihan media ”ini-itu” bagi pembacanya.

Pemilihan media yang menjadi rujukan pembaca seharusnya dibongkar, agar kita dapat mengetahui dan mempelajari, apakah pilihan itu merupakan kecenderungan bacaan yang sifatnya kritis/arbitrer, ataukah dengan sengaja dikonstruksi oleh media tanpa disadari pembacanya. Jika kita luput memperhatikan dan mempelajari media, beserta susunan sistem, praktek, dan alat-alat yang membentuknya, maka kegagapan dalam mengembangkan kapasitas perlawanan adalah sebuah keniscayaan. Ujungnya, ketidakmampuan dan kegagapan kita malah menguntungkan kepentingan Politik dalam merepresi praktik keseharian media hari ini dengan berbagai legitimasi.

Bab yang Hilang: Perkembangan Internet di Indonesia

Redaksi: Ada beberapa hal yang diungkap dalam dokumenter ini, dengan beberapa "bab yang hilang". Mungkin dapat kita lengkapi?

Redaksi: Ada beberapa hal yang diungkap dalam dokumenter ini, dengan beberapa “bab yang hilang”. Mungkin dapat kita lengkapi?

Film dokumenter Bab yang Hilang: Internet Perlawanan Zaman (produksi Kompas TV, 2012, 20 menit), yang kami tonton bersama di C2O library & collabtive pada 24 April 2015, menggambarkan bahwa Internet pada zaman menjelang akhir Order Baru memiliki pengaruh yang penting bagi para intelektual baik di Indonesia maupun di luar negeri. Internet memberi wadah untuk berkorespondensi, saling berkabar tentang situasi politik terkini, juga sebagai wahana untuk menghimpun kekuatan dan wacana untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Bentuk media yang dibahas dalam dokumenter itu terutama adalah milis sederhana dengan nama Apakabar yang muncul pada tahun 1990. Tampak bahwa medium saat itu sudah sangat berbeda dengan tampilan media alternatif kebanyakan sekarang, yang lebih mengandalkan situs web dan media sosial. Hari ini, milis sebagai sarana diskusi dan berbagi informasi sudah sangat jarang digunakan.

Digambarkan pula dalam dokumenter tersebut, bagaimana sensor yang dilakukan rezim Orde Baru begitu ketat membatasi kerja-kerja jurnalistik media massa dan cetak yang ingin membongkar praktik kotor dan represif pemerintah. Beruntungnya, pemerintah justru abai terhadap media berbasis internet yang dianggap masih belum memiliki kekuatan politis untuk “mengganggu” negara. Media-media yang dibredel oleh pemerintah adalah media cetak—yang dikatakan Hilmar Farid dalam dokumenter ini, cukup moderat—seperti Editor, Tempo, dan Detik. Pembredelan tiga media cetak itu berlangsung pada tahun 1994, yang secara kebetulan juga merupakan periode awal kemunculan internet di Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan media berbasis internet dianggap sebagai cara yang paling masuk akal agar lolos dari ancaman sensor. (ed. Lebih jauh mengenai sejarah perkembangan Internet dan media alternatif di Indonesia, cek daftar bacaan di bawah.)

Media alternatif berbasis internet waktu itu memang hanya digunakan oleh sebagian kecil mahasiswa, intelektual, dan orang-orang yang aktif di berbagai organisasi atau gerakan. Tentunya, kita juga harus berhati-hati untuk tidak membatasi jangkauan gerakan berbasis Internet hanya berdasarkan statistik orang-orang yang memiliki akses Internet. Kenyataannya, informasi yang disebarkan di Internet juga disebarkan melalui warnet, fotokopi, dan outlet lainnya.

Namun yang menjadi pembeda adalah, meski dikuasai hanya oleh segelintir orang, media berbasis internet ini digunakan oleh “kelas menengah ke atas” yang memiliki peran dan akses politik. Adanya media berbasis internet pada saat itu diarahkan untuk mendukung kerja-kerja gerakan dalam menggalang wacana dan gagasan untuk menyatakan sikapnya terhadap pemerintah Orde Baru.

Kemunculan media berbasis internet pada waktu awal tahun ’90an, tidak dapat dipungkiri merupakan gerak zaman yang menandai bahwa ide dan gagasan tidak pernah bisa ditaklukkan oleh represi fisik macam apapun. Bahwa kerja intelektual juga akan bersinggungan dengan kerja gerakan mengenai konteks ideologis-politis dimana media itu muncul.

Media Alternatif Hari Ini: Bukan Sekedar Perlawanan, tapi juga Pengorganisasian

Lalu bagaimanakah dengan media alternatif hari ini? Bagaimana media alternatif bisa menjadi wadah pendidikan kritis dan beretika untuk perubahan? Mengapa media yang mengusung gagasan kiri macam Media Kerja Budaya maupun rumahkiri.net justru tumbang pasca keruntuhan rezim Orde Baru? Gagasan yang sempat jongkok dan tiarap pada zaman Orde Baru itu seharusnya, dengan logika dangkal saya, semakin tumbuh dan berkembang pasca kejatuhan Orde Baru, tapi nyatanya justru sebaliknya. Berbagai media alternatif mungkin banyak bertumbuh seperti jamur di musim hujan, tapi hanya sedikit yang dapat bertahan dan berkembang.

Permasalahannya banyak dan rumit. Tiap media—massa maupun alternatif—perlu mencari kontributor, menyunting tulisan/karya yang masuk, memverifikasi dan menjaga mutu konten, merancang tampilan muka, merawat perangkat teknologi, domain web, menjalin komunikasi dengan jaringan, dan sebagainya. Bedanya, media alternatif seringkali tidak memiliki modal finansial, dan lebih bergantung pada modal pertemanan dan semangat perjuangan. Ini mungkin bisa bertahan beberapa tahun. Namun ketika modal pertemanan dan semangat ini habis (terutama ketika tanggungan meningkat), seringkali tidak ada strategi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan misi dan peningkatan dampak.

Masalah teknis yang kelihatannya rece ini sebenarnya adalah salah satu dari banyak masalah yang penting dan pelik bagi keberlangsungan dan dampak media alternatif itu sendiri. Ada asumsi bahwa mengelola media online itu mudah, bisa dilakukan hanya berlandaskan kesukarelaan dan semangat, juga passion. Pada praktiknya, di balik penampilan yang terlihat instan itu, ada banyak pengeluaran nyata, tidak hanya untuk biaya peralatan komputer dan koneksi internet, tapi juga waktu, pikiran, energi, komunikasi, transportasi yang dihabiskan untuk mengelolanya. Melulu mengandalkan passion dan pertemanan tanpa mengembangkan strategi bertahan beresiko dapat meredupkan semangat dan mempersulit regenerasi. Ujungnya malah membatasi misi, keberlangsungan, dan dampak yang diharapkan.

Melampaui “Sekedar” Pamer Ekspresi dan Pengetahuan

KolekZine di C2O. Foto: Erlin Goentoro

KolekZine di C2O. Foto: Erlin Goentoro

Selain itu, media alternatif kerapkali hanya mentok pada perwujudan ekspresi diri dan pemikiran pendirinya, tanpa memikirkan pihak yang ingin diajak berdialog. Media alternatif atau ”organisasi sempalan-budaya” seringkali hanya berbicara pada diri sendiri, dan luput untuk mendekatkan diri dengan publik yang lebih luas. Sudah ada banyak kritik perihal bagaimana media alternatif harus dapat mengolah kontennya agar lebih tajam tapi tetap luwes bagi pembaca awam. Seringkali media alternatif kesulitan, atau bahkan tidak berupaya, menjangkau publik di luar jaringan pertemanannya. Dengan kata lain, jangkauannya mbulet saja dalam lingkar “alternatif”-nya, entah akademisi, aktivis, musisi, hipster, dan apapun minat pilihannya.

Pertanyaannya adalah, apakah media ini dibuat untuk orang-orang yang sudah mengerti, melakukan, berada dalam lingkaran pertemanan masing-masing, atau untuk yang lebih luas?

Tentu, sah-sah saja membuat media untuk lingkungan internal dan kawan-kawan sendiri. Namun jika yang diharapkan adalah perubahan pola pikir pada publik yang lebih luas dan bukannya sekedar kawan-kawan sendiri, maka media alternatif butuh mempelajari, memahami, dan kadang menjadi, tren. Jika saat ini tren anak muda kelas menengah urban mengarah pada apa yang kerap disebut sebagai hipster pengikut tren (seperti kafe cantik, urban farming, musik/film indie, dan sebagainya), maka pola ini perlu dibongkar dan dipelajari, sama seperti kita perlu membongkar dan mempelajari pilihan media. Tanpa mempelajarinya dengan mawas diri, maka usaha ini lagi-lagi hanya akan mentok pada sekedar perayaan dan euforia, atau perdebatan antara apa yang pretensius/dangkal vs. yang asli/intelektual tanpa perkembangan gerakan yang signifikan.

Bagaimanapun, strategi kultural sangat rentan dikomodifikasi oleh kepentingan ekonomi dan politik tertentu untuk menjadikannya seksi, dan beresiko besar jatuh dalam lingkaran banal produksi-konsumsi budaya. Apakah kita dapat mengembangkan strategi budaya yang dapat membuat kelas menengah berbondong-bondong membaca, melek, mempelajari situasi, serta mampu mengembangkan potensinya dan sekitarnya? Ataukah kita justru larut dalam komodifikasi budaya yang hanya membuatnya seksi dalam riuh perayaan-perayaan festival tapi menguap sesudahnya tanpa pengembangan wacana dan kapasitas gerakan?

Mempertajam Kesadaran Diri

Di sinilah kita perlu mempertajam kesadaran tentang posisi, sejarah, serta kaitan atau keterpisahan kita dengan masyarakat yang lebih luas. Di mana posisi kita saat ini? Mengapa kita berada di tempat kita masing-masing saat ini? Kenapa kita melakukan media alternatif, dan untuk siapa? Ini pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab, dan dalam menjawabnya, kita perlu bersikap luwes, melakukan otokritik kepada diri sendiri, mendengarkan dan memperhatikan pandangan dan kritik dari pihak yang berbeda, mengoreksi diri, dan membuat penyesuaian seperlunya. Kegagalan melakukannya hanya akan membuat media alternatif jatuh kepada mitologosasi dan lomba-lomba mengejar waham kebesaran (delusion of grandeur), menyusul institusionalisasi dan kemesraannya terhadap status quo.

Skena Surabaya saat ini memang hampir selalu terlambat dan agak kedodoran dalam mengejar momentum—yang bisa berupa event, akses informasi, perdebatan wacana dan pemikiran—dibanding poros Jakarta-Bandung-Jogjakarta (percayalah, bahwa poros ini kurang ada hubungannya dengan poros Jakarta-Peking-Moscow yang legendaris itu). Hingga terkadang sentimen ini perlu dilontarkan ke publik Surabaya agar peduli terhadap akses informasi, wacana, dan keterlibatan dalam perdebatan di dalamnya tanpa larut menjadi snob dan menjengkelkan karena terlalu rakus informasi yang digunakan untuk sekedar pamer dan gagah-gagahan referensi—atau dalam bahasa kekinian, gilba (gila bayangan).

Upaya untuk menjadi media dengan tata kelola yang lebih baik akan terus dilakukan oleh media alternatif dengan nama apapun—terutama di Surabaya—karena masalah itu belum rampung sampai saat ini. Namun strategi dan kerja-kerja organisasional ini tidak harus dipikirkan atau dijalankan sendiri, mengingat kini ada banyak media alternatif dan/atau media berbasis online yang tengah berkembang. Meskipun masing-masing memiliki fokus dan isu berbeda, ada potensi bekerja sama membangun isu, wacana, gagasan, praktek, berbagi sumber, hingga kegiatan/acara apa yang nantinya bisa diambil-disesuaikan dengan sudut pandang dan ceruk pembacanya. Dengan demikian, kita dapat saling membantu memahami berbagai tantangan dan peluang yang terkadang tak kasat mata. Dari sini, mudah-mudahan kita dapat saling mempelajari, mengkritik, dan membantu di mana dan mengapa kita memiliki kekuatan dan kelemahan tertentu, dan bagaimana kita dapat menggunakannya untuk menghadapi tantangan dan peluang tersebut.


Untuk membaca lebih lanjut mengenai Internet dan media alternatif, berikut adalah beberapa referensi yang dapat diakses online, atau tersedia di C2O library & collabtive. Tentunya tidak komprehensif dan berdasarkan apa yang kami tahu saja. Jika memiliki referensi lainnya, silakan tambahkan di komentar di bawah.

Beberapa media alternatif online

Kajian/bacaan selanjutnya

  • Austin, JL. 1979. Performatives Utterances. Philosophical Papers. (hal 233-252). Oxford: Clarendon Press [PDF tersedia di berbagai situs ebook] Austin membahas speech act dalam setiap performa sebuah aktifitas intelektual. Sejauh mana determinasi dan jangkauannya melampaui yang global maupun yang lokal-spesifik.
  • Atton, Chris. 2006. Alternative Media. London: Sage Publications. [PDF tersedia di berbagai situs ebook]
  • Memberi gambaran yang lebih besar mengenai media alternatif, termasuk zine (bab 3), sehubungan dengan perubahan media.
  • Boellstorff, Tom. 2010. “Zines and Zones of Desire: Mass-Mediated Love , National Romance , and Sexual Citizenship in Gay Indonesia.” The Journal of Asian Studies 63 (2): 367–402. Tom mengkategorikan majalah-majalah publikasi LGBTIQ sebagai zine. Topik gender & seksualitas juga sebenarnya sangat sering dibahas dalam media alternatif.
  • Duncombe, Stephen. 1997. Notes From Underground: Zines and the Politics of Alternative Culture. London & New York: Verso. [Tersedia di C2O. PDF tersedia di berbagai situs ebook.] Sejarah zine dan penerbitannya di Amerika.
  • Hill, David & Sen, Krishna. The Internet in Indonesia’s New Democracy. London & New York: Routledge, 2005. [Tersedia di C2O. PDF tersedia di berbagai situs ebook]
  • Howley, Kevin. 2010. Understanding Community Media. Sage Publications. [PDF tersedia di berbagai situs ebook online]
  • Tidak sekedar membahas zine, tapi membahas berbagai bentuk media komunitas dan warga.
  • Juliastuti, Nuraini. 2006. “Whatever I Want: Media and Youth in Indonesia before and after 1998.” Inter-Asia Cultural Studies 7 (1): 139–43. doi:10.1080/14649370500463786. Menelusuri perubahan media dan anak muda sebelum dan sesudah 98, sehubungan dengan pers mahasiswa dan zine.
  • Juliastuti, Nuraini. 2008. “Alternative Space as New Cultural Movement : Landscape of Creativity.” In Indonesia 10 Years after. Amsterdam: KITLV in cooperation with ASiA/University of Amsterdam and Inside Indonesia. http://kunci.or.id/articles/alternative-space-as-new-cultural-movement-landscape-of-creativity/.
  • Lievrouw, Leah A. 2011. Alternative and Activists New Media. Cambridge: Polity. [PDF tersedia di berbagai situs ebook]
  • Little Magazines, koleksi pembahasan majalah mandiri, antara lain n+1, Jacobin, Baffler, The New Inquiry, Lapham’s Quarterly, oleh Nieman Lab.
  • Lim, Merlyna, banyak membahas Internet dan media [tersedia online]
  • Nugroho, Yanuar. Cek publikasinya di sini.
  • Purbo, Onno W. Profil dan karyanya dapat dibaca di sini.