Kota-kota sedang menempuh hidup baru bersama kaum muda, yang jumlah dan sifatnya sedang tumpah dengan budaya indie (independent) serta keragaman prakarsa subyektif. Karena bantuan macam-macam hal (termasuk teknologi) prakarsa-prakarsa itu dapat mewujud kecil-kecil saja. Namun, ketika berhimpun, mereka membentuk dunia–bukan lagi kota–tersendiri. Apakah kota-kota juga akan berubah menyesuaikan diri dalam dinamika hidup baru ini? Bagaimana kota-kota bertemu dan berbincang dengan mereka?
Belum ada jawaban yang cukup. Justru itu, maka apa kata kaum muda tentang kota, misalnya yang tampil dalam lirik lagu-lagu ciptaan mereka, mungkin dapat menjadi petunjuk.
***
Tidak semua kota menyebabkan orang bikin lagu (atau karya seni lain) tentangnya. Tapi ada kota-kota yang selalu berulang dari masa ke masa mendorong orang menciptakan karya seni tentangnya. Surabaya rupanya termasuk yang demikian.
Surabaya disebut dalam “Surabaya Johnny” pada tahun 1929 dalam suatu musikal Happy End karya kerjasama Bertolt Brecht dan Kurt Weill yang ditampilkan di Berlin. (Catatan redaksi: Versi bahasa Inggris lagu ini juga tampil dalam film Tjokroaminoto.) Pada film King Kong, 1933, Surabaya juga tampil. Di awal abad ke-20, Surabaya memang kota yang makmur. Pada masa itu seolah-olah seluruh dunia memang nampak makmur, terutama buat pemilik perkebunan di tanah-tanah jajahan dan yang terkait bisnis dengannya. Ketika itu Surabaya kota terbesar di Hindia Belanda. Jawa Timur adalah lahan perkebunan besar yang mengirim hasilnya lewat Surabaya ke seluruh dunia, yang ketika itu menganggap tembakau, gula dan teh barang nikmat nan mewah. Kota Malang di pedalaman tiba-tiba membesar dan diperkuat menjadi kota kolonial yang mengurus perkebunan. Maka Surabaya Johnny adalah wajah pelaut petualang yang sepertinya cukup kaya untuk jalan-jalan ke Punjab bersama kekasihnya yang baru berumur 16 tahun (My God…). Seperti King Kong di New York, suatu kota yang sudah metropolis dengan puluhan pencakar langit pada tahun 1933, Surabaya Johnny di Berlin, suatu ibukota kesenian modernisme pada tahun 1929, membawa aura kekayaan, petualangan, eksploitasi, ancaman, bahaya dan terobosan-terobosan moral. Tentu saja juga patah hati, manipulasi, keberantakan hidup.
Itu khayalan saya tentang hubungan antara masa (awal abad ke-20) dan ruang (kota). Intensitas dan kepadatan bertautan. Demokrasi, kemakmuran (dan apa-apa saja) bergelut melahirkan inovasi-inovasi burjuasi di kota-kota besar.
Pada lirik lagu-lagu yang dibuat di awal abad ke-21 ini, saya tergoda untuk merasakan berulangnya perasaan yang mungkin juga terdapat di awal abad ke-20 itu. Semoga saya tidak terlalu tersesat ke dalam pembagian waktu menurut manusia modern ke dalam dasawarsa, abad dan milenium yang menjebak manusia melihat seolah pengulangan itu ada dan teratur. Setidaknya ini bukan dari Brecht, melainkan dari kaum muda yang sedang menelusuri masa-masa baru kehidupannya ketika pintu-pintunya baru mengelopak. Tapi ini masa bukan sembarang masa, tapi masa kota-kota besar, yang sambil berhubungan tak terbatas dengan ruang dunia, sekaligus dibatasi oleh gemuruh perubahan yang setiap saat makin cepat dan mengasingkan. Sebagiannya tak ada yang tahu pasti siapa atau apa yang mengendalikannya. Yang pasti, bagian terbesar penduduk kota, bersama kaum muda di dalamnya, bukan! Kaum muda hadir di dalamnya bukan sebagai yang paling beruntung dan berpelengkapan pula. Mereka sering kalah, karena itu. Misalnya dalam perebutan ruang, bahkan untuk kegiatan yang sepele seperti “Kami hanya ingin main bola”.
Namun, memang demikianlah, melalui narasi-narasi vernakuler (sehari-hari) tentang ruang-ruang kecil mereka, termasuk yang hitam, kita tahu ada yang tidak beres, tiak adil, tidak masuk akal, lalai, di kota-kota besar-besar kita. Dan kota-kota besar itu adalah perwujudan terbanal dari kapitalisme akhir-akhir ini.
Yang nampak di mata hati adalah dunia yang runtuh ke dalam, ke kampung-kampung dan ke dalam diri sendiri. Hidup muram dan meletihkan. Kota tumbuh menjadi makin asing. Makna lama, yang hanya sempat dikenal sebentar, gugur. Muncul yang asing, bukan hanya lain, di hadapan tiap langkah. Tapi kota goes on. “Pagi tak terhindarkan.” Betapa tak berarti tiap-tiap subyek yang dengan terpaksa bertukar rupa menyesuaikan diri di antara yang asing dan perkasa itu,
Keriangan? Ada, pada hiburan murah yang terjangkau atau cuma-cuma di taman-taman kota. “Taman Remaja Surabaya sajikan canda tepis gulana.”
Tapi keriangan adalah wanci-wanci yang serba singkat terputus-putus terjeda-jeda, sebab “malam jatuh” begitu cepat di Surabaya.
Malam Jatuh di Surabaya
Gelanggang ganas 5:15,
di Ahmad Yani yang beringas.
Sinar kuning merkuri: pendar celaka akhir hari.
Malam jatuh di Surabaya.
Maghrib mengambang lirih dan terabaikan,
Tuhan kalah di riuh jalan.
Orkes jahanam mesin dan umpatan,
malam jatuh di Surabaya.
Selama-lamanya, di gelanggang yang sama,
malam jatuh di Surabaya.
“Malam Jatuh di Surabaya” dapat dibaca sebagai suatu gambaran faktual yang tertentu: suatu senja di Jalan Akhmad Yani. Tetapi ia juga dapat menggambarkan sesuatu yang mungkin terjadi di seluruh Surabaya. Di setiap sudut dan di setiap saatnya “malam jatuh” pada Surabaya, membawa serta perasaan was-was, kelam mengkhawatirkan, “Tuhan kalah…” Perasaan yang sangat lazim di banyak kota besar ramai lainnya.
Menemui kota sendiri yang serba salah dan tunggang-langgang memang mudah menggoda membayangkan kota lain yang dikira lebih baik. Tetapi membanding-bandingkan kota sendiri (yaitu identitas diri sendiri juga) dengan kota-kota lain adalah juga suatu kecenderungan yang muncul dari meningkatnya akses informasi dan pariwisata kelas menengah Indonesia ke luar negeri. Membandingkan adalah sekaligus juga suatu panggung untuk pamer dan pelontaran impian. Kota lain adalah sekaligus bahan konsumsi dan acuan kepada konsumsi-konsumsi lain. Paris membawa gambar anggur dan fashion, misalnya, misalnya. Membayangkan kota lain, disertai perjumpaan dengan orang lain “Puan Kelana”, niscaya dihantui kegelisahan inferior “jangan tinggalkan hamba.” Faktanya, di dalam kota waktu kini memang hamba makin sering terlempar dalam perjumpaan yang makin sering tak terduga — entah yang baik ataupun yang buruk. Suatu hasrat keterhubungan dengan dunia bukanlah ngawur semata, tetapi berdasarkan banyak peristiwa nyata.
Waktu kota adalah waktu modernitas, yang dibagi-bagi menjadi satuan-satuan yang dapat “habis”. Kekurangan waktu di kota telah menjadi keselaluan. Meskipun “hari-hari berulang,” waktu modernitas bersifat linier. Kalau lewat ya lewat, kehilangan, kehabisan. Hari-hari, matahari terbit, berulang, tetapi berbeda. Waktu tidak kembali. “Waktu memang jahanam,” karena tak ada yang dapat mengalahkannya, sebab ia tidak peduli pada siapapun atau bahkan apapun. Ia tiran, ia absolut. Semua dilindasnya. “Hari-hari berulang, diriku kian hilang.” Mimpi terhempas. Harapan terbanting pecah. Ingin pulang, tapi tak ada rumah, dan malu kembali ke kampung. Uang menjauhkan rumah. Migrasi dimaksudkan untuk sementara dan lalu pulang, tetapi seringkali kemudian ia menjebak menjadi selamanya. Ada banyak cara menghabiskan apa yang telah ditumpuk ditabung untuk di bawah pulang, sebelum pulang. Berada di dalam waktu kota waktu modernitas itu seperti terjebak di dalam gerigi-gerigi roda di dalam mesin jam yang berputar terus, tidak sempat melompat keluar, bahkan seringkali untuk cinta sekalipun. “Cinta itu buat kapan-kapan, kala hidup tak banyak tuntutan.”
Lalu apakah tidak ada lagi heroisme yang katanya sepanjang sejarah merupakan ciri anak muda? Lagipula, ingat, ini Surabaya kota pahlawan. Ada, berupa seruan kepada anak muda untuk terus berkarya “selagi muda, taklukkanlah dunia,” dengan percaya diri, untuk mensyukuri masa muda: “Tenang saja, kamu kan hebat. Akan terlihat jalan yang terang. Di mimpi yang tak kau beli.” Tetapi suara yang demikian ini tak lagi kedengaran sebagai suatu semangat yang merata di semua. Tidak meyakinkan. Ia hanya hadir memberi semangat, ing ngarsa mangun karsa mungkin, bukan bicara kepastian kebenaran atau keniscayaan dunia kaum muda. Jalani aja:
Siapkanlah pagi dengan senyuman.
Lekaslah berlari sebelum siang.Kuharap malam ini indah bagi kita,
kuharap besok-besok tak kalah indahnya,
kuharap akhir kita bukanlah di sini.
Jakarta, 2 Maret 2015.