Sekilas Ruwatan Murwakala di Museum Kesehatan

Sabtu, 9 November yang lalu, Museum Kesehatan di Jalan Indrapura menggelar ruwatan, ritual yang dilakukan untuk memulihkan keadaan seperti sedia kala (pada ruwatan desa atau daerah yang baru kena musibah) atau ritual untuk membebaskan seseorang dari nasib buruk yang akan atau sudah menimpanya (misalnya anak yang lahir prematur atau orang yang berat jodoh).

Budaya · 15 November 2013 · Keywords: , ·
RuwatanMuseumKesehatan-03

Ketika memasuki aula Museum Kesehatan Sabtu, 9 November, kami sudah terlambat. Betapa tidak, lakon Murwakala sudah dimainkan ki dalang. Lagi seru-serunya lagi, saat Betara Kala mengejar-ngejar Jaka Jatusmati untuk dimangsa. Perhatian saya pun buyar, terbelah antara lakon di layar kain yang menggelegar dengan mereka yang menghadiri acara ruwatan.

“Ada 80 peserta yang diruwat,” kata panitia, “mulai bayi berumur beberapa bulan yang masih menyusu ibunya, hingga lelaki-perempuan berumur tigapuluhan.” Anak-anak? Banyak juga yang diruwat, dan tingkah mereka ‘nggelidik’ mirip kitiran. Berlari ke sana-ke sini, tak tahan duduk di kursi. Namanya juga bocah, tak mungkin dipasung mirip lidi.

“Banyak juga Orang Jawa modern yang percaya pada ruwatan,” bisik saya kepada kawan antropolog dari Jogjakarta. Dia tersenyum sebelum menjawab, ”Acara ruwatan yang diadakan Hotel Ambarukmo lebih banyak lagi pesertanya. Ratusan. Setiap peserta wajib membayar satu setengah jutaan untuk mengikuti prosesi acara.”

Wow, saya jadi berpikir. Acara ruwatan yang diselenggarakan oleh Museum Kesehatan di Jalan Indrapura Surabaya kali ini hanya memungut bea Rp.250.000 bagi setiap peserta. Bahkan, peserta yang tidak mampu boleh memberi sumbangan semampunya. Acara yang sama dilakukan terakhir kali tahun 2010. Jadi sudah tiga tahun lalu. Lucunya, tidak semua peserta Orang Jawa. Ada juga keturunan Tionghoa, Arab, Madura, bahkan si Pari, bule mantan mahasiswa antropologi, iut-ikutan diruwat. Dia memang iseng, mencoba memahami budaya Jawa.

Saya pernah menghadiri ruwatan bumi di sebuah desa lereng Gunung Merapi saat Merapi meletus. Namun ruwatan di depan saya lain. Ini jenis ruwatan diri, ruwatan sengkolo murwakala, begitu orang biasa menyebut. Yang menjadi pertanyaan saya kali ini, mengapa orang-orang ini mau diruwat? Sekedar melestarikan budaya, atau membuang sial? Jadi saya mencoba mencuri dengar alias nguping keluarga yang mengantar atau mendekati ibu-ibu yang anaknya diruwat, untuk mencari tahu.

RuwatanMuseumKesehatan-01

Foto-foto peserta Ruwatan. Foto: Setiawan Aji (Moeklas)

“Anak saya lahir dengan banyak kesulitan, lalu sakit-sakitan. Jadi saya ikutkan ruwatan,” kata seorang ibu yang berkali-kali membopong anaknya.

Sementara seorang bapak yang ikut ruwatan secara tak langsung berkisah tentang usahanya yang naik-turun. Kebetulan dia kategori janma sukerta, manusia sial, jadi dia berharap setelah diruwat, nasibnya akan membaik.

Apa itu ruwatan?

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dijelaskan secara umum arti  ruwatan, yaitu ritual yang dilakukan untuk memulihkan keadaan seperti sedia kala (pada ruwatan desa atau daerah yang baru kena musibah) atau ritual untuk membebaskan seseorang dari nasib buruk yang akan atau sudah menimpanya (misalnya anak yang lahir prematur atau orang yang berat jodoh).

Iseng saya buka brosur ruwatan yang diberikan museum. Di sana tertulis siapa saja yang perlu diruwat, manusia sial atau janma sukerta macam apa. Tanpa mengurangi makna, saya ringkas saja sebagai berikut:

  1. Anak Ontang-anting alias anak tunggal
  2. Anak yang lahir dalam keadaan terbungkus.
  3. Anak yang lahir tanpa tembuni
  4. Anak yang lahir berkalungkan usus
  5. Anak yang lahir terbelit usus, atau tidak dapat menangis.
  6. Anak yang lahir sebelum waktunya (prematur) – itulah saya :D
  7. Anak yang lahir di tengah perjalanan atau keramaian. Misalnya, si jabang bayi tiba-tiba mbrojol saat ibunya berbelanja ke pasar
  8. Anak yang lahir tatkala matahari terbit.
  9. Anak yang lahir tepat tengah hari.
  10. Anak yang lahir menjelang matahari terbenam, atau waktu matahari terbenam.
  11. Anak yang lemah mental atau cacat fisik lainnya
  12. Dua bersaudara, laki-laki perempuan, laki-laki semua, atau perempuan semua.
  13. Anak kembar, laki-laki semua atau perempuan semua.
  14. Tiga bersaudara, perempuan  –  laki-laki  –  perempuan. Atau  laki-laki  –   perempuan  –  laki-laki
  15. Empat bersaudara, lelaki semua atau perempuan semua
  16. Lima bersaudara, lelaki semua, perempuan semua, atau empat perempuan satu lelaki, empat lelaki, satu perempuan.
  17. Orang yang berperilaku kurang baik.
  18. Orang yang terlalu mencintai duniawi, tidak suka beramal, berat jodoh, dan lainnya.

Dalam kehidupan sekarang, ada beberapa aturan di atas yang tampak tidak masuk akal. Misalnya punya tiga anak lelaki semua atau perempuan semua. Namun ruwatan adalah salah satu bentuk permohonan kepada Sang Pencipta untuk dijauhkan dari kesialan. Misalnya, takutnya ketiga anak akan bersaing untuk memperebutkan harta, memperebutkan pacar dan sebagainya. Itu logika saya.

Begitu juga aturan seperti anak prematur atau terbungkus mesti diruwat. Logika saya sederhana saja. Anak-anak yang dilahirkan seperti ini biasanya mengalami gangguan kesehatan, sehingga makna ruwatan untuk mendapatkan keselamatan, kehidupan yang normal. Walau, kemajuan ilmu pengobatan saat ini sungguh tak terkira.

Bagaimana dengan orang yang berat jodoh, berat rejeki, miskin selalu? Diruwat berarti menghilangkan energi negatif yang melingkupi diri mereka. Dengan diruwat, diri mereka menjadi bersih, sehingga mudah menjalani hidup.

RuwatanMuseumKesehatan-04

Peserta Ruwatan, mengenakan atasan putih dan bawahan bersarung kain mori. Kepala mereka pun diikat kain warna senada. Foto: Setiawan Aji (Moeklas)

Secara umum, mereka yang berniat mengikuti ritual ruwatan dikenai beberapa syarat, di antaranya:

  1. Harus dalam keadaan suci, jadi bagi perempuan tidak sedang menstruasi. Dan semua peserta hendaknya mandi keramas dulu sebelum diruwat.
  2. Melakukan puasa, ada yang puasa weton maupun puasa 3 hari, tergantung keyakinan masing-masing.
  3. Menyimak kisah yang ditampilkan pak dalang. Nah, ini benar-benar susah. Hanya sedikit dari peserta yang benar-benar paham Bahasa Jawa ala pedalangan.
  4. Ihlas, termasuk jika harus dikenakan bea, beramal, dan melakukan syukuran atau tumpengan.
  5. Berdoa kepada Sang Pencipta agar terhindar dari bencana. Dapat juga berdoa semoga kesialannya segera berakhir jika dia merasa terus sial.

Kerna terlambat, kami melewatkan acara pertama seperti peserta yang mengenakan kain mori sebagai bawahan, serta acara sungkem kepada orangtua. Semua peserta, tak peduli bayi umur beberapa bulan, anak-anak, maupun orang dewasa, mengenakan atasan putih dan bawahan bersarung kain mori. Kepala mereka pun diikat kain warna senada. Mereka duduk di kursi terdepan ruangan, untuk menyimak apa yang dikisahkan ki dalang.

Sesaji air dan rujak 8 warna

Sesaji air 7 sumber dan rujak 8 warna. Foto: Ary Amhir

Di depan peserta, sebelum bagian ki dalang dan pesinden melakonkan kisah Batara Kala, ada hamparan meja berisi penuh sesaji. Di antara sesaji itu adalah:

  • Nasi punar/kuning
  • Tumpeng warni songo
  • Jenang warna 7
  • Tumpeng robyong
  • Air 7 sumber
  • Lenga sundhu langit
  • Kupat lepet
  • Palagantung
  • Rujak warna pitu
  • Sekar setaman
  • Pitik, bebek, menthog, banyak, sajodo-2
  • Dan lain-lain

Hewan seperti bebek dan ayam diletakkan dalam kurungan di bawah meja. Baunya harum, karena di atasnya ada kembang setaman. (ini hanya bualan saya, tentu saja baunya semerbak!)

Usai ki dalang mewartakan Betara Kala yang berhasil menundukkan hawa nafsunya, para peserta maju satu demi satu untuk dipotong sedikit rambutnya. Tak peduli dia memakai jilbab atau tidak, rambut wajib dipotong. Ini sebagai perlambang untuk membuang bagian diri yang kotor, untuk dilarung. Setelah itu peserta mendapat air kembang setaman yang digunakan untuk mandi di rumah masing-masing.

Sesaji ruwatan

Pemotongan rambut. Tampak sesaji ruwatan di atas meja. Foto: Setiawan Aji (Moeklas)

Dalam kehidupan serba internet seperti sekarang, banyak bentuk mirip ruwatan ini. Misalnya, orang yang tak sembuh sakit-sakitnya melakukan sedekahan dan bancakan dengan harapan untuk mengusir penyakitnya. Atau anak yang nasibnya sial melulu akhirnya ganti nama dengan sebuah kenduri agar nasibnya membaik.

Kondisi di atas menyadarkan saya, bahwa entah di masa purba, awal peradaban hindu, hingga era google sekarang, tetap ada manusia yang menyadari akan adanya kekuatan ‘tak terlihat’, adikodrati, yang mengatur kehidupan ini. Kondisi inilah yang menghidupkan dan menghidupi budaya ruwatan, apapun bentuknya, disesuaikan dengan kebutuhan. Alam makrokosmos dan mikrokosmos memang saling membelit, mengadu, melingkupi kehidupan,

Diburu kegiatan lain membuat saya melewatkan acara yang menarik, berebut sesaji. Mungkin karena saya begitu yakin, tak mungkin menang berebut dengan mereka yang hadir. Lagipula perut saya sudah kekenyangan disuguhi jajan dan nasi kuning bungkusan oleh panitia. Satu-satunya yang saya incar, sepasang bebek untuk dihadiahkan kepada keponakan, saya yakin akan tetap di tempatnya. Jadi, saat matahari paling terik sinarnya, saya tinggalkan museum, diiringi alunan pesinden dan jaba-jabi nasihat ki dalang. Lain kali saya berharap ikut diruwat.