Nama Gatut Kusumo Hadi mungkin asing terdengar di generasi masyarakat Surabaya masa kini. Bahkan di kalangan penikmat film atau pengamat film sekalipun, nama tokoh satu ini sering terlewatkan. Sayang memang, mengingat Pak Gatut adalah sutradara dari satu-satunya film yang menggambarkan secara khusus Pertempuran Surabaya di tahun 1945 itu. Cukup mudah sebenarnya melacak rekam jejak Pak Gatut ini jika mengenal orang-orang terdekat beliau. Tapi seperti halnya orang-orang awam pada umumnya di Surabaya, penulis pertama kali mendengar dari kontributor Ayorek! yang juga penulis buku dan pendiri Surabaya Punya Cerita, Dhahana Adi Pungkas. Menurut Ipung (sapaan Dhahana Adi), Pak Gatut ini adalah orang yang berperan paling besar dalam pembuatan film Soerabaia ’45 (simak ulasan filmnya di situs Surabaya Punya Cerita). Selain itu, tambah Ipung, Pak Gatut juga seorang aktivis politik yang pernah ditahan saat terjadi peristiwa Malari 1975. Rasa penasaran pun timbul, seberapa besarkah “peran paling besar dalam film Soerabaia ‘45” yang dilakukan Pak Gatut? Dan yang paling penting, siapakah sebenarnya sosok Gatut Kusumo Hadi ini sebenarnya?
Menonton kembali film Soerabaia ’45 yang versi penuhnya dapat ditemukandi Youtube sejak tahun 2012, saya melihat nama Pak Gatut ada di tiga posisi penting dalam film tersebut, yakni penulis cerita asli (original screenplay), penulis skenario (scriptwriter) dan co-director atau sutradara pembantu. Dari sini sebenarnya sudah terlihat betapa pentingnya posisi Pak Gatut dalam film kolosal tersebut, tapi entah kenapa tampaknya sosok Pak Gatut jauh lebih besar perannya dari yang tertulis di opening credits Soerabaia ’45.
“Sebenarnya Pak Gatut mengerjakan banyak hal melebihi posisi yang tercata di Kredit film.” kata Ipung, “Bisa dibilang Imam Tantowi hanya sebagai manajer saja, tapi Pak Gatut lah yang berperan mengarahkan keseluruhan film.” Ipung mendengar cerita ini dari istri Pak Gatut Kusumo Hadi yang saat ini masih hidup. Sayang Pak Gatut telah meninggal sejak 1996. Dhahana Adi sempat mewawancarai istri mendiang Gatut Kusumo Hadi ini ketika ia sedang menulis tentang riwayat pembuatan film Soerabaia ’45.
Sebuah rumah sederhana di Perumahan Dosen (Perumdos) Unesa
Bersama Dhahana Adi dan Adrea Kristatiani sebagai fotografer, saya akhirnya bisa bertemu dengan Bu Thea di rumahnya yang terletak di perumahan dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Dari sebuah rumah sederhana di sisi tepi barat perumahan dosen yang berukuran sedang, saya melihat sosok perempuan lanjut usia dengan rambut memutih keluar dari dalam rumah, menyapa kami yang baru datang dengan nada tegas berwibawa. Tak elak saya langsung kagum dengan mantan dosen sastra Inggris sekaligus mantan dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unesa ini yang tak memperlihatkan sedikitpun kerentaan usianya.
Tak terhitung banyaknya mahasiswa dan murid yang telah dididik sosok bernama lengkap Thea Susetia Kusumo ini. Salah satunya adalah aktivis sosial Dede Oetomo yang dikenal Bu Thea sejak usia 13 tahun. Ibunda Dhahana Adi pun pernah jadi mahasiswa Bu Thea. Di hari itu, Bu Thea sedang ditemani salah satu cucunya, dan seekor anjing keturunan ras Gembala Jerman berukuran sedang bernama Noni. Bu Thea masih mengingat detail dari banyak riwayat almarhum suaminya, walaupun kondisi pendengaran beliau sudah berkurang dan harus menggunakan alat bantu dengar.
Pejuang, seniman dan a self-made man
“Saya hanya kebetulan tahu tentang film Soerabaia ’45, karena suami saya terlibat banyak di film itu,” kata Bu Thea ketika saya menanyakan peran Pak Gatut Kusumo Hadi dalam film perang berskala kolosal tersebut. Riwayat seorang Gatut Kusumo Hadi dengan dunia seni ternyata dimulai sejak beliau duduk di bangku SMA. Ketika itu pula Indonesia merdeka, dan semua pemuda pun bersukarela memanggul senjata mempertahankan republik yang masih berusia bulanan ketika itu.
“Pak Gatut dan dua adiknya bergabung dengan TRIP,” kenang Bu Thea. TRIP, singkatan dari Tentara Republik Indonesia Pelajar, adalah brigade elit infanteri di masa perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan, yang beranggotakan para pelajar SMP, SMA hingga mahasiswa. Pak Gatut bersama TRIP juga terlibat Pertempuran Surabaya, yang menjadi bekal membuat film Soerabaia ‘45 kelak. Satu cerita unik adalah ketika peleton Pak Gatut pernah diserang oleh Belanda di Blitar, baku tembak begitu sengit sehingga buku harian Pak Gatut tertinggal dan dirampas seorang serdadu Belanda. Buku harian ini akhirnya kembali diserahkan ke Kedutaan Besar Indonesia di Belanda—50 tahun kemudian!—oleh si serdadu yang kini seorang veteran berusia lanjut, dan menurut dia buku harian ini ditulis oleh “prajurit dari kesatuan Tentara Pelajar karena tertulis dalam bahasa Belanda yang fasih.”
Selepas Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, TRIP/Brigade 17 pun dibubarkan, anggotanya diberi pilihan masuk TNI atau melanjutkan sekolah. Pak Gatut memilih menjadi anggota TNI sambil meneruskan SMA-nya yang terputus di jaman Revolusi. Pak Gatut meneruskan sekolah di SMA Perdjoangan Malang. Di sekolah inilah ia bertemu dengan Bu Thea yang merupakan adik kelas 3 tahun dibawahnya.
“Saya takut lihat Pak Gatut dan dua adik-adiknya, mereka dan teman-teman sebayanya masih sering ke sekolah membawa pistol,” kenang Bu Thea. Di kala itu, memang masih banyak bekas pejuang yang menenteng senjata api ke mana-mana walaupun mereka sudah tidak berperang lagi. Pak Gatut pun sempat berdinas sebagai anggota TNI di Mabes TNI-AD selama 4 tahun, lalu mengundurkan diri dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Hal ini karena Pak Gatut lebih memilih aktif di Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir, serta ingin lebih banyak berkecimpung di dunia seni dan budaya. Di tahun 1954 itu juga, novel pertamanya yang berjudul Kerja Anak-anak 10 Nopember diterbitkan.
Pak Gatut dikenal sebagai kutu buku. “Pak Gatut itu orangnya kutu buku, diajak ngomong tentang ilmu apa saja beliau bisa tanggap, mulai dari sastra, ilmu alam, politik, sosial, filosofi, semua nyambung,” kata Bu Thea.
“Pengetahuan umumnya hebat, Bapak itu seperti kamus hidup,” lanjut Bu Thea mengenang pribadi almarhum suaminya. Bahkan Pak Gatut juga dekat dengan Soedjatmoko, tokoh politik sosialis yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB yang juga terkenal kutu buku.
Tampaknya Pak Gatut memang kurang cocok menempuh pendidikan konvensional. Beliau memang lebih memilih tantangan belajar secara otodidak atau berdikari daripada melalui jenjang konvensional. Pak Gatut sempat mencoba bangku kuliah setelah ia mundur dari TNI, tapi hanya bertahan 1 tahun sebelum akhirnya keluar. Gaya belajar Pak Gatut yang selalu otodidak ini dikenang betul oleh Bu Thea.
“Pak Gatut itu orangnya self-made man, segala sesuatu selalu Bapak peroleh dari belajar sendiri.” Dalam mencari pengetahuan Pak Gatut pun tergolong nekat, dengan bekal seadanya, Pak Gatut yang kala itu berusia 30 tahun berangkat keliling Eropa, benua kelahiran sosialisme, untuk belajar tentang kultur dan skena seni masyarakat di sana.
Memulai duduk di kursi sutradara
Menjalani aktivitas politik, membaca buku, melukis menjadi keseharian Pak Gatut. Berkenalan dengan dunia seni lintas disiplin pun ia jalani, hingga akhirnya di tahun 1964 -1965, Pak Gatut memutuskan untuk belajar membuat film. Tanpa memiliki pendidikan berlatar perfilman, Pak Gatut pun sekali lagi belajar secara otodidak.
“Bapak banyak belajar dari buku-buku film dan bertanya pada rekan-rekan yang sudah senior dalam industri film,” ujar Bu Thea. salah satu sosok yang menjadi tempat Pak Gatut belajar membuat film adalah sineas senior Nya Abbas Akub. Teman-teman bekas pejuang Pak Gatut mendorong Pak Gatut untuk membuat film bertema perjuangan yang pernah mereka alami dulu. Pak Gatut pun berhasil membuat film pertamanya berjudul Penyeberangan pada tahun 1966. Film yang tak lain adalah sebuah visualisasi pengalamannya dalam Perang Kemerdekaan RI itu mendapat supervisi dari Nya Abbas Akub. Film yang dibintangi Rima Melati dan Wahab Abdi dan menceritakan tentang perjalanan aksi meriam Banteng Blorok oleh pasukan TRIP di Jawa Timur ini sekarang mendapat cult status di kalangan penikmat film perang Indonesia. Di masa ini, nama Pak Gatut Kusumo Hadi telah mendapat status baru sebagai sutradara film.
Nama Pak Gatut pun mulai diperhitungkan di kalangan seniman Surabaya di akhir 1960-an. Ia berkawan dengan pelukis-sastrawan Amang Rahman, M. Daryono, sastrawan sekaligus jurnalis Basuki Rachmat, pelukis Khrisna Mustadjab, Soepono dan seniman-seniman lain yang menjadi garda depan skena seni di Surabaya di kala itu. Bersama para seniman-seniman ini pula Pak Gatut dan Bu Thea mendirikan Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Aksera ini bertempat di Jalan Yos Sudarso, Surabaya, yang kini menjadi lahan Gedung DPRD Tingkat II Surabaya. Keterlibatan Pak Gatut di Aksera tak hanya sebagai pendiri, ia juga menjadi pengajar di sana.
“Papa” berpengetahuan luas yang pengayom
Tapi bagi Pak Gatut, sebagai seorang budayawan, beliau berhasil menyelaraskan aktivitas berkesenian dan sosial-politik dengan baik. Bagi sosok kelahiran Purwokerto, 13 Februari 1928 itu, keduanya adalah dua hal yang saling mengisi satu sama lain, saling menyeimbangkan. Terpilih sebagai ketua Gerakan Pemuda Sosialis di tahun 1968, membuat Pak Gatut akrab dengan anak-anak muda, terutama mahasiswa dan kalangan yang berpikiran revolusioner.
Bu Thea mengenang ketika di dekade 1970-an hingga sebelum Pak Gatut meninggal, para mahasiswa ini sering datang ke rumah Pak Gatut. “Para mahasiswa ini datang dari berbagai kampus di Surabaya, sering mereka ini datang bergelombang setiap hari. Pagi datang, siang datang dari kampus yang lain lagi, malam datang lagi dari kampus lain juga,” kata Bu Thea. “Mahasiswa IAIN Sunan Ampel malah saat Ramadhan pernah malam buka puasa di rumah saya, berdiskusi dengan Pak Gatut hingga sahur di rumah saya juga, hahaha,” tambah Bu Thea mengingat masa ketika rumahnya menjadi “markas” aktivis sosial yang kala itu memulai perlawanan—terselubung maupun terang-terangan—terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru. Bahkan tak jarang beberapa intel aparat TNI atau polisi yang menyamar sebagai mahasiswa ikut nimbrung sembari mengawasi aktivitas di rumah Pak Gatut.
Peran Pak Gatut di era ini mengingatkan saya pada sosok Mario Savio, aktivis hak asasi manusia dari Amerika Serikat yang berperan penting dalam gerakan kontra-budaya mahasiswa dan anak muda di tahun 1960-an di AS. Pribadi Pak Gatut yang pengayom dan sikap konsisten dari ideologi sosialisnya menjadi idola dan jujugan para mahasiswa pergerakan anti pemerintah kala itu, terlebih pengetahuan Pak Gatut yang luas membuat beliau menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Pribadi pengayom dan pendidik itu ternyata juga memberi kesan tersendiri bagi mahasiswa-mahasiswa muda ketika itu.
“Para mahasiswa-mahasiswa itu memanggil Pak Gatut dengan panggilan ‘Papa’, sedangkan saya mereka panggil ‘Mama’, kami ini seperti orang tua kedua bagi mereka,” kenang Bu Thea akan sebutan para anak muda waktu itu pada mereka berdua.
Aktivitas politik Pak Gatut bukannya tanpa resiko. Saat pecah gejolak Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 15 Januari 1974, Pak Gatut—yang juga mendukung demonstrasi mahasiswa pimpinan Hariman Siregar itu di Jakarta—sempat ditangkap pihak berwajib dikarenakan adanya indikasi intelijen (yang ternyata tak benar) bahwa Pak Gatut dan rekan-rekan aktivisnya akan melakukan kerusuhan serupa dengan yang ada di Jakarta. Tapi nasib berkata lain dengan adanya campur tangan dari perempuan bekas pejuang kemerdekaan pemberani bernama R. Soedarijah Soerodikoesoemo. Perempuan yang terkenal dengan nama panggilan Bu Dar Mortir (dipanggil demikian karena pernah terluka kena serangan mortir tentara Belanda, tapi tetap bertempur) ini adalah tokoh pejuang Laskar Wanita yang sosoknya sangat dihormati para pejuang, bahkan hingga para mantan pejuang ini di kemudian hari menjadi pejabat negara atau petinggi TNI. Ternyata Bu Dar Mortir adalah budhe atau bibi dari Pak Gatut. Tampaknya keberadaan seorang Bu Dar Mortir masih membuat para petinggi TNI (yang banyak dulunya adalah pejuang di era kemerdekaan) menjadi “tergetar” sehingga membebaskan Pak Gatut dari tahanan.
Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Aku Cinta Indonesia (ACI)
Peran Pak Gatut di dunia seni Surabaya tak berhenti pada pendirian Aksera. Bersama kawan-kawan seniman Surabaya, Pak Gatut juga turut melahirkan dewan kesenian yang menjadi wadah para seniman di Surabaya yang kemudian bernama Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Berawal dari gagasan walikota Surabaya di tahun 1971, Soekotjo, yang berpikiran untuk membuat wadah untuk seniman di kota Surabaya sekaligus adanya sebuah pusat kesenian untuk bernaung. Kebetulan pula Pak Gatut juga memiliki konsep serupa dalam bentuk makalah. Dalam makalah itu Pak Gatut menulis akan perlunya tempat dimana para seniman dapat berkumpul dengan bebas, tidak terikat pada satu pihak, tanpa campur tangan dari pemerintah, walau pemerintah yang menyediakan wadah tersebut.
Makalah tulisan Pak Gatut pun akhirnya diambil untuk menjadi salah satu bahan pembentukan wadah seniman Surabaya ini. Akhirnya setelah melalui rembukan yang panjang, Dewan Kesenian Surabaya pun dibentuk pada 30 September 1971, dimana terpilih 13 orang sebagai anggota dewan, antara lain Farid Dimyati, Amang Rachman, Sunarto Timur, Karyono Js, Wiwiek Hidayat dan beberapa seniman lain termasuk tentunya Pak Gatut sendiri. Pak Gatut cukup lama aktif di DKS, bahkan beliau sempat menjadi ketua DKS periode 1980 – 1983.
Pengalaman membuat film terus berlanjut tatkala Pusat Teknologi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdikbud mengajak Pak Gatut untuk ikut dalam pembuatan serial berjudul Aku Cinta Indonesia, yang populer dengan singkatan ACI. Pihak Pustekkom Depdikbud mengajak Pak Gatut karena kemampuan Pak Gatut sebagai sutradara dan pengalamannya sebagai veteran Perang Kemerdekaan RI. Beberapa episode ACI memang menampilkan kilas balik adegan Perang Kemerdekaan Indonesia, yang memang salah satu tokohnya adalah veteran perang kemerdekaan juga. Sekitar 15 episode pernah disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Pak Gatut. Selain ACI, bersama Pustekkom Dikbud, Pak Gatut pernah membuat beberapa film dokumenter, yang dibuat dengan kerja sama dengan TVRI.
Di saat yang sama Pak Gatut juga berjuang menyelesaikan sebuah skenario film perang kemerdekaan yang diadaptasi dari buku karya Roeslan Abdoelgani berjudul 100 Hari di Surabaya Yang Menggemparkan Dunia dan beberapa buku lain tentang Pertempuran Surabaya. Skenario tersebut, untuk sebuah film berjudul Seratus Hari di Surabaya, direncanakan akan dibuat menjadi sebuah epos sejarah kolosal. Bu Thea pun menuturkan, “Pak Gatut menulis (skenario) siang malam, ketika skenario jadi, ditawarkan ke produser dan investor, tidak ada yang mau.” Bu Thea juga menambahkan “Sebenarnya ada satu-dua investor yang tertarik, tapi lalu ‘minggat’, semua karena biaya film yang besar.” Pak Gatut pun kembali sibuk dengan proyek-proyek film dokumenter bersama Pustekkom dan dan sempat pula menerbitkan novel bertema perjuangan karyanya yang berjudul Pita Merah di Lengan Kiri pada tahun 1981. Skenario film perang kolosal yang diimpi-impikan Pak Gatut tampaknya harus menunggu beberapa tahun ke depan untuk terealisasi.
Nyaris jadi “Rambo”
Di tahun 1990, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki inisiatif bersama seniman-seniman Jawa Timur untuk membuat karya seni sebagai persembahan terhadap Pertempuran Surabaya di tahun 1945 yang legendaris tersebut, sebagai media untuk mengenang momen sejarah tersebut yang nantinya akan menjadi catatan bagi generasi mendatang. Diputuskan bahwa karya yang akan dibuat berupa buku, sebuah lagu dan film. Khusus untuk film yang ditunjuk untuk menjadi sutradara adalah Imam Tantowi, sutradara yang akrab dengan tema-tema kolosal seperti film Saur Sepuh dan 7 Manusia Harimau (1986) juga film seperti Pasukan Berani Mati dan Lebak Membara.
Pak Gatut pun diundang para seniman untuk ikut mendukung film ini dan beliau pun diundang untuk rapat bersama produser dan Imam Tantowi. Yang Pak Gatut tak tahu adalah ternyata skenario film itu telah disiapkan dari Jakarta. Di dalam rapat tersebut Pak Gatut terkejut setelah membaca skenario filmnya. “Pak Gatut setengah marah pada produser, investor dan orang-orang pemerintahan,” kata Bu Thea mengingat kisah suaminya ketika itu. “Bapak bilang ke mereka, ‘apa ini maksudnya tembak-tembakan sok jagoan kayak Rambo? Jaman dulu gak ada Rambo-ramboan kayak gini!’” Pak Gatut yang berada di garis depan saat Pertempuran Surabaya tak rela film kolosal yang menggambarkan pertempuran tersebut dibuat dengan gaya tembak-menembak sok jagoan ala film-film aksi kelas B.
Pak Gatut pun berusaha menyelamatkan film ini menjadi yang realistik dan dibuat se-otentik mungkin—sesuatu yang telah ia impikan sejak lama. Skenario Seratus Hari di Surabaya diambil lagi, lalu diperbaiki sebagian. Meja makan pun disulap menjadi meja kerja yang diatasnya terdapat lima mesin ketik. Layaknya tampilan worksheet atau windows pada komputer modern, lima mesin ketik ini memiliki peruntukan kerja yang berlainan sehingga Pak Gatut dapat menyelesaikan dua, tiga atau lebih pekerjaan secara bersamaan. Hasilnya adalah sebuah skenario film bertema perjuangan kemerdekaan berjudul Soerabaia ’45. Pak Gatut pun tak mau film ini hanya menjadi cerita peperangan yang dilakoni para tentara sebagai aktornya. Sudut pandang masyarakat sipil ditampilkan, cara pandang masyarakat Surabaya di tahun 1945 yang beragam dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia juga ditampilkan di sini.
Keotentikan dan tank mogok
Skenario usulan Pak Gatut akhirnya disetujui produser dan pihak caretaker, sehingga proses pembuatan film dapat segera dilakukan. Pada tahun 1990 proses pembuatan film Soerabaia ’45 mulai dikerjakan. Kelengkapan wardrobe diawasi sendiri oleh Pak Gatut. Pak Gatut yang mengerti benar bagaimana desain baju yang benar di jaman itu, ikut mengawasi pengrajin garment yang secara massal membuat keperluan pakaian untuk kostum aktor atau aktris di Soerabaia ‘45. Mulai dari pakaian seragam tentara Inggris, para Pejuang TKR, baju masyarakat sehari-hari, semuanya tak ada yang luput dari pengawasan Pak Gatut. Semua yang dikenakan aktor, aktris dan figuran harus otentik dengan yang digunakan pada saat Pertempuran Surabaya berlangsung.
Bantuan dari TNI pun didatangkan, mulai perlengkapan tempur prajurit peninggalan Perang Kemerdekaan seperti tas, kantong peluru; lalu peralatan berat seperti tank, kendaraan tempur beroda karet, truk kuno era Perang Dunia 2 hingga senjata era Perang Kemerdekaan yang sama dengan yang digunakan oleh pejuang Indonesia dan tentara Sekutu ketika itu. Tak hanya peralatan, TNI juga mengirimkan penasihat militer, sesuatu yang jarang terjadi di Indonesia kala itu, karena kebanyakan produsen film perang nasional tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk penasihat militer. Tim penasihat militer dari TNI ini bertugas mengawasi peralatan perang yang dipinjamkan, mengajari aktor, aktris dan figuran dalam mengoperasikan senjata hingga menyediakan peledak buatan untuk efek khusus dalam film. Satu kejadian lucu adalah adanya dua tank jenis Stuart bekas Perang Dunia II yang dipinjamkan Angkatan Darat untuk film ini. Kedua tank tersebut— dikarenakan usia yang sudah tua—sering mogok, dan menunda pengambilan gambar hingga berjam-jam lamanya.
Dalam hal bahasa, selain Bahasa Indonesia, beberapa dialog yang ada dalam film menggunakan dialek bahasa Jawa Suroboyoan, yang saat itu jarang terdengar dalam perfilman, bahkan untuk film yang dibuat di kota Surabaya. Pak Gatut benar-benar ingin membuat film yang terasa kental atmosfer kota Surabaya-nya. Untuk bahasa Jepang, Pak Gatut pun datang sendiri ke Konsulat Jepang di Surabaya untuk berkonsultasi tentang bahasa Jepang yang nantinya akan digunakan aktor-aktor film Soerabaia ‘45. Caranya adalah dengan Pak Gatut menulis skenario percakapan dalam bahasa Indonesia dan ada seorang dari seksi budaya Konsulat Jepang yang menerjemahkan ke bahasa Jepang sekaligus mengajari aktor yang berperan sebagai tentara Jepang untuk dapat berbahasa Jepang dengan baik dan benar. Di Soerabaia ’45, aktor yang memerankan tentara dan perwira Jepang semuanya adalah orang Indonesia.
Casting dan pernik kultur Suroboyoan
Bu Thea sesekali datang ke lokasi shooting yang dilakukan di kawasan-kawasan yang akrab bagi masyarakat Surabaya seperti Tunjungan, Perak, Jalan Arjuno hingga Depo Kereta Api di Sidotopo. “Saya beberapa kali datang ke lokasi shooting, tapi sering nggak sabar saya, apalagi kalau waktu tank mogok, hahaha.” kenangnya. Bu Thea juga masih ingat akting para figuran dan aktor pembantu. “Yang cukup lucu Bapak waktu itu mendapat figuran berwajah Indo dari suatu kampung di Surabaya yang banyak orangnya yang berwajah Indo,” cerita Bu Thea. “Mereka ini wajahnya bule, tapi gak bisa bahasa Inggris, malah bisanya bahasa Suroboyoan, padahal di-casting untuk jadi tentara Inggris. Akhirnya saya yang sedikit mengajari mereka berbahasa Inggris.” Pak Gatut pun juga mendapatkan figuran dari masyarakat keturunan India untuk memerankan tentara Inggris yang berasal dari India.
Film Soerabaia ’45 juga menampilkan beberapa tokoh seni kota Surabaya sebagai aktor yang memerankan tokoh bersejarah dalam Pertempuran Surabaya. Dua di antaranya adalah Soetantho Soepiadhy, SH, dan Leo Kristi. Soetantho Soepiadhy, yang dikenal sebagai dramawan dan tokoh teater, berperan sebagai Prof. DR. Moestopo, sedangkan musisi folk-kontemporer Leo Kristi sebagai Bung Tomo, peran yang ajaibnya sangat pas mengingat kemiripan wajah Bung Tomo dengan Leo Kristi. Bu Thea juga mengenal dengan baik kedua tokoh ini. “Pak Soetantho dan Leo Kristi main di film ini karena pertemanan mereka dengan Pak Gatut.”
Bu Thea juga mengingat banyak juga anak muda yang di-casting untuk menjadi peran pembantu dengan memiliki paras rupawan yang cukup menjual, “Ada banyak anak muda-muda, laki-laki dan perempuan yang jadi figuran dan peran pembantu, mereka semua tampan dan cantik-cantik tapi ditolak Bapak untuk berperan dalam film karena tidak bisa akting sama sekali. “Bapak akhirnya memilih pemain figuran dari orang-orang Surabaya yang walaupun tidak berwajah tampan atau cantik tapi bisa diajak berakting.” Pak Gatut memang sangat mengedepankan aspek orisinalitas, bukan hanya perkara filmnya laku atau tidak.
Satu hal yang meleset dari keinginan Pak Gatut saat itu menurut beberapa sumber, adalah bergesernya lokasi shooting dari tempat-tempat pertempuran yang sebenarnya terjadi. Pak Gatut ingin film ini dibuat di tempat pertempuran yang sebenarnya terjadi, tapi sayang pembangunan kota yang semakin modern di tahun 1990 membuat banyak tempat-tempat lama di kota Surabaya berubah wajah. Adegan penyerangan di Gedung Kempetai dilakukan di Pabrik Beras Ketintang yang kini bangunannya sudah tiada. Ciri khas budaya kota Surabaya ditonjolkan oleh Pak Gatut dalam Soerabaia ’45, mulai dari dialek Suroboyoan dari para aktor serta figuran, pegupon atau sarang burung merpati peliharaan yang ditampilkan dalam banyak scene, Pintu Air Kali Jagir yang jadi latar di salah satu scene dan kidungan jula-juli yang ditampilkan saat adegan opening credits dan adegan-adegan lain menguatkan atmosfer Surabaya dalam film tersebut.
Perjuangan terakhir “Papa”
Film Soerabaia ‘45 pun akhirnya kelar dibuat. Film itu dirilis di semua bioskop di kota-kota di Indonesia. Siswa-siswi sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA mendapat giliran nonton bareng yang memang mendapat arahan dari Depdikbud kabupaten atau kotamadya masing-masing. Saya ingat betul ketika mendapat giliran nonton bareng sekolah di Bioskop Mitra 21 yang kini menjadi Balai Budaya Surabaya. Dalam ingatan saya, film Soerabaia ’45 tak ubahnya The Longest Day atau A Bridge Too Far versi Indonesia—sama-sama berlatar belakang sejarah, memiliki banyak penokohan dan konflik yang tak monoton walau alur ceritanya kronologis. Bahkan ada kemungkinan Pak Gatut terinspirasi dari dua film tersebut. Terlebih lagi keakuratan persenjataan, seragam dan tampilan dalam film tersebut yang tak ada di film-film perjuangan sebelumnya. Para pemain dan Pak Gatut serta kru pun sempat diundang bertemu Gubernur Jawa Timur saat itu, Soelarso, di Gedung Grahadi, sebagai penghargaan terhadap film ini.
Film Soerabaia ’45 diputar cukup lama di bioskop-bioskop kota besar Indonesia. Ketika penghargaan Piala Citra FFI 1991 digelar, Soerabaia ’45 masuk dalam beberapa nominasi, tiga diantaranya cukup signifikan, yaitu Skenario Terbaik, Sutradara Terbaik dan Film Terbaik. Soerabaia ’45 pun membawa pulang Sutradara Terbaik dan sebuah penghargaan khusus dari Festival Film Indonesia untuk “film yang menggambarkan semangat juang Indonesia.”
Khusus untuk kategori Sutradara Terbaik memang tertuju pada nama Imam Tantowi. Memang, tanpa mengecilkan sosok Imam Tantowi di dunia film Indonesia, nama Imam Tantowi di kredit film adalah sebagai sutradara, sedangkan Pak Gatut “hanya sebagai” sutradara pembantu (co-director). Terlebih Imam Tantowi adalah sutradara yang ditunjuk oleh penanggung jawab film Soerabaia ’45. Tapi di mata para seniman Surabaya, kolega, kru film dan keluarga, seorang Gatut Kusumo Hadi adalah sutradara Soerabaia ’45 yang sesungguhnya. Pak Gatut melakukan nyaris semuanya, mulai dari menulis skenario, mengatur set, mengawasi wardrobe hingga menyutradarai. “Nama Pak Imam Tantowi diikutkan agar film ini laku di masyarakat,” kata Bu Thea. “Saat itu Imam Tantowi namanya sedang terkenal.” Memang saat itu sedang trend film kolosal franchise Saur Sepuh yang mana Imam Tantowi bertindak sebagai sutradara.
Pak Gatut tak berkesempatan untuk membuat film lagi. Tahun 1992, satu tahun lebih setelah Soerabaia ’45 diputar pertama kali, Pak Gatut jatuh sakit. Sakit Pak Gatut ini diyakini keluarga sebagai akibat proses pembuatan film Soerabaia ’45 yang sangat menguras energi beliau. Gatut Kusumo Hadi akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 19 Juni 1996, bertepatan dengan hari ulang tahun putra ketiganya. Sang “Papa”mendapat penghormatan sebagai veteran Perang Kemerdekaan dengan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan 10 Nopember, Surabaya. Sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan beliau yang dirangkum dari berbagai forum dan media diterbitkan dalam satu buku berjudul Sosialisme pada tahun 2001.
“Seni itu gak perlu masuk akal, yang penting meyakinkan.”
—Gatut Kusumo Hadi
Nama Pak Gatut mungkin boleh terlupakan, tapi amalan beliau sebagai sosok aktivis politik sosialis pengayom yang dikagumi anak-anak muda dari berbagai generasi dan selalu ingin berbagi ilmu akan terus diingat oleh sosok-sosok yang pernah berinteraksi dengan beliau. Sebagai sosok seniman, beliau tak segan meluangkan waktunya untuk mendirikan wadah seniman Surabaya dan mendidik seniman-seniman muda yang efeknya masih bisa kita lihat sekarang. Pak Gatut pun bukanlah seorang pejuang yang selesai berjuang kala Perang Kemerdekaan berakhir. Lewat kemampuannya berkesenian Pak Gatut mengabadikan pengalaman berperangnya melalui buku Pita Merah di Lengan Kiri, film Penyeberangan dan, pastinya, Soerabaia ’45.
Ketika film Soerabaia ’45 dirilis, industri film Indonesia sedang berada di tepi jurang kemerosotan, dengan film-film kelas B semi porno merajai pasaran dan bioskop dipenuhi film-film Hollywood. Tapi ditengah-tengah itu semua, tekad Pak Gatut berhasil membuat film menggebrak yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan pentingnya perjuangan rakyat Surabaya di saat kota Surabaya sedang dijauhi secara politik, ekonomi maupun sosial. Pak Gatut mampu membuat banyak orang menoleh kembali dan mengingat Surabaya. Gatut Kusumo Hadi: Pejuang, prajurit, seniman, budayawan, sosialis, kawan, guru, kutu buku, suami, ayah, sineas.