Singgah dari bersepeda keliling Asia Tenggara

“Kalau kau sudah terlalu lama berada di jalan, kau akan ketagihan untuk terus berada di jalan. Banyak kawanku para pesepeda yang terus berkeliling dunia, tak mau berhenti berjalan walau merasa lelah, karena mereka tak mampu berhenti." Menjadi pejalan ‘irit’ yang melakukan perjalanan panjang, perlu tetap memperhitungkan bea makan setiap hari, transportasi, dan tempat menginap. Ketiga hal ini dapat diakali jika menerapkan beberapa prinsip dan kode etik tak tertulis. Salah satunya, juga semangat timbal balik dengan orang lain.

Jalan-jalan · 3 July 2013 · Keywords: ·
ast4

Ketika melepasnya di Jalan Nyamplungan, depan kompleks Ampel pada sore yang terik itu, saya tak hendak memeluknya. Cukup berjabat tangan, lalu menepuk bahunya tiga empat kali. Saya takut merasa kehilangan. Sudah menjadi takdir pejalan untuk datang dan pergi. Dan kini, Astrid siap pergi meninggalkan saya, melanjutkan perjalanannya merambah bumi Borneo. Sebagai pejalan ‘diam’, saya merasa sudah menunaikan tugas. Memberi amunisi bagi pejalan ‘yang sedang bergerak’. Saya gembira telah berjumpa dengan segelintir pejalan bernyali lantang sepertinya.

Ingatan saya lalu melayang empat hari lalu saat menerima email berisi permintaan seorang anggota couchsurfing (CS) untuk tinggal di rumah saya. Katanya, dia perlu mengecek sepedanya sambil menunggu kapal yang akan membawanya ke Borneo. Dia mengirim email itu dari sebuah kantor polisi di kota Probolinggo. Dia minta saya menghubunginya via nomor HP ketimbang membalas di CS request.

Ah, saya jadi teringat kawan saya, David Munusami Reddie. Kakek lebih setengah abad ini melintasi tiga benua bermodal sepeda balap. Dia menjadi ‘host’ saya ketika mengunjungi Malaysia tahun lalu. Tanpa berpikir panjang, saya kirim SMS ke Astrid-pesepeda asal Jerman itu. Dua kali SMS, tak berjawab. Aneh.

Keesokan harinya saya merasa heran sekaligus cemas. Jadi kembali saya SMS Astrid. Masih tak berjawab. Lalu saya kirim pesan via CS. Tak lama pesan berjawab, dia keliru mengirim no HP. Saat itu, Astrid sudah memasuki kota saya, Surabaya, dan terjebak dalam kemacetan. Jadi saya telpon dia, memberi ancer-ancer menuju rumah saya. Pukul empat sore kami bertemu. Dia kegerahan. Kepanasan, mungkin. Penat karena terjebak kemacetan, pasti itu. Tapi tak mengurangi keramahan dan senyum murahnya.

Ada kode etik tak tertulis yang dianut para pejalan, entah tergabung dalam CS atau tidak. Pejalan ‘diam’ akan menyediakan ‘amunisi’ bagi pejalan ‘yang bergerak’. Ketika menjadi pejalan ‘bergerak’ kerap saya rasakan kemurahan hati orang-orang di tempat yang saya kunjungi, baik saya minta atau tidak. Kini, sebagai pejalan ‘diam’ sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menyediakan ‘amunisi’ bagi Astrid. Memberi dia tempat berteduh, menjadi jalan baginya untuk mempersiapkan perjalanan berikutnya.

Berdasar pengalaman, saya tak menjamu Astrid berlebihan. Dia menyantap makanan seperti yang sehari-hari keluarga kami makan. Sayur, goreng tahu dan tempe, serta krupuk. Kebiasaannya yang ‘emoh’ daging cukup membantu. Teh panas, selalu tersedia berlebih di rumah.

Astrid sudah meninggalkan negerinya, Jerman, sejak Mei 2012. Dia terbang menuju Turki dan tinggal di sana selama 3 bulan, lalu berkeliling India selama 5 bulan. Kemudian dia terbang ke Bangkok, dan membeli sepeda bekas merk Giant seharga 100 dolar (atau 100 euro) yang diberinya nama Mangosteen alias si manggis. Dengan si manggis inilah Astrid memulai petualangan solonya menyusuri selatan Thailand, menuju Penang. Dia lalu membelah bagian tengah Malaysia, berhenti di Taman Negara Pahang, menuju Johor hingga masuk ke Singapura. Sedapat mungkin dia menghindari kota besar seperti Melaka, Kuala Lumpur. Dari Singapura dia naik feri menuju Batam.

Dengan kapal laut dari Batam dia menuju Jakarta. Kemudian memulai tur sepedanya ke Bandung, Tasik Malaya, mampir di Solo dan Borobudur, lalu Bromo, Kawah Ijen, dan berakhir di Surabaya. Tur de Jawa ditempuhnya selama sebulan. Dia berencana melakukan tur de Kalimantan lewat rute Kalimantan Timur selama sebulan, lalu menyeberang ke Sabah dan Serawak via Nunukan selama sebulan, dan pada akhir Agustus atau awal September dia hendak pulang ke negaranya. Mencari pekerjaan, bertahan selama satu dua tahun untuk kembali bertualang.

Tentang sepeda kesayangannya dia berujar, “Mangosteen itu kawan saya. Kalau sehari saja saya tak membawanya pergi bersama saya, rasanya seperti ada yang hilang,” akunya. Saat itu dia bersama saya berjalan kaki menuju perpustakaan C2O di Surabaya, meninggalkan Mangosteen dari keruwetan lalulintas kota besar.

Astrid penyuka buah manggis. Berkali dia bertanya kapan musim manggis dimulai. Ketika asal saya jawab bulan Agustus, dia pun berkata, ‘Kalau begitu nanti kalau kembali ke Indonesia, saya akan datang pada bulan Agustus.” Amboi, matilah awak karena asal jawab.

Astrid juga penikmat tempe. Masakan apapun yang berbau tempe dia pasti suka. Bahkan menjelang keberangkatannya ke Borneo, dia merasa perlu mencatat resep cara membuat tempe. Giliran terkena ragi tempe merk ‘raprima’ ganti saya yang keteteran, karena pasar di dekat rumah tak menjual kemasan ‘Rhizopus sp’ ini. “Ah, nanti saya pesan di laboratorium Jerman saja,” katanya. Lulusan biologi ini memang berencana bekerja di laboratorium setiba di negerinya nanti. Walau tak mengantongi ‘raprima’, dia cukup puas dengan sekantong plastik sambel pecel untuk dibawa ke Jerman. ‘Kenapa tak bawa trasi sekalian’, pikir saya, ‘kan bisa jadi bahan memasak nasi goreng?’

Karena rumah ibu saya mungil, hanya berkamar dua, maka Astrid saya persilakan tidur di kamar. Saya, seperti biasa, tidur bergelung laptop dan buku di depan teve. Kamar saya sangat sederhana, berlantai ubin. Ketika banyak makanan tercecer di sana, pasukan semut pun datang. Kadang satu doa kecoak numpang tinggal dan menggerogoti buku-buku yang tersimpan rapi di rak. Biasanya, kawan bule amat alergi dengan kecoak. Tapi Astrid tidak. “Indonesia ini lembab, jadi banyak serangga tinggal di sini,” katanya memaklumi.

Dalam kapal laut yang membawanya dari Batam ke Tanjung Priok, serombongan kecoak kencing dan menggerogoti kakinya. Tak heran, saya lihat, banyak luka kecil di sekujur kakinya. “Saya hanya heran, kenapa kecoak di kapal itu pelan jalannya,” tawanya. Dia sadar, kulitnya yang sensitif menjadi sarang empuk bagi berbagai serangga dan bakteri tropis. “Nanti juga sembuh kalau sudah satu dua bulan di Jerman,” tambahnya enteng, seolah luka di kedua kakinya bukan hal yang patut dipikirkan berat-berat.

Astrid di Ampel

Astrid di Ampel

Di rumah ibu saya –saya tak punya rumah, hanya numpang di sana-sini, termasuk di rumah ibu beberapa bulan dalam setahun- Astrid mencuci pakaiannya dengan tangan, mencuci perangkat makannya sendiri di bak cucian kusam keluarga kami. Pendek kata, dia tak mau dilayani. Bahkan dia membuat minumannya sendiri. Ketika harus mengurus tiket ke Pelabuhan Tanjung Perak keesokan harinya, dia tak menolak ketika saya minta membawa bekal makanan. “Ketimbang beli makanan di jalan yang kebersihannya entahlah, bawa saja makanan dari rumah,” pinta saya. Dan memang benar, selama berjam-jam bersepeda, mengurus tiket dan lainnya, Astrid kepalaran. Dia mengaku menyantap makan siangnya di sebuah taman yang penuh orang.

Sumpek dengan bingarnya lalu lintas Surabaya, di hari kedua dia memilih mengasingkan diri di perpustakaan C2O seharian. “Saya mau membaca, mendengarkan musik, dan browsing,” katanya. Sejak memulai perjalanannya Mei tahun lalu, Astrid nyaris tak pernah menikmati buku-buku dan perpustakaan. Itu sebabnya dia tampak menikmati berdiam di perpus hari itu, sejak perpustakaan buka hingga tutup pukul 21.00. Apalagi dia jatuh cinta pada ‘Book Infinity’ karya Sherrilyn Kenyon.

Ketika meninggalkan perpustakaan malam itu, kami ‘cenglu’, boncengan naik motor bertiga menuju rumah. Malam sebelumnya, Astrid membonceng saya di atas Mangosteen sepulang nonton pertunjukan tari yang digelar IFI di ballroom Sheraton Hotel. Seumur-umur belum tentu tiga tahun sekali saya dibonceng naik sepeda pancal. Haha.. layak malam itu kami jadi tontonan gratis para pemakai jalan protokol di Surabaya.

Saya ingat ketika berjalan kaki menembus gang-gang di Surabaya malam itu, sambil menuntun sepedanya, Astrid berkata, “Saya akan selalu merindukan Indonesia. Di sini saya serasa mejadi selebritis, kemana pun pergi, selalu ada yang menyapa. Di Jerman, saya hanya orang biasa.” Namun, menjadi selebritis dadakan kadang kala membuatnya blingsatan dan tersinggung, terutama jika ada yang menjadikannya obyek foto tanpa meminta ijinnya. Seperti yang dilakukan seorang lelaki di kompleks Ampel. Kebetulan hari itu diadakan semacam kontes memotret di kawasan suci Sunan Ampel itu. Saya jadi teringat perayaan Waisak di Candi Borobudur beberapa waktu lalu.

Ada anggapan yang mirip kebenaran bahwa para pejalan yang tergabung dalam CS selalu mencari gratisan. Gratis tempat tidur, gratis makan, gratis diantar jalan-jalan. Haha.. sebagian kecil anggota mungkin demikian. Itu sebabnya banyak buku panduan wisata berjudul ‘sebutir rupiah keliling negeri anu’ atau ‘sekantong gandum menuju benua anu’ selalu mencantumkan CS dalam isinya. Saya tidak tahu apakah itu yang dilakukan mayoritas CS Indonesia ketika ke luar negeri, atau para CS Indonesia ini selalu menggratisi para CS luar yang bertandang ke Indonesia. Saya sih tak menerapkan gratisan itu total. Memang Astrid gratis tidur di rumah saya, tapi dia menyantap menu yang biasa kami makan. Kadang malah harus memasak sendiri. Dia juga membeli makanannya kala berjalan-jalan keliling kota yang tak selalu saya antar. Begitu juga saat saya memanfaatkan CS di Malaysia atau Thailand. Tak bergantung pada keramahan dan kesediaan tuan rumah menampung saya.

Makanan, transportasi dan penginapan

Menurut pendapat saya, menjadi pejalan ‘irit’ yang melakukan perjalanan panjang, tetap memperhitungkan bea makan setiap hari, transportasi, dan tempat menginap. Ketiga hal ini dapat diakali jika menerapkan beberapa prinsip, seperti:

1. Untuk memangkas uang makan, belilah makanan yang murah, sehat, dan mengenyangkan. Misalnya beralih ke makanan lokal, menghindari daging dan ikan. Itu sebabnya banyak ‘longterm traveler’ menjadi vegetarian.

2. Memangkas bahkan meniadakan sebagian besar bea transportasi dapat dilakukan dengan membawa sepeda seperti Astrid, atau melakukan ‘hitchhiking’. Tapi tetap ada bea yang tak bisa dihindari, misalnya transport dari dan ke negara asal, feri antar pulau dan lainnya.

3. Tentang penginapan, justru paling mudah disiasati. Astrid menghabiskan banyak malamnya di dalam tenda. Dia memang membawa tenda ukuran satu orang dan kantung tidur. Selama menjelajah Indonesia, numpang tidur di kantor polisi adalah hal biasa. “Kantor polisi itu nyaman. Ada teve, free wifi, kamar mandi, dan sering disuguhi teh panas.” Nah lho!

ast5

Dalam salah satu curhatnya Astrid berkata, “Kalau kau sudah terlalu lama berada di jalan, kau akan ketagihan untuk terus berada di jalan. Banyak kawanku para pesepeda yang terus berkeliling dunia, tak mau berhenti berjalan walau merasa lelah, karena mereka tak mampu berhenti. Mereka kecanduan. Jika akhirnya menetap, mereka merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.”

“Apa kau akan merasa begitu nanti?” Tanya saya ingin tahu. Apa yang dia kesahkan sebetulnya juga saya rasakan. Namun karena saya lebih banyak keliling Indonesia, dan terpanggil untuk menuliskan kondisi daerah yang saya kunjungi, hal itu membantu saya untuk berhenti, walau sementara.

“Mungkin aku akan begitu. Aku hanya berencana bekerja di laboratorium satu atau dua tahun, setelah itu akan berkelana lagi,” jelasnya. “Tapi bisa saja aku bekerja di pertanian untuk meredam gejolak untuk selalu ada di jalan. Lagipula, setiap kangen jalanan, akan ada orang yang menggantikan posisiku di tanah pertanian,” kata gadis asal Saxony AnHalt, Halle ini

  • Djimantoro Widjojo

    nice article! backpacking itu sangat addictive! banyak pengalaman, crazy stuff dan survival skill yang bisa kita dapat, selama berpetualang! Good for your soul bad for your pocket LOL