Kya-kya di Pecinan Surabaya

Pecinan Surabaya saat ini memang cenderung tampak hidup hanya di jam-jam kerja, tapi ada banyak kehidupan dan kegiatan menarik di dalamnya.

Jalan-jalan · 18 February 2015 · Keywords: ·
cover1

Saya menyaksikan kegiatan di jalan-jalan (Pecinan) dan rumah-rumah orang Tionghoa, serta kesibukan mereka dalam berdagang. Di malam hari jalan-jalan di daerah ini semarak dengan bau harum, aroma yang keluar dari dapur restoran, warung makan dan jajanan pedagang kaki lima. Pada akhir pekan terdengar suara musik yang mengiringi pesta pernikahan dari berbagai rumah pesta yang mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa di kota Surabaya.”

Pernyataan Prof. Dr. Han Hwie-Song mengenai Pecinan Surabaya pada tahun 30-an sampai 60an berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Malam hari di Pecinan Surabaya saat ini bisa dibayangkan sebagai distrik mati, jalanan yang lenggang kendaraan bermotor, bangunan bertingkat tanpa aktivitas, hanya rombong bakso dan soto yang dikunjungi sejumlah pencari makan malam, tidak banyak penduduk yang tinggal di sana. Pergerakan manusia masih ditemukan di Pasar Pabean dan Perkumpulan Sosial Karya Surya Harapan Kesejahteraan. Gerbang Pecinan bertuliskan “kya-kya” (bahasa Hokkien artinya “jalan-jalan”) berdiri dengan kokoh di kedua ujung Jalan Kembang Jepun namun sendu tanpa lampu penerangan. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan Kampung Cina atau Pecinan untuk mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa di Surabaya. Pecinan Surabaya semenjak Orde Baru memang hanya hidup di jam-jam kerja, tetapi tidak mengurangi rasa penasaran untuk mengenal daerah ini.

Gerbang Pecinan Surabaya yang bertuliskan kya-kya. Foto: Edbert William

Gerbang Pecinan Surabaya yang bertuliskan kya-kya. Foto: Edbert William

Di hari kerja, sejak pagi hingga senja, semua sudut jalan di kawasan Pecinan ramai, ini layaknya kawasan perdagangan. Terdapat empat pasar, Pasar Pabean yang menjual palawija dan hasil laut, Pasar Bong yang menjual beragam keperluan muslim, Pasar Kapasan sebagai pusat perdagangan tekstil, dan Pasar Atum yang memuat begitu banyak fungsi dan membuat perut selalu senang. (Baca juga: Pasar Atom: dari parkir VIP sampai kolam renang; Berbagai Warna Toko Mas di Pasar Atom)

Pasar Pabean. Foto: Edbert William

Pasar Pabean. Foto: Edbert William

Untuk meraih Pecinan, patokannya adalah Jembatan Merah yang menjadi ikon kota Surabaya. Sejenak kita melihat Kali Mas yang sudah pudar kejayaannya dari atas Jembatan Merah, sebelum kaki terus melangkah menuju gerbang Pecinan. Jika punya cukup waktu, mari belok sebentar menjelajahi Jalan Panggung, salah satu jalan penghubung ke Kampung Arab. Jalan Panggung menawarkan keberagaman bau dan budaya tercermin dari toko rempah, toko valuta asing, toko parfum, toko kitab, dan yang paling riuh, Pasar Ikan Pabean.

Kita juga bisa ke Pasar Pabean melalui Jalan Kalimati Kulon yang memamerkan banyak ruko dan mampir ke UD New Susana yang menjual berbagai macam makanan kaleng, jamur kering, bumbu masakan, dan manisan. Mengisi perut di rumah makan “Saudara” dan membeli bakwan goreng di Pasar Pabean–pasar tertua di Surabaya dan terbesar di Asia Tenggara. Pasar Pabean menjual daging babi, sayur mayur, bebek, palawija, hasil laut hingga kerudung. Dengan kagum kita menyaksikan lalu lalang buruh pasar yang didominasi oleh perempuan Madura. (Simak cerita berkeliling di Pasar Pabean dan Kampung Arab.)

Papan nama pangkas rambut Shin Hua. Foto: Edbert William

Papan nama pangkas rambut Shin Hua. Foto: Edbert William

Interior pangkas rambut Shin Hua. Foto: Edbert William

Interior pangkas rambut Shin Hua. Foto: Edbert William

Kembali ke gerbang Pecinan yang menjadi pintu Jalan Kembang Jepun dengan deretan bangunan modern dua lantai sebagai toko alat tulis kantor, toko peralatan olahraga, bank, dan kantor pusat Maspion. Jangan lupa mampir ke Toko Aneka Sport yang menempati bangunan kolonial dua lantai yang cantik, kita akan menemukan barang-barang olahraga dan musik yang menarik. Terus berjalan dengan wajah yang sumringah karena kitaakan menemukan pangkas rambut Shin Huadi lantai dua sebuah bangunan tua yang sudah berjalan sejak era kolonial, tepatnya tahun 1911, di pertigaan Jalan Kembang Jepun dengan Jalan Husin.Saat ini Shin Hua dikelola oleh generasi keduanya. Shin Hua yang berarti “baru mekar” ini di masa jayanya menampung lebih dari seratus pelanggan per hari. Memotong rambut dan membersihkan kuping disini membawa imajinasi kita ke adegan-adegan film Wong Kar-wai.

Klenteng Dukuh. Foto: Edbert William

Klenteng Dukuh. Foto: Edbert William

Kita meninggalkan Jalan Kembang Jepun yang di zaman pendudukan Belanda dan Jepang memiliki rumah bordil milik orang Jepang, “Kembang Jepun” adalah sebutan lokal untuk geisha, seperti yang dinarasikan oleh Remy Silado dalam novel sejarahnya “Kembang Jepun”. Lanjut menyusuri Jalan Husin lalu masuk ke Gang Dukuh II. Jika pas waktunya, kita bisa menikmati pertunjukkan Wayang Potehi di Klenteng Hong Tiek Hian atau Klenteng Dukuh, klenteng tertua di Surabaya. Pertunjukkan Wayang Potehi sebagai bagian dari ritual di Klenteng Dukuh, dilakukan oleh kelompok Lima Merpati. Keluar klenteng,di Jalan Dukuh berderet toko-toko mesin, sementara cabang lain Jalan Kembang Jepun yaitu Jalan Gula menjadi situs kesukaan para pengkoleksi foto diri dengan latar belakang tembok yang sudah mengelupas, bahkan di sana tersedia jasa persewaan sepeda jengki untuk menjadi properti foto.

Wayang Potehi di Klenteng Dukuh. Foto: Edbert William

Wayang Potehi di Klenteng Dukuh. Foto: Edbert William

Nama jalan di Pecinan menggambarkan peruntukan Pecinan sebagai kawasan perdagangan, Jalan Teh, Jalan Karet, Jalan Gula, Jalan Coklat, perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya adalah pergerakan utama di kota Surabaya saat itu. Nama jalan-jalan di Pecinan Surabaya sama dengan nama jalan-jalan di kawasan Kota Tua Jakarta, karena Batavia dan Surabaya sama-sama sebagai pusat perdagangan di Hindia Belanda. Masa kejayaan jalan-jalan tersebut telah surut, seperti Jalan Teh dengan gedung-gedung kolonial yang menjadi gudang kosong dan dihuni oleh kelas pekerja asal Madura.

Pasar Bong. Foto: Edbert William

Pasar Bong. Foto: Edbert William

Sempatkan untuk berkunjung ke Pasar Bong, mencuci mata dengan beragam corak sajadah, sarung, mukenah, dan hijab, pemandangan yang menarik di Pecinan. Keluar dari Pasar Bong, disambut keriuhan aktivitas perdagangan di Jalan Slompretan, lalu lalang becak, kendaraan bermotor, dan pejalan kaki yang membawa beragam kain. Yang menarik lainnya adalah hadirnya sebuah bangunan milik Yayasan Sosial “Rukun Sekawan” Surabaya yaitu perkumpulan sosial dari suku Hakka, sebagai tempat beraktivitas para orang tua, bermain catur cina atau xiang qi, membaca koran berbahasa Mandarin, bernyanyi Mandarin, dan aktivitas sosial lainnya.

Menurut Denys Lombard dalam “Nusa Jawa Silang Budaya Bagian 2: Jaringan Asia”, salah satu sumbangan besar dari bangsa Cina adalah persekutuan/perhimpunan. Kelompok masyarakat Cina pandai memanfaatkan tradisi persekutuannya untuk memperkuat dan mempertahankan diri terhadap perlawanan serta meningkatkan daya saingnya. Pada lapisan bawah, asosiasi berfungsi sebagai perhimpunan kekerabatan biasa yang bertujuan saling bantu di antara anggota persekutuan itu untuk mendirikan rumah sakit, rumah yatim piatu, maupun rumah untuk kaum manula tanpa keturunan. Perhimpunan itu juga membantu anggota dalam mencari dan membagi lahan untuk pemakaman, sehingga masing-masing mendapat jaminan penguburan yang layak. Perhimpunan itu juga mengurusi para pendatang yang baru saja mendarat dan membantu mereka sampai dapat berdiri sendiri. Singkatnya, perhimpunan mengasuh semua orang Cina yang ekonominya lemah. Cikal bakal sistem jaminan sosial tradisional yang sangat baik ini terdapat di Batavia pada abad ke-17 dan tumbuh berkembang di semua kota dan desa di Jawa pada abad ke-19.

Kita lanjutkan perjalanan ke Jalan Karet yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan besar menampung berbagai kantor ekspedisi dan menampilkan tiga rumah sembahyang yaitu Rumah Abu Keluarga Han, Rumah Abu Keluarga The, dan Rumah Abu Keluarga Tjoa. Bersambung ke Jalan Bibis memamerkan sejumlah karya daur ulang ban berupa tempat sampah, juga beragam drum, kaleng, dan botol bekas. Jalan Coklat menjadi jalan yang paling teduh karena banyak pohon besar dan bersahabat bagi pejalan kaki karena jarang sekali dilalui kendaraan bermotor. Di ujung Jalan Coklat terdapat toko sepedaWim Cycle di dalam bangunan kolonial yang mengkilap karena telah direnovasi, di sana juga terdapat klenteng Hok An Kiong yang dikenal dengan klenteng Coklat.

Gedung Perkumpulan Sosial Karya Surya Harapan Sejahtera. Foto: Edbert William

Gedung Perkumpulan Sosial Karya Surya Harapan Sejahtera. Foto: Edbert William

Setelah berkeliling klenteng Coklat untuk mengenal visual dan ritual yang menarik, kita menuju jalan pintas ke Jalan Bongkaran. Selain kantor-kantor ekspedisi, terdapat bangunan bergaya de Stijl yaitu Pabrik Obat Herbal Helmig yang sudah tidak berfungsi.Di Jalan Bongkaran 63 terdapat Perkumpulan Sosial Karya Surya Harapan Kesejahteraan yang menempati bangunan dengan arsitektur berlanggam campuran Eropa dan Tionghoa. Perkumpulan sosial ini memiliki klinik kesehatan, tempat latihan wushu dan barongsai dari grup Lima Naga, dan aktivitas sosial lainnya dari suku Kong Siauw. Di Jalan Bongkaran juga terdapat Hotel Merdeka dengan atap yang dominan seperti menggantung, berlanggam Tionghoa. Di sana masih berdiri sejumlah bangunan (kosong) dengan atap berlanggam Tionghoa dengan jendela atap yang menyesuaikan iklim tropis di Indonesia.

Hotel Merdeka. Foto: Edbert William

Hotel Merdeka. Foto: Edbert William

Menuju Jalan Samudra melewati bangunan Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee atau Gereja Kristen Abdiel Gloria Samudra (GKA Gloria Samudra) yang berdiri sejak tahun 1930an, sejumlah kedai makan, pabrik rumahan misua dan pia merek Kim Ling. Tidak ketinggalan tiga hotel legendaris: Hotel Irian, Hotel Semut, dan Hotel Grand Park. Selepas Jalan Samudra kita menyebrang ke Pasar Atom, saatnya membuat perut tersenyum. Jangan ragu untuk mencicipi cakwe dan bakcang, membeli beragam keripik dan asinan sambil menyaksikan arsitektur Pasar Atom—perpaduan gaya modernisme dan tropis di tahun 70an karya Harjono Sigit.


Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam The Sunday Paper vol. 5 “The Lunar New Year Edition”. Koran ini diterbitkan sebagai materi publikasi dari Sunday Market “Once Upon a Time in China” yang akan digelar pada tanggal 21-22 Februari 2015 di Surabaya Town Square.

Sunday Market adalah pasar barang bekas, barang baru, makanan-minuman, dan musik. Digelar selama dua hari dengan menampilkan pertunjukkan wayang potehi, wushu, barongsay dan lion dance.

Dapatkan The Sunday Paper vol 05 “The Lunar New Year Edition” pada acara Sunday Market tersebut. Koran edisi kali ini berisi artikel mengenai Pecinan Surabaya, Kampung Tambak Bayan, Guangzhou, dan peta & rundown #sundaymarket09. Versi pdf dapat diunduh gratis di Internet Archive.